Penulis
Intisari-Online.com - Saat awan gelap berkumpul di langit pagi, seorang petani apel asal Indonesia bernama Ali Akhbar bergegas menyelesaikan penyemprotan pestisida ke pohonnya sebelum hujan.
Kejadian ini menandaisecara resmi awal musim kemarau di provinsi Jawa Timur.
Akan tetapi hujan tanpa henti di musim kemarau telah menyebabkan malapetaka bagi ribuan petani apel seperti Ali Akhbar lagi pada tahun 2022.
Sebab hujan sudah mengganggu musim berbunga, merusak bunga, dan menyusutnya panen.
Cuaca yang tidak sesuai musim juga telah menyebabkan peningkatan hama dan penyakit, memaksa beberapa petani untuk mengambil pinjaman untuk mengimbangi lonjakan biaya pestisida untuk memastikan kerja bertahun-tahun tidak sia-sia.
"Sangat sulit sekarang - cuaca tidak dapat diprediksi," kata Akhbar (49) kepada Thomson Reuters Foundation di desa Andonosari, Jawa Timur, yang merupakan rumah bagi kebun apel terbesar di negara itu.
Dia biasa menyemprotkan pestisida pada tanamannya seminggu sekali, tetapi sekarang harus melakukannya dua kali seminggu, dan menggunakan bahan kimia yang lebih kuat.
Setelah bertahun-tahun mengalami cuaca yang tidak terduga, hasil panen yang mengecewakan hampir tidak cukup untuk menutupi biaya produksi petani, kata Akhbar.
Pakar pertanian menyalahkan perubahan iklim atas musim hujan yang berkepanjangan dan kenaikan suhu yang menjadi ancaman serius bagi pertanian apel Indonesia, sektor yang pernah membawa pendapatan stabil bagi ribuan keluarga pedesaan.
Lebih panas dan lebih hujan
Dilansir dari globaltimes.cn pada Rabu (18/5/2022), apel bukan asli Indonesia.
Buah ini konon dibawa masuk ke tanah air oleh penjajah Belanda pada tahun 1930 dan pertama kali ditanam di Kabupaten Pasuruan, tempat desa Andonosari berada.
Saat ini, beberapa daerah penghasil apel terbesar di negara berpenduduk 270 juta orang ini meliputi Batu, Malang, dan Pasuruan - semuanya berada di Provinsi Jawa Timur yang beriklim dataran tinggi subtropis.
Perkebunan apel juga merupakan daya tarik besar untuk agrowisata di daerah ini, dengan orang Indonesia berbondong-bondong ke kebun untuk memetik buah dan menikmati udara yang lebih sejuk.
Namun sejak masa kejayaannya di awal 1990-an, ketika jumlah pohon mencapai hampir 10 juta, sektor ini dengan cepat menurun.
Hanya ada sekitar 2,4 juta pohon yang tersisa pada tahun 2016, menurut statistik resmi terbaru.
Pertumbuhan apel yang sukses membutuhkan jumlah hujan dan sinar matahari yang tepat, karena terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat sangat mempengaruhi kualitas buah.
Di Pasuruan, di mana musim kemarau biasanya dimulai dari April dan berlangsung hingga September, petani merencanakan musim berbunga dan panen sesuai dengan cuaca.
Mereka biasanya mulai memangkas pohon pada bulan Januari untuk mempersiapkan musim berbunga dalam dua bulan berikutnya, dan kemudian mulai memanen pada bulan April.
Badan cuaca Indonesia memperkirakan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya lagi untuk tahun 2022, setelah tahun 2021 terlihat 70-100 persen lebih banyak dari tingkat normal.
Pada April 2022, hujan terus turun hingga akhir bulan dan, ditambah dengan kenaikan suhu, sangat mempengaruhi panen.
Curah hujan dan suhu terus meningkat di Pasuruan selama dekade terakhir, menurut data dari badan statistik Indonesia.
Curah hujan tahunan naik menjadi sekitar 4.032 milimeter pada tahun 2021, dari 2.600 milimeter satu dekade sebelumnya.
Suhu rata-rata mencapai 24,4 C pada tahun 2021, naik dari 21,8 C pada tahun 2011.
“Masalahnya, semakin panas,” kata Otto Endarto, peneliti di Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropis Kementerian Pertanian RI.
“Beberapa petani mencoba pindah ke tempat yang lebih tinggi untuk suhu yang lebih dingin, tetapi perubahan iklim membuat cuaca tidak menentu dan curah hujan meningkat."
"Cuaca seperti ini adalah musuh bagi tanaman apel,” tambahnya.
Endarto mengatakan kenaikan suhu mengganggu cara tanaman berinteraksi dengan sinar matahari, air dan karbon dioksida untuk membuat gula, yang menyebabkan penyakit seperti busuk batang dan kutu hijau.
Lembaga pemerintah telah meneliti varietas apel yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim lokal, tetapi sejauh ini belum berhasil.
Pejabat lokal mengatakan mereka menyadari dampak perubahan iklim pada aktivitas penanaman apel dan telah mengadakan pertemuan bulanan dengan petani untuk membahas cara mengatasi masalah tersebut.
Lilik Widji Asri, Kepala Dinas Pertanian setempat di Pasuruan, mengatakan masalah itu juga diperparah dengan kualitas tanah yang memburuk di daerah itu, dan upaya membantu petani dengan benih yang lebih baik belum membuahkan hasil.
“Jika ini terus berlanjut, kita tidak tahu bagaimana masa depan perkebunan apel di sini,” tambahnya.