Find Us On Social Media :

Lance Armstrong: Kanker Tak Menjadi Penghalang Berprestasi

By Agus Surono, Rabu, 27 Juli 2011 | 14:06 WIB

Lance Armstrong: Kanker Tak Menjadi Penghalang Berprestasi

Kembali untuk kedua kalinya. Itu yang dilakukan Lance Armstrong untuk menghargai kehidupan. "Anda tentu tak perlu harus melalui penderitaan seperti saya untuk mensyukuri betapa hidup itu tak bisa disia-siakan," tulisnya dalam buku Every Second Counts (Broadway Books, 2004) yang ditulisnya bersama Sally Jenkins, tak lama setelah memenangi Tour kelima kali.Nyawa kedua, itu yang bisa saya katakan setelah melewati derita kanker. Lolos dari kematian, atau mungkin saya sudah mati, sedikit. Betapa anehnya kalau diingat. Laki-laki muda, umur 25 tahun, menderita choriocarcinoma tingkat lanjut, dari testis menyebar ke perut, paru-paru, hingga otak. Itulah saya, yang telah berhadapan dengan kematian. Dua kali operasi dan empat periode kemoterapi yang menyakitkan saya jalani.Masa perjuangan yang panjang. Ketika hal itu lewat, dan mendapati saya tak jadi mati, timbul pertanyaan: lantas mau saya apakan hidup ini?Sebuah pertanyaan mendasar - dan sangat wajar. Saya rasa Anda pun akan mempertanyakan jika ada di posisi saya. Bahkan saya menambah pertanyaan susulan: hal terbaik apakah yang bisa saya lakukan untuk mengisi hidup saya yang hampir hilang?Saya menjawabnya dengan ikut Tour de France. Balap sepeda olahraga yang saya senangi sejak kecil, dan Tour adalah lomba paling kaya tantangan. Barangkali saya bisa berbuat sesuatu di sana daripada ajang seperti Olimpiade. Asal Anda tahu, Barcelona 1992, Atlanta 1996, dan Sydney 2000 saya ikuti bersama tim AS. Tapi saya tak memperoleh satu medali pun.Setiap kali saya memenangi Tour, saya merasa diri saya hidup. Saya melalui perjuangan dan penderitaan, kadang amat berat hingga membuat saya hampir menyerah. Bagi saya, penderitaan berlangsung sementara, sedangkan menyerah berlangsung selamanya.Bagi pembalap, menyelesaikan Tour bagaikan lolos survival. Beratnya lomba, yang kadang tak masuk akal bagi banyak orang, namun diperjuangkan oleh ratusan tim dari puluhan negara, menyusuri aneka medan. Jalan desa, pantai, jembatan, menanjaki gunung dalam udara tipis, kadang di bawah cuaca buruk. Tak ada toleransi pada kesalahan, dan syarat utama adalah stamina.Pembalap Belanda Hennie Kuiper pernah berkata, "Dalam kayuhan di ketinggian Alpen, lama-lama salju tampak berubah warna jadi hitam." Tour adalah kisah harian mengenai penderitaan. Lalu jangan lupa, itu berlangsung selama tiga minggu. Ketika kita sampai di bagian akhir, kita sudah lupa apa yang terjadi tiga minggu lalu. Itu terasa setahun.Pemuda biasa yang jadi selebritiSaya asli Texas. Lahir di Plano (dengan nama Lance Edward Gunderson) pada 18 September 1971. Ibu saya, Linda Walling, adalah single mother (setelah ditinggal pergi Eddie Charles Gunderson, kawin dengan Terry Keith Armstrong - yang kemudian juga cerai), seorang sekretaris yang setia pada pekerjaannya.Karir balap sepeda yang semula terancam terhenti karena kanker, bisa saya teruskan dengan pencapaian luar biasa. Tapi saya tidak menduga bahwa dampak kemenangan pertama saya di Tour (1999) akan besar.Di Austin, saat mendarat dengan gelar juara Tour de France, kerumunan orang menyambut dengan spanduk bertulis "Vive la Lance". Jalanan dihias bunga, dan saya diarak keliling kota, dengan kawalan 6.000 pembalap sepeda berkaus kuning, sebelum menuju gedung State Capitol untuk disambut Gubernur Texas waktu itu, George W. Bush.Ketika pesta usai, saya kembali menjadi pria biasa, warga Austin yang setiap kali berlatih keliling kota diikuti pesepeda. Tapi kini yang mengikuti makin banyak. Saya agak jengah dibuatnya.Kik (Kristin Richards) Armstrong, istri saya, semula sama jengahnya. Tapi lama-lama kami bisa menjadikan ketenaran itu menjadi bagian hidup kami. Sampai lahir Luke (Oktober 1999), disusul si kembar Isabelle dan Grace (lahir November 2001). Ketiganya melalui proses bayi tabung, in-vitro fertilization.Kik menyarankan, saya bisa membagi pengalaman "dari bibir jurang kembali ke tengah dan berprestasi". Saya tampil di televisi, jadi model iklan, jadi duta pelbagai kegiatan, foto saya menghiasai kotak sereal, dan saya diundang ke Gedung Putih.Saya harus jujur, keterkenalan berdampak pada kamakmuran. Saya punya ranch di luar Kota Austin, saya punya sepeda motor sport dan mobil Porsche (yang setiap saya kendarai bersama John Korioth, sahabat saya, selalu dipenuhi teriakan agar saya lebih pelan mengemudi). Belakangan saya juga punya rumah di Girona, Spanyol, markas saya setiap ikut Tour dan lomba lain di Eropa.Menjadi juru kampanye survivor kanker, kadang lebih banyak saya isi dengan memberi semangat bagi penderita. Ada seorang dokter terkenal di California yang dengan pasrah bilang, "Saya harap bisa hidup sampai 10 tahun lagi." Saya menanggapi, "Ah, Dok, Anda pasti bercanda kalau cuma ingin hidup 10 tahun lagi. Kita akan ketemu 30 tahun lagi."Dengan Sally Reed, survivor kanker payudara yang saya kenal pada 1999, saya bersahabat dekat. Bahkan Lance Armstrong Foundation yang saya dirikan pada 1997 telah memberi tempat bagi dia. Sally orang pertama yang bekerja secara penuh di sana hingga mempermudah saya dalam penggalangan dana. Belakangan, kami bisa menghimpun ribuan orang untuk mengkampanyekan keprihatinan akan kanker dan mendorong riset untuk melawan kanker lewat gerakan Livestrong, yang disimbolkan dengan karet gelang warna kuning. Yayasan berhasil menghimpun dana sampai AS$ 23 juta. Penerimaan pun tumbuh, dari AS$ 250.000 pada 1997 sampai lebih dari AS$ 7 juta pada 2002.Akan menang Tour 2000Di antara pujaan dan keberuntungan, tak sedikit orang yang meragukan kemampuan saya. Sejak kemenangan 1999 saya rutin menjalani tes doping - 30-40 kali setahun. Nyatanya, tak sekalipun saya terbukti menggunakan obat terlarang.Mempersiapkan Tour 2000 sebagai juara bertahan, sungguh sebuah "permainan kematian". Tapi saya ingin membuktikan bahwa mempertahankan gelar juara bukan hal mustahil. Bahkan lebih dari sekali. Senior saya di tim AS Greg LeMond tiga kali menang. Eddy Merckx, Miguel Indurain, Bernard Hinault, dan Jacques Anquetil lima kali meraih juara.Tim US Postal mempersiapkan diri dengan berlatih di perbukitan Prancis dua bulan sebelum Tour dimulai. Tapi kecerobohan saya di Col du Soulour berakhir dengan kecelakaan. Tanpa mengenakan helm, saya jatuh berguling-guling di jalan menurun. Kepala bengkak, dagu dan lutut robek, saya harus dirawat di sebuah rumah sakit di Lourdes. "Kamu seperti Elephant Man," kata Kik.Esoknya saya ke Nice dan kemudian pulang ke Austin. Dua minggu saya tingal di rumah tanpa bisa berlatih. Barulah pada minggu ketiga saya ke Prancis lagi untuk latihan. Tanjakan Hautacam, salah satu medan Tour terberat, dua kali saya daki. Johan Bruyneel, direktur olahraga kami yang asal Belgia, sampai heran. Apalagi pelatih saya Chris Carmichael yang waktu itu tidak menunggui. Saat menerima catatan psikologis yang saya kirim lewat email, ia menduga ada kesalahan karena catatan dibuat dua kali. Ya, saya memang dua kali menyusuri tanjakan berat itu. "Kamu sinting," kata Chris.Tour 2000 menempuh jarak 2.274 mil dalam waktu 23 hari. Akan lebih berat daripada tahun 1999. Kalau mau jujur, pada 1999 sebetulnya saya beruntung karena ada pembalap potensial yang tidak ikut. Pembalap Jerman Jan Ullrich absen karena cedera, dan pembalap Italia Marco Pantani tak ikut karena skandal doping. Kini keduanya tampil dengan ambisi juara.Tapi tantangan terberat justru datang dari pembalap Spanyol Javier Otxoa. Dengan susah payah saya baru bisa mengunggulinya pada minggu kedua. Kemenangan waktu saya sia-siakan karena saya menghindari sarapan terlalu berat sebelum etape yang melalui tanjakan Joux-Plane. Ullrich dan Pantani, yang semula saya tinggal tujuh menit, menyalip saya. Kemudian disusul pembalap lain. Saya merasa kehabisan tenaga dan cairan tubuh. Konsentrasi merosot, saya hanya sayup-sayup mendengar Johan menyemangati lewat radio.Saya hampir menyerah saat dua pembalap, Roberto Conti dan Guido Trentin, menyusul dan "menarik" saya menapaki tanjakan. Mereka berada di depan saya untuk mengurangi hambatan angin. Sungguh persahatan di tengah persaingan. Sampai akhirnya, jalanan menurun menuju finis berhasil saya lewati. Waktu keseluruhan tertinggal 90 detik dari Ullrich.Persaingan kami berdua berujung hingga Tour berakhir. "Armstrong layak menang," kata Ullrich yang akhirnya juara kedua. "Ia lolos di setiap ancaman."Saya berhasil mempertahankan Tour sesuai janji saya kepada orang yang memandang rendah saya sejak kemenangan tahun lalu. "Lihatlah, saya akan mempertahankan gelar itu. Kenapa? Karena orang meragukan saya."Ternyata setelah kemenangan 2000 pun keraguan itu masih ada. Sebuah surat dari pengadilan Prancis saya terima sepulang dari Sydney. Isinya, dugaan saya memakai doping pada Tour 2000.Saya kaget. Bagaimana mungkin kalau selama Tour dulu, setiap pagi menjelang lomba dan setiap sampai garis finis urine saya selalu diperiksa, dan cek darah pada saat-saat tak terduga? Bukankah saat itu tak ada bukti apa-apa? Belum lagi pemeriksaan berlapis dari Persatuan Balap Sepeda Internasional. Dan di AS pun aturan juga ketat.Ternyata kecurigaan itu diawali oleh berita di sebuah stasiun televisi Prancis, tentang seorang saksi yang melihat tim medis US Postal membuang dua kantong plastik berisi limbah medis. Rupanya, yang dimaksud limbah medis itu sekadar perban, tisu bekas pakai, robekan plester, botol obat merah kosong, kadang ada pula jarum suntik. Memang, di Prancis aturan pembuangan limbah medis cukup ketat. Tapi itu jelas bukan alasan untuk menuduh saya menggunakan doping.Lewat beberapa teman saya mendapat cerita, itu semua sekadar politisasi belaka. Orang Prancis tak rela kalau Tour dimenangi orang luar Prancis. "Mereka tak suka juara pertama, mereka lebih suka juara kedua," kata Cedric Vasseur, rekan satu tim saya yang orang Prancis. Yang dipersoalkan selalu juara pertama, tak peduli juara kedua atau ketiga doping atau tidak.Respek terhadap lawanSaya mempersiapkan Tour 2001 sambil menyongsong tahun kelima pengobatan kanker. Kalau sampai Oktober nanti angka pemeriksaan saya normal, saya dinyatakan sembuh.Sementara itu, hasil penyelidikan kasus doping saya tahun sebelumnya belum keluar. Meski yakin diri saya bersih, rasa gusar tak bisa saya hindarkan. Saya berkesimpulan, cara terbaik mematahkan kecurigaan itu adalah memenangi lagi Tour.Lomba tahun itu, lagi-lagi, menjadi ajang pertarungan saya dan Ullrich. Tapi kejutan muncul dari pembalap Prancis Francois Simon dan Andrei Kivilev  dari Kazakhstan. Keduanya langsung melesat sejak etape awal. Simon menjadi pembalap pertama yang mengenakan kaos kuning sebagai pemimpin klasemen.Turunan Pla d'Adet hampir membawa petaka bagi Ullrich. Setelah lewat beberapa kali tanjakan dan turunan di Pyrenees, saya dan Ullrich berdekatan dalam kecepatan 80 km/jam. Simon 13 menit di depan kami. Ketika bicara lewat mikrofon dengan manajer tim, tanpa disadari, tikungan muncul di depan kami. Saya sempat mengerem sebelum membelok. Tapi Ullrich tidak. Ia terperosok ke lembah. Saya mencemaskan dia. Saya tanya ke Johan untuk mencari informasi, sambil pelan-pelan menunggu Ullrich.Ya, saya menunggu dia, berharap dia tidak cedera berat. Bagi orang lain, apalagi spirit kompetisi Amerika, kelakuan saya dianggap menyia-nyiakan kesempatan. Buat apa menunggu lawan? Bukankah derita lawan adalah keuntungan kita? Begitulah. Dalam balap sepeda, apalagi di Tour, cara itu biasa dilakukan. Seorang juara haruslah menang secara fair, bukan karena kemalangan lawan. Ia haruslah pembalap paling kuat, bukan yang paling untung. Dengan menunggu lawan siap buat bertanding, timbul rasa respek sesama lawan.Ullrich menyusul saya. "Kamu baik-baik saja?" tanya saya. "Ya, saya jatuh, untung di tanah datar berumput. Tak ada luka berarti." Maka berlanjutlah pertarungan kami menghabiskan etape Pyrenees. Akhirnya Ullrich menang di etape itu dan saya menguntit di belakangnya. Ia menyalami saya.Tapi secara keseluruhan saya masih memimpin. Saya mengenakan kaus kuning. Sampai etape terakhir esok harinya, saat finish di Champs-Elysees, setelah menempuh 2.150 mil (sekitar 3.200 km) selama 86 jam, 17 menit, dan 28 detik. Saya mematahkan keraguan orang akan doping.Seusai Tour 2001, saya menjalani serangkaian tes. Sampai akhirnya ahli onkologi saya, dr. Nichols dari Oregon Health Sciences University, memastikan tak ada lagi benih kanker. Di antara pesta syukur saya mengenang interaksi dengan beberapa teman, para penderita kanker yang akhirnya tak tertolong. Stacy Pounds, JT Neal, bocah lelaki bernama Billy Rutledge, dan gadis kecil yang meninggal tahun 2000, Kelly Davidson. Pesan terakhir dia masih saya ingat, "Rebut kaos kuning untukku."Rumah tangga lebih rumitDi Girona, apartemen kami dekat dengan pusat kota. Kik bisa membawa kereta bayi ganda untuk si kembar, sementara Luke sudah bisa jalan sendiri.Aktivitas saya, kalau tak ada lomba, rutin saja. Bangun pukul tujuh, minum kopi sambil baca koran. Kalau ada berita yang mengganggu, saya akan merengut. Setelah itu saya akan periksa email dan terlibat dalam macam-macam urusan lewat telepon dan surat. Kadang Bill Stapleton meneruskan pesan dari kantor saya di Texas. Sarapan tergantung latihan dan jumlah kalori yang mau saya bakar hari itu. Kadang buah-buahan, kadang muesli (semacam sereal), kadang putih telur dengan roti gandum. Lantas saya bersepeda, antara tiga dan tujuh jam.Sesampai rumah saya mandi, makan pasta, mengurusi kontak-kontak telepon dan email, lantas rebahan untuk tidur siang. Kik mulai mempersiapkan makan malam, biasanya ikan atau ayam dengan sayuran rebus. Setelah bangun, saya main dengan anak-anak sampai tiba waktu makan malam. Setelah itu kami baca atau nonton televisi.Kik tampaknya puas dengan kehidupan itu. Setiap kali saya pulang bersepeda, selalu tersedia pasta atau sup yang mendidih di kompor. Anak-anak senang ketemu ayahnya, dan Kik selalu bilang hari itu baik-baik saja. Dia tak pernah mengeluh dengan kesibukan saya, atau soal kesendiriannya jauh dari sanak saudara dan teman. Saya bisa saja bilang ingin makan sayuran dan tidur pukul enam sore, dia pasti akan membuatnya dan membantu saya. Dia sungguh perempuan baik, tak pernah berprasangka buruk. Kami hampir tak pernah ribut.Tapi tiga anak cukup merepotkan sementara kami tak mau pakai pengasuh. Jelas, hubungan kami sebagai anggota keluarga berubah. Pernah saya ikut lomba Milan - San Remo, Italia, tanpa keberadaan Kik dan anak-anak. Padahal dulu Kik selalu mau saya ajak ke sana.Suatu malam di bulan Mei, kami makan malam di sebuah tempat di Girona untuk memperingati empat tahun perkawinan kami. Hanya berdua, itu janji kami sejak menikah dulu. Betapa dalam empat tahun banyak hal berubah. Kami punya empat rumah dan tiga anak, banyak sepeda rongsok dan pelbagai macam pemeriksaan medis, dan kami telah memenangi tiga Tour. Kami melaluinya dengan cepat. Jatuh cinta cepat, menikah cepat, punya anak cepat, meraih sukses dengan cepat, punya anak lagi cepat, dan problem datang dengan cepat.Dari luar tampaknya keadaan keluarga saya sangat baik, seperti dongeng. Tapi dalam kenyataan, setiap hari berakhir kami merasa jadi orang lain. Anak-anak capek dan orangtua juga capek. Saya sibuk dan Kik lelah dengan tiga anak yang belum tiga tahun. Kami mestinya tak boleh mengeluh karena kami telah memperoleh banyak. Apa mau dikata, rasa tidak bahagia itu ada.Ketangguhan dalam lomba balap sepeda ternyata tak ada artinya dibandingkan dengan mengurusi masalah rumah tangga. Balap sepeda lebih sederhana daripada rumah tangga. Kalau dalam balap sepeda saya mendapati ukuran yang serba jelas untuk menjadi juara, di rumah tangga tidak.The Boss ingin mencatat rekorMerebut kembali Tour adalah ambisi, tapi saya sadar akan jauh lebih berat daripada yang dulu. Tim saya harus solid dan tangguh. Juga ada semangat kebersamaan, kerelaan berkorban. Kalau tidak, bagaimana mungkin delapan pembalap harus berkorban demi satu orang saja, padahal sesungguhnya semua pembalap punya hak untuk jadi juara?Tapi untuk itulah tim dibentuk. Tim kami, US Postal, tak membuat kesalahan sekecil apa pun. Sembilan orang berseragam biru, yang oleh pers Prancis dijuluki "Kereta Biru", menjadi tim terbaik dan mengantarkan saya, kapten tim, meraih gelar ke-4 kalinya. Pers Prancis menjuluki saya "The Boss".Saya sempat berpikir untuk beralih karir demi keluarga. Pengalaman berinteraksi dengan banyak orang, meyakinkan orang, menyemangati penderita kanker menyebabkan saya yakin, saya bisa jadi diplomat. Atau menjadi motivator berbicara di banyak forum.Tapi menjadi juara lima kali Tour de France cukup menantang. Hanya segelintir orang yang bisa melakukannya, dan kesempatan itu sudah di depan mata. Memang, sejarah seabad Tour mengajarkan, menang lima kali sungguh berat - apalagi enam kali, impossible.Eddy Merckx hampir merebut gelar keenam pada 1975 ketika seseorang tiba-tiba menyeruak dari kerumunan penonton dan memukul perutnya. Eddy jatuh meski bisa meneruskan lomba dengan kesakitan. Akhirnya ia dikalahkan Bernard Thevenet.Bernard Hinault menang kelima kali dengan berdarah-darah setelah tabrakan beruntun menjelang finis pada Tour 1985. Ia mengalahkan rekan satu timnya, pembalap AS Greg LeMond, yang menutup kesempatannya untuk menang keenam kalinya pada 1986.Tour memang balap yang penuh risiko. Arenanya terbuka dan semua orang bisa melakukan apa saja kepada pembalap. Kita bisa mepersiapkan apa saja kecuali kecelakaan, yang bisa merenggut nyawa seperti yang terjadi pada Andrei Kivilev tahun 2003. Ia jatuh pada lomba Paris - Nice, retak kepalanya membawa pada kematian.Seorang atlet mestinya membawa kebaikan bagi sekitarnya. Kalau tidak, dia tak berguna. Saya masih mencari apa yang bisa dan tidak bisa saya lakukan bagi orang lain. Saya bisa menjadi simbol perjuangan, contoh harapan, rekan sependeritaan, penasihat, atau pendengar yang baik. Saya bisa mencoba memenangi Tour berkali-kali dan mengenyahkan kanker dari badan. Saya bisa menjelaskan kepada orang tentang penyakit itu dengan amat meyakinkan, saya bisa membantu, dan menyerukan pencegahan.Masalahnya, kadang-kadang saya tidak membantu. Bahkan kepada penderita kanker saya sering hanya menjawab sesuai pengalaman saya, "Cari dokter yang paling ahli, ikuti nasihatnya." Lantas, kalau ada pertanyaan susulan, "Bagaimana caranya untuk selamat?" Jawab saya, "Lakukan pengobatan terbaik."Itu jelas saran ngawur. Amerika Serikat memiliki 9 juta survivor kanker dan penderita baru 1-2 juta orang setahun. Tak semuanya beruntung mendapat perawatan terbaik. Saya sadar, jawaban saya merupakan letupan keengganan saja. Bahwa sebetulnya, saya tak ingin jadi hero. Masalahnya, kalau saya tidak bergerak, saya adalah atlet tak berguna.Februari 2003, setelah menjalani serangkaian konseling, Kik dan saya setuju pisah sementara. Dia di rumah kami bersama anak-anak dan saya ke ranch di Milagro. Kami sibuk melakukan banyak hal tapi lupa hal-hal pokok dalam berumah tangga. Saya mengalami hari-hari melelahkan dalam rumah tangga meski tak tahu apa sebabnya dan harus bagaimana. Saya bahkan tak bisa mencegah ketika hari melelahkan itu menjadi seminggu, menjadi sebulan, bahkan setahun. Ketika kemudian saya ke Eropa untuk mempersiapkan Tour, Kik tetap di Austin bersama anak-anak.Upaya perbaikan kami lakukan ketika meminta Kik datang pada bulan April. Hanya berdua kami di Nice, pertama dalam empat tahun tanpa anak-anak. Agaknya berhasil. Kami menyatu lagi sebagai keluarga. Saya seperti menemukan kekuatan untuk meraih gelar kelima Tour. Sempat kecelakaan saat latihan, tertatih-tatih saat lomba, akhirnya saya memenangi duel klasik dengan Ullrich. Di finish, sang legenda Bernard Hinault menyalami saya, "Welcome to the club."(Sumber: Intisari)