Penulis
Intisari-Online.com - Dr. Thomas T. Noguchi, seorang ahli kedokteran forensik dari Los Angeles, adalah pengagum Senator Robert Kennedy.Tanpa diduga-duga, ia mendapat tugas untuk "berkenalan" dengan sang politisi. Sayangnya, perkenalan pribadinya itu terjadi setelah mereka menjadi mayat. Berikut pengalamannya yang dibukukan dalamCoroner to the Starsyang ditulisnya bersama Joseph DiMona.
Pukul 22.30, tanggal 4 Juli 1968, saya berada di rumah saya di Oxford Street, di Distrik Wilshire, Los Angeles. Saya sudah merebahkan diri, sedangkan istri saya, Hisako, masih menonton televisi di lantai bawah. la ingin tahu siapa yang bakal memenangkan pemilihan pertama dalam Partai Demokrat di Kalifornia.
Kami pengagum Senator Robert Kennedy. Bagi saya, ia dan yang saya sebut "Great America", semua grup etnik, sehingga kami merasa ia seperti berkata kepada kami, "Ya, kalian pun orang Amerika."
Ketika itu mulai ada tanda-tanda akan menang, padahal sebelumnya saya sudah berkecil hati, sebab tampaknya Senator Eugene McCarthy yang akan menang.
Saya merasa lelah, karena harus bekerja enam belas jam sehari sekarang. Sejak Dr. Curphrey pensiun tahun 1967, saya menjadi penggantinya dan saya juga ditunjuk menjadi chief medical examiner. Saya merupakan orang Jepang Amerika pertama yang menjadi chief medical examiner untuk daerah metropolitan yang luas di AS. Seperti lazimnya, saya harus menjalani masa percobaan enam bulan. Saat itu saya sedang risau, karena mendekati akhir masa percobaan, saya mendengar desas-desus bahwa saya akan dicopot, karena dianggap "orang asing".
Malam itu saya dibangunkan oleh dering telepon. Sebelum gagang telepon menempel di telinga, saya sudah mendengar suara cemas dari wakil-wakil saya, "Dr. Noguchi, Dr. Noguchi! Ada kejadian hebat. Kennedy ditembak!"
Cepat-cepat tangan saya menjangkau tombol televisi. Segera muncul pemutaran ulang adegan penembakan. Kedengaran teriakan- teriakan manusia dan close-up wajah Senator Robert Kennedy di lantai dapur sebuah hotel. Seorang paramedis berkata, senator kena tembak kepalanya. Saya merasa terguncang.
Kenendy sudah memenangkan pemilihan pertama dalam partainya dan saya mengharapkan agar ia tidak meninggal. Menurut berita televisi, polisi tidak tahu apa persis yang terjadi. Hanya diketahui seorang pemuda bersenjata revolver ditangkap, tetapi apakah ada penembak-penembak lain yang lolos?
Sandy Serrani, seorang gadis yang membantu kampanye Kennedy, muncul di luar dengan terengah-engah. Ia memberi keterangan kepada reporter bahwa ia berada di luar untuk menghirup udara segar, ketika senator dielu-elukan orang di dalam gedung. Tiba-tiba seorang gadis berpakaian bintik-bintik berlari ke luar dari hotel seraya berteriak, "Kami menembaknya!"
Saya benar-benar risau. Dalam hati saya berdoa: Jangan sampai peristiwa Dallas terulang lagi!
Lima tahun yang lalu, ketika Presiden John F. Kennedy ditembak di Dallas, tubuhnya dipindahkan secara paksa oleh agen-agen FBI dan diautopsi oleh dokter-dokter tentara yang tidak qualified sebagai ahli patologi forensik. Mereka berbuat sebaik-baiknya, namun seperti kata medical examiner dari New York City, Dr. Milton Helpern, tindakan itu sama saja seperti menyuruh anak umur tujuh tahun yang baru les biola tiga kali untuk memainkan simfoni Tshaikovsky bersama New York Philharmonic.
Saya dengar bahwa jantung dan nadi Senator Kennedy berhenti berdenyut di dalam ambulans. Segala usaha dilakukan untuk menyelamatkannya. Jantung Kennedy berdenyut lagi perlahan, namun pukul 20.30 malam harinya dilaporkan gelombang otaknya menjadi datar. Tangan saya rasanya menjadi dingin.
Di luar Good Samaritan Hospital tanggal 6 Juni, pukul 03.00 spanduk betuliskan "Berdoalah untuk Bobby" diturunkan. Senator Robert F. Kennedy sudah meninggal.
Rambut pembuka rahasia
Ketika pagi itu diminta datang ke rumah sakit, saya melihat wajah-wajah orang muda yang kehilangan harapan, sedangkan seorang biarawati menangis sambil memegang rosario.
Sudah sejak pukul 02.00 saya minta ruang autopsi disiapkan sebaik-baiknya. Pintu ruang autopsi dijaga petugas keamanan. Dua orang wakil saya menyapa dengan suara perlahan. Selain staf saya, hadir pula para petugas kantor kejaksaan dan dokter-dokter yang telah mencoba menyelamatkan jiwa Kennedy.
Tubuh Senator Kennedy terbaring di sebuah meja, ditutupi sehelai kain putih. Saya melepaskan perban dari kepalanya dan menoleh ke ahli bedah yang mengoperasinya. Di mana rambut yang dicukur dari kepala Kennedy? Rambut sekitar daerah luka bisa memberikan bukti yang kritis. Jadi, saya meminta salah seorang staf saya cepat pergi ke kamar operasi untuk mencari kalau-kalau rambut Kennedy masih ada di sana. Tenyata rambut itu disimpan seorang petugas rumah sakit. Dengan hati-hati rambut itu dimasukkan ke sampul khusus untuk barang bukti.
Kini tiba giliran tubuh. Saya begitu tergugah oleh emosi ketika itu, sehingga saya meminta wajah almarhum ditutupi dengan handuk. Ini bukan prosedur lazim dan rekan-rekan saya merasa heran. Dalam hidup saya, saya pernah mengautopsi ribuan jenazah, namun cuma sekali ini saya meminta wajah mayat ditutupi. Tanpa melihat wajah tokoh yang saya kagumi itu saya merasa lebih tenang untuk melaksanakan pekerjaan saya secara profesional.
Saya juga mengheningkan cipta sejenak, sebab demikianlah cara orang Jepang menunjukkan hormat kepada orang yang meninggal.
Kami memulai autopsi dari kaki menuju ke kepala. Sebetulnya prosedur yang lebih lazim ialah mulai dari kepala ke kaki. Saya kira kalau sekali ini saya mulai dari kepala dulu, perhatian akan terlalu banyak diberikan pada luka di kepala, sehingga bukti-bukti penting di bagian lain akan diabaikan, kalau ada.
Saya menemukan bekas luka di tungkai kirinya. Menurut radiolog kepala di rumah sakit ini, dalam catatan kesehatan Kennedy memang disebutkan tungkainya itu pernah patah akibat main ski. Terbayang oleh saya Kennedy yang aktif, yang senang berolahraga. Betapa cintanya ia pada hidup ini.
Luka baru yang pertama saya dapati berupa lubang bekas peluru yang mulai di bawah dan agak ke belakang dari ketiak kanan. Peluru menembus dan keluar dari bahu kanan. Peluru itu tidak didapati.
Luka kedua juga terletak di bawah ketiak, kira-kira satu inci dari luka pertama. Peluru berjalan tidak searah dengan yang pertama. Ia melalui punggung dan bersarang di jaringan lembut di daerah paracervical. Dengan telunjuk dan ibu jari saya angkat peluru kaliber .22 itu.
Yang menyebabkan kematian Kennedy ialah peluru yang menembus tengkoraknya dari daerah mastoid, kira-kira 1 inci di sebelah kiri telinga kanan Kennedy. Peluru yang penting itu justru hancur, sehingga potongan-potongannya saja yang bisa dianalisis. Peluru itu juga ternyata berkaliber .22, tetapi tidak bisa ditentukan secara pasti apakah betul-betul ia peluru yang keluar dari senjata Sirhan. Perlu bukti lain untuk memastikannya apakah Sirhan betul pembunuhnya.
Diawasi sekian banyak orang akhirnya saya mengakhiri autopsi paling saksama yang pernah saya lakukan. Namun ironisnya, autopsi yang cermat itu, yang memberikan data paling dasar, justru menimbulkan dorongan untuk timbulnya pelbagai pertanyaan yang meragukan Sirhan sebagai pembunuh Kennedy.
Sehari setelah autopsi, seorang kriminalis dari kepolisian Los Angeles muncul di kantor saya.
"Dr. Noguchi, kami menemukan sesuatu di rambut yang dicukur dari kepala Senator Kennedy."
"Apa?"
"Sisa serbuk mesiu. Bukan cuma elemen-elemen metalik, tetapi juga benda lain yang kemungkinan jelaga."
"Jelaga?"
Baru tadi pagi saya diberi tahu oleh polisi bahwa menurut semua saksi mata yang ditanyai, Sirhan berada kira-kira semeter jaraknya dari Kennedy ketika ia menembak. Kalau ada jelaga di rambut, artinya senjata ditembakkan hanya dari jarak beberapa inci saja. Saya pelajari dengan saksama foto inframerah yang menunjukkan cukuran rambut. Saya ingat pola serbuk mesiu di kepala Kennedy. Tidak ada jelaga di telinganya. Bisa saja jelaga itu sudah dibersihkan oleh perawat sebelum Kennedy dibedah.
Saya pikir, tes balistik diperlukan untuk menentukan dari jarak berapa jelaga masih menempel pada korban. Kami mengadakan tes dengan tujuh telinga babi di markas besar polisi. Pistol ditembakkan dari jarak yang berbeda-beda 1 inci. Dari jarak 3 inci, pola serbuk mesiu yang terbentuk ternyata cocok dengan pola pada telinga kanan Kennedy, begitu pula bentuk lukanya dan partikel-partikel korban yang melekat.
Senjata yang membunuh Kennedy berada 1 inci dari telinga kanannya dan 3 inci di belakang kepalanya. Padahal tidak seorang saksi mata pun melihat Sirhan menembak dari jarak sedekat itu.
Ditembak waktu menjabat tangan koki
Kennedy ditembak dalam dapur hotel yang penuh sesak dengan manusia yang mengelu-elukannya Dari empat peluru yang ditembakkan pada Kennedy, tiga mengenai tubuhnya, satu kena pakaiannya saja. Lima orang di belakang Kennedy kena peluru dan kelima peluru itu ditemukan di tubuh mereka. Selain itu tiga peluru ditemukan di langit-langit. Jadi, ditemukan dua belas peluru, padahal senjata Sirhan hanya bisa berisi delapan peluru. Polisi yakin ada peluru yang memantul. Namun sampai ia meninggal, salah seorang korban peluru, Allard Lowenstein yang merupakan salah seorang pendukung Kennedy yang paling gigih, yakin bahwa Sirhan tidak bertindak sendirian. Peneliti pembunuhan seperti Vincent Bugliosi yang terkenal itu pun merasa pasti ada pembunuh lain di ruang itu.
Menurut saksi mata, Kennedy berjabatan tangan sambil tersenyum dengan koki, lalu dor! - lengan kanan Kennedy terangkat. Terdengar lagi beberapa tembakan. Seorang pemuda berkulit gelap menembak dari jarak 0,5 -1 m dari Kennedy. Pistolnya dipegang dengan kedua belah tangan.
Kennedy bersandar pada freezer. la menyeringai dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Demikian laporan Boris Yaro dari Times. Laporannya itu hampir persis dengan laporan para saksi mata lain: Sirhan menembak dari depan.
Namun bukti forensik lain lagi: Sesaat setelah Kennedy masuk ke dapur, pistol muncul 3 inci dari belakang kepalanya. Tembakan dilepaskan, penembak kabur. Kennedy mengangkat tangan kanannya dan berbalik. Tembakan-tembakan lain dilepaskan.
Sebuah peluru menembus pakaian di atas pundak, dua kena ketiak dan menembus dari arah berlainan, karena Kennedy berbalik.
Ini berarti ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Sirhan menyerbu ke arah Kennedy, lalu menembak (tindakan itu lolos dari perhatian orang-orang lain), Kennedy berbalik dan Sirhan mundur lebih jauh. Kedua, ada orang lain yang menembak Kennedy dari dekat, lalu kabur. Sirhan menembak dari jarak tiga kaki setelah Kennedy berbalik.
Saya yakin yang pertamalah yang terjadi. Dari pengalaman, saya tahu saksi mata dalam keadaan demikian tidaklah selalu melihat kebenaran. Mereka begitu terpesona oleh tokoh terkenal itu, sehingga tidak menaruh perhatian ke tempat lain.
Namun sulit juga meyakinkan orang bahwa Sirhan berada begitu dekat dengan Kennedy, karena para saksi mata tidak melihatnya demikian. Karl Eucker, manajer hotel yang mengantar Kennedy ke dapur, merupakan orang pertama yang meringkus Sirhan dan ia yakin Sirhan tidak sempat berada terlalu dekat dengan Kennedy karena keburu ia ringkus.
Sirhan bersikeras ia bertindak sendiri. Naluri profesional saya menyatakan ia satu-satunya penembak, walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya penembak kedua.