Find Us On Social Media :

Tugas Kesetiaan Uskup Belo (4)

By Agus Surono, Senin, 12 November 2012 | 18:00 WIB

Tugas Kesetiaan Uskup Belo (4)

Intisari-Online.com - Beberapa bulan setelah kunjungannya ke Italia untuk memperingati 100 tahun meninggalnya Don Bosco, Belo menerima promosi. Promosi itu menempatkannya sebagai orang lokal pertama yang menjabat sebagai Uskup Dioses Dili. Upacara yang berlangsung pada 19 Juni 1988 itu sungguh sulit dipercaya bagi Dona Ermelinda.

Babak baru dalam kehidupan Belo sebagai uskup segera dimulai. Pernyataanya yang dimuat New York Time 22 Januari 1989, dengan headline-nya "Bishop Says Indonesia Tortures in East Timor" menunjukkan ke arah mana ia akan berjalan.

Belo - yang menguasai beberapa bahasa asing - segera menulis surat ke Sekjen PBB, Javier Peres de Cuellar. Intinya mengharap proses dekolonialisasi di Timtim harus melibatkan rakyat Timtim. Dijelaskan juga bahwa Indonesialah yang bilang bahwa rakyat Timtim memilih integrasi. Rakyat sendiri tidak pernah mengatakan hal itu. Di akhir suratnya, ia memberi jalan alternatif terbaik: REFERENDUM bagi rakyat Timtim di bawah kendali PBB. Meski sudah dikirim dari luar Timtim, toh surat itu bisa bocor juga. (Surat itu sendiri dibalas setelah lima tahun.)

Mengingat surat itu bisa berdampak buruk bagi institusi gereja, Dubes Vatikan Uskup Agung Francesco Canalini menyatakan bahwa surat itu adalah prakarsa pribadi Belo yang tidak mewakili kebijakan Gereja. Surat ke Sekjen PBB itu juga menempatkan Belo sebagai satu-satunya uskup Katolik yang melewati batas kewenangan. Canalini pun mengirim surat ke Belo untuk menarik kembali apa yang telah ia tulis ke Sekjen PBB.

Konflik dengan Roma membuatnya sakit hati. Ia memang termasuk anggota Gereja Katolik, tapi melihat kesewenang-wenangan dan penindasan, hati nuraninya berontak. Andaikata tidak ada konflik di Timtim, Belo mungkin puas dengan mengajar sekolah dan mengorganisasi kegiatan anak muda. Tetapi, rakyatnya terancam dan uskup tidak bisa acuh begitu saja. Uskup dan pastor bisa bersuara, namun rakyat kebanyakan tidak. Jika mereka bicara, mereka akan berhadapan dengan interograsi atau penyiksaan. Risiko memang mengancamnya, termasuk nyawa.

Percobaan pembunuhan terhadap Belo nyaris terjadi pada Juli 1989 ketika sedang dalam perjalanan untuk kotbah di Baucau. Teror itu memuncak ketika mendekati kedatangan Paus Yohanes Paulus II. Kunjungan yang berlangsung tanggal 12 Oktober 1989 itu diwarnai unjuk rasa para pemuda yang menyerukan, "Hidup Paus. Hidup kemerdekaan.

Tertekan oleh radikalisme pemuda Timtim

Pemuda Timtim, yang kebanyakan kehilangan orang tua atau kerabat saat proses integrasi, semakin radikal. Mereka selalu memanfaatkan momen seperti kunjungan orang luar untuk berdemonstrasi. Termasuk kunjungan Dubes Amerika, John Monjo. Belo marah sekali melihat ulah itu. "Kamu tidak memiliki senjata, kamu tidak memiliki cara untuk melindungi dirimu sendiri, kamu hanya akan mendapatkan dirimu terbunuh! Pulang, aku bilang, pulang!"

Di mata pemuda, Belo dinilainya terlalu lemah. Ia sudah tua dan lunak. Uskup telah menjual dirinya kepada Indonesia. Mungkin ada orang lain yang bisa melakukan tugasnya dengan baik. Belo menjawab hal itu dengan berkata, "Baiklah, kamu yang mengurusi dioses, saya akan pergi ke gunung!" Ia pun meneteskan air mata, trenyuh dengan sikap "grusa-grusu" mereka. Ia kemudian menekankan bahwa ia hanyalah orang gereja, bukan gerilyawan, militer, atau agitator, dan ia tidak mendukung cara konfrontasi mereka.

Tapi, "Saya benar-benar tertekan ketika anak-anak muda ini dibawa pergi, diinterograsi, dan disiksa. Keberanian dan kekuatan mereka untuk melawan membuat saya terkesan. Mereka bilang, 'Tak menjadi soal kami menderita dan meninggal. Ini negeri kami!'" ratap Belo tahun 1994. "Kadang-kadang sebagai uskup saya harus berkata kasar kepada mereka sebab bagi saya lebih penting mereka tidak disiksa, dipukul, dilukai, dan dibunuh. Jika generasi muda ini hilang, maka di kemudian hari kami tidak memiliki orang untuk membangun Timtim," kata Belo.

Upayanya mencari perdamaian bagi tanah kelahirannya membuat tokoh-tokoh yang bergiat dalam kemanusiaan mencalonkannya sebagai peraih Nobel. Di antara pengusul itu tercatat Uskup Afrika Selatan Desmond Tutu dan aktivis HAM Irlandia Maired Maguaire. Belo akhirnya meraih Nobel Perdamaian 1996 bersama Jose-Ramos Horta

Ketika kabar itu muncul, Belo sedang mengadakan Misa Terima Kasih di Komoro. Setelah selesai kotbah, ia melanjutkan "Doa Aku Percaya" ketika tiba-tiba seorang pastor mendatanginya dan menyerahkan secarik kertas berisi kabar ia meraih Nobel Perdamaian bersama Ramos Horta. Tanpa ekspresi terkejut, bahkan tersenyum pun tidak, kertas itu dimasukkan ke sakunya dan ia melanjutkan misa lagi. Ia menyerukan kepada rakyat Timtim, terutama kaum muda, untuk tidak merayakan penghargaan itu.

Ucapan selamat atas penghargaan Nobel datang dari berbagai penjuru dunia, kecuali Amerika. (Sejak invasi, kebijakan Amerika cenderung mendukung Indonesia.) "Saya berharap hal ini akan melindungi Anda untuk bekerja lebih giat bagi perdamaian di Timor Timur ... melanjutkan bekerja bersama rakyat dengan antusiasme yang sama, dengan iman yang sama, dan dengan loyalitas yang sama," kata Paus Yohanes Paulus II saat memberikan ucapan selamat. (Intisari)