Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (1)

Nur Resti Agtadwimawanti

Penulis

Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (1)

Intisari-Online.com - Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri. Pagi itu juga, dengan ditemani dr. Tan, saya berangkat ke istana. BK sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang. Kami diperkenalkan kepada mereka, lalu bersama-sama kami pergi ke ruang khusus untuk pelayanan gigi di Istana Negara.

Pantas masuk museum

Alangkah terperanjatnya saya melihat peralatan di sana. Betul semuanya terawat dengan baik, tetapi saya anggap sudah tidak layak lagi untuk praktik modern, apalagi untuk merawat gigi seorang kepala negara!

"Bagaimana ruang praktik ini, Pak Dokter? Adequaat (memadai), bukan?" tanya BK dengan nada bangga. Saya kira, saya wajib berterus terang kepada Presiden RI, jadi saya menjawab, "Maafkan, Pak. Alat-alat kuno ini sepantasnya ditempatkan di museum."

Saya dapati orang-orang lain terkejut dan melirik BK. Saya sendiri menjadi waswas. Apakah keterusterangan saya akan menyebabkan BK marah? BK tercengang sejenak. Kemudian saya lihat matanya seperti tersenyum dan seluruh wajahnya segera ceria

"Pak Dokter yang satu ini rupanya memang lain daripada yang lain," kata BK. "Bagaimana, Pak Hardjo? Kata Pak Dokter Oei, alat-alat ini seharusnya sudah ada di museum. Dari mana alat-alat ini?"

"Dari dump NICA, peninggalan Belanda, Pak!" jawab Pak Hardjo, Kepala Rumah Tangga Istana.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya BK. Saya jelaskan bahwa saya benar-benar tidak berani menggunakan alat-alat itu, sebab sudah tidak memiliki lagi keterampilan untuk menanganinya. Kalau saya menggunakannya, ada kemungkinan saya melukai lidah, gusi, atau pipi. Bor yang tersedia pun tidak dilengkapi dengan semprotan air, padahal kalau menjadi panas ia bisa merangsang saraf gigi. "Bapak akan menderita," kata saya. "Sebaiknya Bapak datang saja ke tempat praktik saya."

Diangkut dengan truk

Usul saya dirundingkan oleh hadirin. Karena alasan keamanan, pengobatan di rumah saya dianggap tidak mungkin. Akhirnya kami mengambil keputusan yang sebetulnya tidak ideal. Perawatan tetap akan dilakukan di istana, tetapi dengan alat-alat milik saya. Alat-alat itu akan diangkut dengn truk!

Dengan alat-alat yang biasa saya pakai, saya bisa bekerja dengan aman dan leluasa. Seusai pengobatan pertama, BK memberi komentar. "Memang dokter gigi ini hebat, saya tidak merasa sakit sedikit pun!"

"Yang hebat 'kan alat-alat canggih ini, Pak," jawab saya. Alat-alat itu khusus saya datangkan dari Jepang pada 1960.

Setelah pengobatan selesai, alat-alat dibongkar lagi untuk dipasang kembali di rumah, tetapi saya belum boleh pulang. Saya diajak duduk-duduk dan minum di serambi belakang. Kami bercakap-cakap seperti layaknya dua orang yang baru berkenalan.

Ketika melihat Menteri Sosial Muljadi Djojomartono lewat di halaman istana, BK memanggil. "Pak Mul, Pak Mul, mari berkenalan dengan dokter gigi saya yang baru."

"Saya sudah mengenal drg. Oei, sedikitnya sepuluh tahun, Pak," jawabnya.

Menteri P & K Prof. Dr. Prijono juga dipanggil, untuk diperkenalkan. Prof. Prijono menjawab, bahwa dirinya sudah lama menjadi pasien saya. Dengan nada agak menyesali BK berkata, "Bagaimana sih Bapak-bapak Menteri ini? Mengapa tidak sejak dulu-dulu memberi tahu saya?"

Menteri Muljadi berani menjawab, "La, Bapak sudah sejak dulu gandrung dengan drg. X."

Sebetulnya sebelum menjadi dokter gigi BK, saya pernah bertemu dengan BK di suatu jamuan kenegaraan yang diadakan di sebuah kedutaan asing di Hotel Indonesia. Saat itu kepala negara asing sedang melakukan kunjungan kenegaraan dan kebetulan dubesnya adalah pasien saya. Pertemuan dengan BK di resepsi itu sungguh merupakan pengalaman yang mengesankan bagi saya, tetapi tentu saja BK tidak terkesan oleh saya, yang cuma merupakan salah seorang tamu. (Intisari)