Perang Itu Nafkahnya (2)

Agus Surono

Penulis

Perang Itu Nafkahnya (2)

Intisari-Online.com - Dalam sejarah militer, orang Gurkha adalah legenda. Dalam kisah peperangan, Gurkha adalah sosok prajurit yang menakutkan dan dianggap "mesin "perang infanteri. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, Gurkha sesungguhnya juga manusia biasa. Kisah legendaris prajurit Gurkha inilah yang diuraikan Christopher Chant dalam buku Gurkha: The Illusrated History of an Elite Fighting Force (1985).

Ketika PD I meletus, hampir semua pasukan India dan Gurkha diboyong Inggris untuk menghadapi bala tentara Jerman di medan tempur Eropa. Bersamaan dengan itu, pengadaan tentara sukarelawan bertambah banyak. Jumlah prajurit Gurkha pun terus membengkak sampai menjadi 38 batalion.

Di kancah pertempuran Eropa inilah pasukan Gurkha dan tentara India mendapat pengalaman baru di medan tempur. Paling tidak mereka menjumpai tempat, kondisi, dan iklim yang relatif belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Yakni kombinasi musim dingin dengan curah hujan agak tinggi yang menyebabkan medan tempur berlumpur. Ini terutama didapati di medan tempur Barat.

Di kancah inilah terlihat perbedaan penampilan dan daya tempur pasukan India dan Gurkha. Sementara pasukan India nyaris putus asa menghadapi ganasnya medan, gerombolan Gurkha dengan mudah dapat mengatasi kesulitan alam ini.

Sebuah ilustrasi bisa dikemukakan sehubungan dengan keberanian dan keandalan serdadu Gurkha. Batalion 2 dari Resimen II Gurkha yang bertugas di Desa Neuve Chapelle, Prancis, bulan November 1914, membuktikan citra kegagahberanian mereka. Baru tiba tiga hari di tempat itu, mereka dihujani bom oleh pasukan artileri Jerman yang mendapat dukungan infanteri. Dengan cepat Gurkha mulai menyusun strategi pertahanan, namun belum sampai terbentuk keburu dihujani meriam Jerman.

Korban yang jatuh di pihak Gurkha banyak. Tak terbayangkan, bagaimana nasib mereka karena setiap saat pasukan Jerman bisa datang dan membumihanguskan sisa-sisa anggota batalion Gurkha yang sudah porak poranda. Tapi untung, keadaan itu diselamatkan oleh beberapa perwira dan batalion pasukan Inggris yang berhasil mengumpulkan prajurit Gurkha di mana bisa ditemukan dan kemudian membentuk pertahanan. Meskipun di pihaknya 38 tentara tewas, termasuk tujuh tentara Inggris, usaha ini mampu mengurangi keganasan serangan Jerman. Ternyata cara ini membantu menaikkan moral para serdadu Gurkha untuk melakukan cara baru penyerangan. Terbukti, akhirnya mereka dapat merebut posisi yang semula diduduki Jerman terserbut.

Keberhasilan Gurkha bertahan sampai kemudian menang di Neuve Chapelle menjadi inspirasi rekan-rekannya sebatalion yang berada pada posisi La Qinque Rue. Hampir semua anggota regu tersebut musnah oleh ledakan bom ranjau Jerman. Tapi regu pendampingnya tetap gagah berani mempertahankan posnya. Mengetahui kalau yang mempertahankan pos tersebut hanya satuan pendamping, Jerman semakin mengeksploitasi serangannya. Korban Gurkha dan pihak Inggris mencapai 152 orang, dalam pertempuran yang berlangsung selama 48 jam sebelum Gurkha menyerahkan posisi itu kepada batalion lain.

Akhirnya, pada bulan November 1915 batalion 2 tersebut ditarik dari Prancis. Setelah dihitung, 177 tentara Gurkha tewas sementara 825 terluka. Meski jumlah itu merupakan kehilangan besar, toh di Nepal pendaftaran dan pendidikan tentara baru bisa dilakukan dengan cepat. Tenaga baru ini siap setiap saat dikirim ke medan perang menggantikan teman-temannya.

Di medan PD I itu pengalaman memang bisa disebut komoditi yang bisa didapat dengan mudah, meski bagi Gurkha harus dibayar dengan sangat mahal.

Kemudian di kancah PD II, nama Gurkha seakan-akan paten sebagai "mesin" perang yang menakutkan lawan. Di mana saja barisan Gurkha ini dihadirkan, selalu akan mencuat kisah nyata tentang keberanian serdadu yang berperawakan tak besar, serta beraut muka lain dari umum. Juga pisau kukri Gurkha, sudah menjadi cap maut dan lambang khas tentara Gurkha dalam menunaikan tugas, atau menyelesaikan nyawa lawannya.

"Karier" perang Gurkha yang berciri "tak takut mati" itu, sejak awal PD II terperaga lagi di pelataran perang di Afrika Utara, Timur Tengah, Eropa, Malaya, dan Myanmar (Birma). Walau akhirnya tercatat jumlah Gurkha yang tewas dan terluka sampai 20.000 orang, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tentara Gurkha ini memang manusia perang sejati. Di padang pasir Irak, orang Gurkha tetap unggul sebagai tentara infanteri yang tahan cuaca dan bertugas nyaris sempurna. Di Pegunungan Alpen pun, tentara Gurkha tetap lincah dan bersikap siaga penuh.

Salah satu seteru yang kemudian mengakui keunggulan Gurkha dalam segala hal, tentunya bala tentara Dai Nippon yang di PD II itu merajalela. Tentara Jepang yang telengas, tahan menderita dan sepertinya tak peduli terhadap keganasan cuaca tropis dan lainnya, atau seakan-akan kebal terhadap serangan segala penyakit, ternyata harus mengangkat topi mengeluarkan komentar kagum terhadap tentara asal kaki Pegunungan Himalaya ini.

Khususnya pamor tentara infanteri Jepang yang betul-betul dapat muncul dan hilang seperti ninja, ditambah taktik dan strategi perang hutan yang terkenal, ternyata dalam waktu tak lama, tentara Gurkha di Malaya dan Myanmar sudah dapat menirunya. Bahkan dalam salah satu serangan balik, tentara Gurkha ini memakai taktik buru dan sergap yang dipelajari dari tentara Jepang. Alhasil, tentara Jepang kelabakan diserang pasukan siluman Gurkha yang tak kalah ajaibnya dengan infanteri ninja Jepang.

Sesuai PD II, apalagi sejak Inggris cukup banyak menganugerahkan penghargaan kepada tentara Gurkha sebagai pahlawan perang, lalu ditambah kisah nyata dengan bumbu segar tentang kehebatan tembakan senapan, runcingnya mata bayonet dan kukri Gurkha, serta semangat perang Gurkha yang dianggap macam "mesin" perang infanteri, nama Gurkha menjadi bagian dari legenda "manusia perang" selama PD I dan II. Dampaknya bagi masyarakat Gurkha sendiri, perang yang merupakan ajang pertaruhan nyawa, makin menarik sebagai ajang pencarian nafkah dan penentuan masa depan mereka.

Suka mabuk dan mengejar wanita

Orang Gurkha sendiri di tanah asalnya, Nepal, bukanlah golongan ksatria (prajurit), melainkan termasuk golongan waisya (pedagang, petani, atau peternak). Namun sejak invasi Inggris ke Nepal, orang Gurung dan Magar ini tetap tegak dan nekat melawan. Pada akhirnya, jiwa ksatria mendominasi penampilan orang-orang Gurkha ini. Mereka nyaris menanggalkan sama sekali ciri waisya mereka.

Tapi seperti juga manusia biasa lainnya, orang Gurkha bukannya tanpa cacat atau kelemahan. "Orang Gurkha itu memiliki sikap buruk juga," ujar seorang pelatih keprajuritan Inggris. "Mereka amat mudah terjerumus menjadi peminum alkohol, mudah sekali terlibat dalam perjudian, selain amat suka mengejar wanita."

Ada kisah tentang kelemahan orang Gurkha ini. Dalam suatu pertempuran, pasukan Gurkha sudah berminggu-minggu terjepit pasukan komando Jerman. Sekali waktu, Inggris berhasil menerjunkan perbekalan, isinya antara lain minuman keras. Malamnya, para prajurit Gurkha itu mabuk-mabukan sambil menyanyikan lagu-lagu kampung halamannya. Keesokan harinya mereka bertempur dengan semangat perang di hari pertama.

Orang Gurkha juga dikenal punya selera humor yang lumayan. Seorang perwira Inggris pernah kelabakan karena tercebur ke dalam lubang perlindungan dan dihujani peluru dan mortir. Di puncak kecemasan itu, tiba-tiba terdengar suara cekikian di dekatnya. Ternyata ada seorang serdadu Gurkha sedang asyik duduk dan mengintip musuh. "Lucu sekali, Pak," ujar si serdadu Gurkha itu, "kita tak bisa keluar, mereka tak berani masuk. Hi ... hi ... hi .... Bapak tak usah takut, musuh juga takut dan tidak berani menyerang kita."

Pernah juga satu pasukan Gurkha yang sedang menjadi barisan kehormatan tiba-tiba bubar berantakan di ujung jalan. Mereka tertawa dengan hebatnya. Rupanya mereka tak sanggup menahan diri melihat sepasang unta sedang kawin. Padahal pasukan Gurka terkenal sangat disiplin saat menjadi barisan kehormatan. "Untung di medan perang belum pernah ada unta kawin," komentar seorang mayor Inggris kehabisan akal.

Peranannya semakin berkurang

Peran prajurit Gurkha dalam peperangan modern boleh jadi akan semakin berkurang. Seperti halnya dalam Perang Teluk yang bak etalase persenjataan canggih super modern, pemerintah Inggris toh tak memanfaatkan prajurit gila perang ini. Namun, sejarah tetap akan mencatat adanya orangorang gunung dari kaki Himalaya yang selama 1,5 abad mampu mencengangkan dunia dengan kemampuan perangnya yang mengagumkan.

Tapi orang Gurkha sendiri tetap saja tidak tahu mengapa mereka bisa memiliki keberanian berperang yang mengherankan lawan-lawannya. Mengapa mereka berani terus berdiri dan menembaki musuh, sementara di sekelilingnya puluhan rekannya sudah tewas bergelimpangan. Mengapa seorang diri mereka bisa begitu nekat merampas tiga tank Jerman hanya dengan berbekal senapan sederhana dan sebilah kukri.

"Satu sikap jelek kami, jangan membuat kami marah," ujar Lachchiman Gurung, yang kehilangan sebelah tangannya akibat menangkap granat dengan tangan kiri sambil terus menembaki 30-an tentara Jepang hingga laras senapannya merah membara.

"Kami pemberani? Tidak, kami juga ingin hidup. Di medan perang, sebaiknya kita berusaha hidup terus, makanya musuh itu harus dimatikan dulu," ujar seorang prajurit Gurkha yang berhasil lolos dari tahanan Jepang. Prajurit ini melarikan diri menembus hutan sendirian selama dua bulan. Lalu ia melapor ke pos terdekat dan kembali memimpin penyerangan balasan dengan rute pelarian yang diingatnya tanpa cacat cela.

Sekali waktu, saat teknik strategi dan peralatan perang sudah amat maju dan canggih, prajurit macam prajurit Gurkha barangkali tak lagi banyak berperan. Saat itu boleh jadi para prajurit Gurkha ini akan kembali ke kampung halamannya masing-masing, dan kembali hidup layak sebagai manusia biasa. Puluhan atau ratusan jasad prajurit Gurkha yang tewas dalam pelbagai medan pertempuan hanya akan tinggal dalam kenangan rekan-rekan dekatnya saja.

Tatkala diajukan pertanyaan, "Mengapa menjadi tentara bayaran?", seorang prajurit Gurkha menjawab balik dengan pertanyaan, "Apa ada pekerjaan lain yang sama baiknya?" Orang Gurkha memang gila perang, karena di sanalah mereka bisa mengembangkan bakat dan kemampuannya. Tapi mereka bukannya antiperdamaian, meski bumi yang damai dan tanpa perang mungkin tidak akan menyisakan secuil peranan pun bagi pengembangan kemampuan prajurit Gurkha. Atau boleh jadi, eksistensi prajurit Gurkha adalah pertanda bahwa bumi tak akan pernah lepas dari peperangan? (Intisari)