Find Us On Social Media :

Perang Itu Nafkahnya (2)

By Agus Surono, Selasa, 30 Oktober 2012 | 18:49 WIB

Perang Itu Nafkahnya (2)

Intisari-Online.com - Dalam sejarah militer, orang Gurkha adalah legenda. Dalam kisah peperangan, Gurkha adalah sosok prajurit yang menakutkan dan dianggap "mesin "perang infanteri. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, Gurkha sesungguhnya juga manusia biasa. Kisah legendaris prajurit Gurkha inilah yang diuraikan Christopher Chant dalam buku Gurkha: The Illusrated History of an Elite Fighting Force (1985).

Ketika PD I meletus, hampir semua pasukan India dan Gurkha diboyong Inggris untuk menghadapi bala tentara Jerman di medan tempur Eropa. Bersamaan dengan itu, pengadaan tentara sukarelawan bertambah banyak. Jumlah prajurit Gurkha pun terus membengkak sampai menjadi 38 batalion.

Di kancah pertempuran Eropa inilah pasukan Gurkha dan tentara India mendapat pengalaman baru di medan tempur. Paling tidak mereka menjumpai tempat, kondisi, dan iklim yang relatif belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Yakni kombinasi musim dingin dengan curah hujan agak tinggi yang menyebabkan medan tempur berlumpur. Ini terutama didapati di medan tempur Barat.

Di kancah inilah terlihat perbedaan penampilan dan daya tempur pasukan India dan Gurkha. Sementara pasukan India nyaris putus asa menghadapi ganasnya medan, gerombolan Gurkha dengan mudah dapat mengatasi kesulitan alam ini.

Sebuah ilustrasi bisa dikemukakan sehubungan dengan keberanian dan keandalan serdadu Gurkha. Batalion 2 dari Resimen II Gurkha yang bertugas di Desa Neuve Chapelle, Prancis, bulan November 1914, membuktikan citra kegagahberanian mereka. Baru tiba tiga hari di tempat itu, mereka dihujani bom oleh pasukan artileri Jerman yang mendapat dukungan infanteri. Dengan cepat Gurkha mulai menyusun strategi pertahanan, namun belum sampai terbentuk keburu dihujani meriam Jerman.

Korban yang jatuh di pihak Gurkha banyak. Tak terbayangkan, bagaimana nasib mereka karena setiap saat pasukan Jerman bisa datang dan membumihanguskan sisa-sisa anggota batalion Gurkha yang sudah porak poranda. Tapi untung, keadaan itu diselamatkan oleh beberapa perwira dan batalion pasukan Inggris yang berhasil mengumpulkan prajurit Gurkha di mana bisa ditemukan dan kemudian membentuk pertahanan. Meskipun di pihaknya 38 tentara tewas, termasuk tujuh tentara Inggris, usaha ini mampu mengurangi keganasan serangan Jerman. Ternyata cara ini membantu menaikkan moral para serdadu Gurkha untuk melakukan cara baru penyerangan. Terbukti, akhirnya mereka dapat merebut posisi yang semula diduduki Jerman terserbut.

Keberhasilan Gurkha bertahan sampai kemudian menang di Neuve Chapelle menjadi inspirasi rekan-rekannya sebatalion yang berada pada posisi La Qinque Rue. Hampir semua anggota regu tersebut musnah oleh ledakan bom ranjau Jerman. Tapi regu pendampingnya tetap gagah berani mempertahankan posnya. Mengetahui kalau yang mempertahankan pos tersebut hanya satuan pendamping, Jerman semakin mengeksploitasi serangannya. Korban Gurkha dan pihak Inggris mencapai 152 orang, dalam pertempuran yang berlangsung selama 48 jam sebelum Gurkha menyerahkan posisi itu kepada batalion lain.

Akhirnya, pada bulan November 1915 batalion 2 tersebut ditarik dari Prancis. Setelah dihitung, 177 tentara Gurkha tewas sementara 825 terluka. Meski jumlah itu merupakan kehilangan besar, toh di Nepal pendaftaran dan pendidikan tentara baru bisa dilakukan dengan cepat. Tenaga baru ini siap setiap saat dikirim ke medan perang menggantikan teman-temannya.

Di medan PD I itu pengalaman memang bisa disebut komoditi yang bisa didapat dengan mudah, meski bagi Gurkha harus dibayar dengan sangat mahal.

Kemudian di kancah PD II, nama Gurkha seakan-akan paten sebagai "mesin" perang yang menakutkan lawan. Di mana saja barisan Gurkha ini dihadirkan, selalu akan mencuat kisah nyata tentang keberanian serdadu yang berperawakan tak besar, serta beraut muka lain dari umum. Juga pisau kukri Gurkha, sudah menjadi cap maut dan lambang khas tentara Gurkha dalam menunaikan tugas, atau menyelesaikan nyawa lawannya.

"Karier" perang Gurkha yang berciri "tak takut mati" itu, sejak awal PD II terperaga lagi di pelataran perang di Afrika Utara, Timur Tengah, Eropa, Malaya, dan Myanmar (Birma). Walau akhirnya tercatat jumlah Gurkha yang tewas dan terluka sampai 20.000 orang, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tentara Gurkha ini memang manusia perang sejati. Di padang pasir Irak, orang Gurkha tetap unggul sebagai tentara infanteri yang tahan cuaca dan bertugas nyaris sempurna. Di Pegunungan Alpen pun, tentara Gurkha tetap lincah dan bersikap siaga penuh.

Salah satu seteru yang kemudian mengakui keunggulan Gurkha dalam segala hal, tentunya bala tentara Dai Nippon yang di PD II itu merajalela. Tentara Jepang yang telengas, tahan menderita dan sepertinya tak peduli terhadap keganasan cuaca tropis dan lainnya, atau seakan-akan kebal terhadap serangan segala penyakit, ternyata harus mengangkat topi mengeluarkan komentar kagum terhadap tentara asal kaki Pegunungan Himalaya ini.