Banyak Kuda Nil dan Banteng Dibunuh Setelah Afrika Selatan Dilanda Kelaparan, Kenapa?

Ade Sulaeman

Penulis

Banyak Kuda Nil dan Banteng Dibunuh Setelah Afrika Selatan Dilanda Kelaparan, Kenapa?

Intisari-Online.com - Kekeringan yang menyebabkan kekeringan di Afrika Selatan sudah pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Menyikapi kondisi tersebut, banyak kuda nil dan banteng dibunuh. Apa hubungannya?

Pihak otoritas South African National Parks pun memutuskan untuk membunuh kuda nil dan banteng karena jumlah mereka yang melimpah.

“Keputusan ini dilakukan oleh pihak manajemen dan kami ingin memahami dampak dari keputusan tersebut. Kami melakukan ini untuk menjaga sumber daya dan populasi,” ujar juru bicara South African National Parks, Issac Phaala.

Diperkirakan terdapat 8.000 kuda nil dan 47.000 banteng di Taman Nasional Kruger, taman nasional terbesar di Afrika Selatan dan salah satu yang terkenal di seluruh kontinen. Hewan herbivora cukup tertekan dalam memperoleh makanan di tengah kekeringan ini, salah satunya gajah.

Hujan yang terjadi di bulan Maret silam tampaknya tak akan mampu mencukupi persediaan air hingga bulan ini, dan hal itu juga tidak memecahkan masalah kekeringan. Akibat dari kekeringan ini tentu saja adalah penderitaan yang harus dialami oleh para hewan.

Otoritas taman nasional membunuh satwa-satwa tersebut demi mencegah kematian satwa akibat kelaparan. Mereka juga membuktikan aksi itu dibenarkan oleh dokter hewan. Daging dari hewan-hewan itu diberikan kepala masyarakat lokal yang ada di area taman nasional, yang juga menderita kelaparan.

Awal tahun kemarin, pihak taman nasional telah membunuh sebanyak 59 kuda nil dan berencana untuk memburu 100 ekor lagi. Tak hanya kuda nil, mereka juga berencana untuk membunuh 200 banteng.

Ramalan cuaca menunjukkan bahwa tidak akan terjadi hujan dalam waktu dekat. Kekhawatiran juga menyerang pertanian di Afrika Selatan. Orang-orang yang ada di area tersebut memiliki risiko besar untuk menghadapi kekurangan pangan jangka pendek.

Apakah manusia sudah cukup arif dalam menyikapi perubahan iklim?

(Annisa Hardjanti/nationalgeographic.co.id)