Hatta & Buku: Bapak Bangsa yang Kecanduan Buku

Tika Anggreni Purba

Penulis

Hatta & Buku: Bapak Bangsa yang Kecanduan Buku

Intisari-online.com—Sepanjang 77 tahun masa hidupnya, ia sudah membaca dan mengoleksi hampir 30 ribu judul buku. Rasa cinta Mohammad Hatta terhadap buku memang betul-betul tak terhingga. Ke mana Hatta tinggal menetap, ke situ pula ribuan buku itu ikut serta. Ia dan buku ibarat dua sejoli.

Sebenarnya ini bukan lagi rahasia, siapa yang tidak tahu bagaimana candunya Hatta pada buku. Bukan , ia bukanlah seorang bibliomania yang terobsesi mengumpulkan buku sebanyak mungkin. Ia mengumpulkan buku bukan juga karena sampulnya yang menarik.

Tapi karena isinya, karena isinya membawa Hatta pada dunia baru yang tak terkira luasnya ini. Hatta memang seorang kutu buku. Bisa dibilang buku adalah kebutuhan primer Hatta selain sandang, pangan, dan papan.

Hatta kecil sudah piawai membaca sejak usia enam tahun. Hal itu karena keluarganya juga memang sangat peduli pada pendidikan. Di saat anak-anak di Bukittinggi, tempat kelahirannya itu tidak banyak yang bersekolah, Hatta sudah melangkah dahulu.

Ia juga kerap membaca koran di masa belia itu. Seperti koran Oetosan Hindia dan Neratja. Ternyata dari situ, Hatta mulai mengenal dunia pergerakan dan pemikiran tokoh Serikat Islam.

Hatta memang sudah memulai petualangannya tenggelam bersama lautan bacaan itu sejak usia 17 tahun, sejak ia bersekolah di Batavia (Jakarta). Di masa mudanya itu, Hatta sudah mulai mengoleksi buku. Mulanya ia dibelikan buku oleh teman ayahnya di toko buku di kawasan Harmoni, Jakarta.

Koleksinya bermacam-macam, dari buku ilmiah hingga buku roman. Bahasanya juga beragam. Maklum, Hatta juga menguasai lebih dari satu bahasa asing. Ia fasih dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.

Hatta membaca tidak pernah hanya sekadarnya saja. Ia pasti mempelajari isi buku itu hingga ia paham benar apa isinya. Sampai benar-benar ia kuasai. Dalam buku seri otobiografinya, Berjuang dan Dibuang (2011), Hatta menceritakan sebuah kisah menggelitik. Waktu ia akan menempuh ujian doktoral di Rotterdam, Belanda. Profesor pengujinya, Prof. C.W. de Vries, memintanya untuk membaca dan menguasai buku mengenai Hukum Administratif tulisan G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre. Tebalnya tidak tanggung-tanggung 795 halaman!

Saat itu yang membuat Hatta bingung bukan bagaimana caranya membaca buku setebal itu. Tapi bagaimana caranya dia bisa membagi waktu untuk mempelajari buku-buku lainnya. Akhirnya, sepanjang hari selama empat bulan, ia fokus membaca buku itu. Sedikit bikin mumet, tapi ia menikmatinya.

Tibalah hari ujian doktoral yang akan menentukan nasib pendidikan Hatta di Rotterdam. Tak disangka, tak ada satupun pertanyaan dari sang professor yang berkaitan dari buku 795 halaman itu.

Malahan profesor itu menanyakan pertanyaan yang amat aneh. “Apabila Anda ingin membaca buku tentang Perjanjian Versailles di perpustakaan, apa yang Anda lakukan? Tanya profesor. “Aku akan mengambil bukunya yang ada disitu” sahut Hatta. “Bagaimana kalau buku itu sedang dibawa orang lain?” kata profesor lagi. “Kutunggu sampai ia habis membacanya,” balas Hatta. Pertanyaannya seputar itu-itu saja. Hatta merasa ujian hari itu bukan ujian yang nyata.

Mungkin ada benarnya apa yang dibilang oleh Pedel Elderman, teman Hatta yang sama-sama belajar di Rotterdam. Elderman berkata bahwa sepertinya profesor itu sudah tahu, kalau Hatta tidak mungkin tak membaca buku yang dipesankannya itu. Hatta sendiri kadang-kadang masih berpikir akan alasan paling logis dari kejadian itu. Walau ia masih belum menemukan jawabannya.

bersambung..