Find Us On Social Media :

Kisah Kopi Instan di Awal '90-an (1): 'Diminum Roh Leluhur'

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 20 September 2016 | 08:30 WIB

Kisah Kopi Instan di Awal '90-an (1): 'Diminum Roh Leluhur'

Intisari-Online.com – Dalam zaman serba cepat sekarang ini, minum kopi juga dipercepat. Untung ada kopi instant, yang segera bisa diminum, setelah diseduh dengan air panas. Tulisan ini ditulis oleh Slamet Soeseno, pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1990 dengan judul Kopi Instant.

--

Zaman santai seperti waktu nenek moyang kita minum kopi sambil lesehan, mendengarkan burung perkutut dulu, kini agaknya sudah langka. Sayang sekali!

Saya masih ingat, bagaimana ibu saya dulu menyiapkan wedang (minuman panas) kopi dari koffiefilter, teko keramik, yang di atasnya ada penyaringnya berbentuk silinder. Semalam sebelumnya, ada sejumlah bubuk kopi yang dimasukkan ke dalam penyaring itu bersama air mendidih. Esok paginya, dalam teko itu sudah ada larutan sari kopi yang terkumpul, hasil penampungan tetesan kopi yang sudah melalui penyaring halus itu. Itulah yang kemudian diencerkan lagi dengan air hangat dan gula dalam cangkir, lalu dihidangkan kepada ayah yang sudah duduk menanti di meja makan, siap sarapan dan berangkat ke kantor.

Karena sari kopi itu diperoleh dengan meneteskan air melalui timbunan kopi bubuk yang ditahan penyaring, kopinya lalu disebut kopi tetes. Nikmatnya bukan main, karena yang kita minum adalah ekstrak kopi murni.

Pada hari Minggu dan hari besar, ngopi itu dilakukan lebih santai lagi. Tidak di meja makan yang formal, tapi di serambi belakang yang menghadap ke kebun bunga. Sambil ngopi, ayah mendengarkan nyanyian burung perkutut dan tekukur.

Sudah berubah

Ketika saya sendiri menjadi pakne tole (bapaknya anak-anak), acara minum kopi sudah tidak dengan perkutut lagi, tapi warta berita dari RRI, diselingi iklan radio swasta niaga dan musik dung-byeng-dung-byeng.

Kopi tetes tidak dibuat dengan koffiefilter keramik lagi, tapi dengan drip pot dari gelas pyrex tahan panas. Air mendidih yang mengekstrakkan kopi sejak malam sebelumnya, dan kini sudah terkumpul dalam wadah di bawah penyaring, dipanasi langsung dengan api kompor. Memang sudah lebih cepat, tapi karena dirasakan masih brengsek, ada yang kemudian mengekstrakkan kopi  dengan coffeemaker  saja yang lebih praktis. Bubuk kopi dicampur langsung dengan air dan gula dalam wadah gelas tahan panas (juga) dari coffeemaker itu, lalu dipanaskan di atas kookplaat, yang merupakan bagian dari alat itu juga. Sewaktu bergolak karena mendidih, air ini mengekstrakkan sari kopi, sekaligus juga menyedunya. Tidak perlu satu malam seperti penyaringan kopi tetes tapi beberapa menit saja.

Ini memang cocok dengan zaman serba cepat seperti sekarang ini, tapi hasilnya bukan ekstrak kopi tetes lagi, melainkan kopi tubruk (semacam kopi "tembak langsung"). Bubuk kopi dan gula diguyur langsung dengan air mendidih dalam cangkir, lalu diaduk sampai rata. Jelas ada sari kopi juga yang terperas ke luar dan larut dalam air mendidih itu, (dengan perkolasi, istilah teknisnya), tapi karena waktu yang diberikan cuma singkat, maka sari yang diekstrakkan juga kurang pekat. Bagian yang menyisa lebih banyak daripada yang diekstrakkan.

Kalau secangkir kopi ini dibiarkan mendingin, karena lazimnya wedang kopi memang tidak diminum waktu air masih kicat-kicat mendidih, maka permukaan air kopi itu turun dan meninggalkan sejumlah butiran kopi pada dinding cangkir bagian dalam.

Sewaktu air masih mendidih, permukaannya masih tinggi, tapi sesudah suhunya turun, permukaannya turun juga. Kopi itu seperti sudah diminum sebagian.