Penulis
Intisari-Online.com -Keberhasilan tim bulutangkis Indonesia dalam kejuaraan dunia di Guangzhou, Cina, kemarin, seakan kembali menorehkan asa bagi perbulutangkisan kita. Hal ini mengingatkan kita akan masa-masa kejayaan tim bulutangkis Indonesia di arena turnamen internasional, seperti yang pernah diulas dalam Intisari tahun 1967 berikut ini.
Kini, menjelang challenge round 1967, banyak di antara kita yang menyangsikan kembali kemampuan regu kita. Penantang dari negara lain setelah sembilan tahun tentunya makin menghebat.
Kekalahan-kekalahan beberapa pemain utama kita di berbagai turnamen internasional belum lama berselang ini seperti kegagalan regu kita dalam Asian Games di Bangkok, berbagai kekalahan yang diderita dalam kejuaraan dari Malaysia, dijadikan alasan untuk berbagai pesimisme itu. Bahkan kegagalan pemain-pemain putri kita pun di perebutan Uber Cup, misalnya, sampai turut dijadikan pertimbangan.
Namun kiranya kali ini pun sebenarnya keadaan masih belum sedemikian buruk seperti kita bayangkan. Peluang kita untuk dapat mempertahankan Piala Thomas tidak demikian kecil.
Selama masa pra-Thomas Cup di Singapura pada tahun 1958, pemain terbaik kita yaitu Tan Joe Hok, masih hijau dalam pertandingan internasional. Dalam beberapa turnamen di Malaysia dan Singapura ia belum berhasil. Hanya di India ia memperoleh pengakuan akan keunggulannya, dalam kejuaraan-kejuaraan tak begitu berarti. Di Eropa, Ferri Souneville masih juga belum berhasil di gelanggang All England yang oleh dunia bulutangkis dianggap sebagai tempat pengukuran keampuhan seorang pemain dalam percaturan internasional.
Indonesia dikenal sebagai negara bulutangkis yang lemah dalam permainan berganda. Akan tetapi, di luar dugaan banyak orang, pemain-pemain kita telah memenangkan semua pertandingannya dan membawa pulang Piala Thomas.
Kemashuran pemain-pemain Denmark, seperti Erland Kops dengan gelar juara All England-nya, Finn Kubbero, selaku virtuoos bulutangkis satu-satunya di dunia, pasangan gandanya Kobbero/Hammergaard Hansen yang tergolong terkuat sedunia, tidak mempan terhadap ketekadan dan kegigihan pemain-pemain Indonesia.Keahlian pelatih Malaysia, Wong Peng Soon, penelitian yang seteliti-telitinya dari kapten regu Malaysia, Eddy Choong, yang selama Indonesia bertanding mengamat-amati pemain-pemain kita dengan kameranya, ketersanjungan rakyat Malaysia terhadap juara gandanya, Lim Say Hup/Johnny Heah, tidak mampu membendung arus kemenangan regu Indonesia.
Pemain-pemain Indonesia, yang tidak masuk perhitungan, bertanding laksana orang-orang berilham.
(Bersambung)