Find Us On Social Media :

Warga Abah Anom dan Kampung Nomaden

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 16 Oktober 2013 | 11:58 WIB

Warga Abah Anom dan Kampung Nomaden

Intisari-Online.com - Warga Ciptagelar bisa dibilang salah satu kearifan lokal yang masih terjaga di tengah Banten yang karut marut. Cara bertani tradisional menandakan mereka cukup paham bagaimana menjadi akrab dengan alam dan Tuhan, seperti yang pernah diulas Intisari November 2003. 

Tak pola tanam tradisional saja yang menjadikan warga Ciptagelar sangat khas. Pada dasarnya, 70 kepala keluarga (data tahun 2003) di bawah naungan Abah Anom waktu itu, adalah masyarakat berpindah. Mereka hidup nomaden. Kampung Ciptagelar yang mereka tempati terhitung baru, kampung ini berdiri pada 2001.

Sebelumnya, selama 17 tahun—saat Abah Anom diangkat menjadi pemimpin pada usia 16 tahun—mereka menghuni Kampung Ciptarasa, 9 km jauhnya dari Ciptagelar. Konon, kampung adat ini sudah berpindah sebanyak 10 lokasi, sejak pertama kali ada pada abad ke-7.

Usut punya usut, faktor kepindahan mereka dari satu tempat ke yang lain cukup irasional, mengandalkan wangsit. Wangsit itu sendiri dianggap akan muncul ketika sumber air mulai menyusut dan kesuburan tanah mulai berkurang.

“Wangsit itu bukan mimpi, tapi ada semacam suara dari leluhur yang bisa diterima dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianut masyarakt setempat,” ujar Abah Anom kala itu.

Sejatinya, wangsit berpindah tempat ke Ciptagelar sudah ada sejak 1992. Tapi karena secara pribadi belum bisa menerima, Abah Anom terus bersemedi. Setelah delapan tahun, muncul wangsit ultimatum yang berujung maut.

Meski kerap berpindah, masyarakat ini cukup tahu bagaiman merawat alat. Ada keyakinan dari khalayak masyarakat ini: jika jutan ditebang sembarangan, tanah dan sawah kering, kami mati! “Hidup kami bergantung alam,” tegas Abah Anom. Oleh karena itu, mereka tidak terima jika disebut sebagai perambah hutan.

Soal hutan mereka punya falsafah, meliputi leuweung (hutan) titipan, tutupan, dan garapan. Dan hutan titipan, adalah hutan yang tak boleh diganggu oleh masyarakat, karena merupakan amanat dari leluhur dan Tuhan.  (Intisari November 2003)