Penulis
Intisari-Online.com – Setelah khatam mencicipi kerasnya kejuaraan reli di Eropa, kini Rifat Sungkar ingin menaklukkan Rally America atau ajang reli bergengsi di negeri Paman Sam. Harapannya hanya satu, membuat sejarah untuk Indonesia, negeri yang sangat dicintainya. Meskipun anak seorang penyelenggara reli, ia tetap harus mendaftar, untuk itu ia sempat jualan baju untuk pendaftaran.
--
Ayah Rifat, Helmy Sungkar, adalah mantan pereli yang berjaya pada era 70-80an. Demikian juga dengan ibunya, Ria Sungkar, seorang pereli tenar yang pernah mendapat julukan Rally Queen of Indonesia. Ria dan Helmy terkenal sebagai pasangan pengemudi dan navigator di lintasan reli.
Kalau dirunut lebih jauh lagi, kakek dan nenek Rifat dari ibunya, ternyata juga pembalap reli. Sejak masih kecil, Ria sudah terbiasa menemami ibunya latihan. Kebiasaan Ria menemani ibunya latihan balap tetap diteruskannya kepada anak-anaknya. Ketika latihan dan lomba, Ria pun rajin mengajak Rifat ke sirkuit.
Pulang dari sirkuit, Rifat gemar menonton video balap reli di luar negeri koleksi orangtuanya. Hal ini membuat aktivitas Rifat, sejak kecil, berbeda dengan anak seusianya. Keinginan Rifat meniru orangtuanya menjadi pembalap tersemai sejak kecil. Tempat bermain Rifat bukan di mal, tapi dari satu sirkuit ke sirkuit lain.
“Tiap weekend saya sering datang ke Ancol, ke Parkir Timur Senayan, nonton balapan,” kenang Rifat. Bahkan, “Sejak umur 2 tahun saya sudah bisa sebutkan semua merek mobil yang ada di depan mata. Semua merek mobil. Mobil apa aja di jalan.”
Jualan baju untuk uang pendaftaran
Meski lahir dari keluarga pereli, Rifat tak pernah merasa dipaksa oleh orangtuanya untuk meneruskan tradisi keluarga. Semuanya seperti terjadi secara alami. “Sejujurnya tidak ada paksaan sama sekali,” kata Rifat. “Ini memang habit dari keluarga. Saya dibentuk oleh lingkungan.”
Bayangkan, imajinasi Rifat untuk menjadi pereli kelas dunia muncul sejak usia 4 tahun setelah sering menonton video British Rally Championship, sebuah ajang reli paling bergengsi di Inggris yang eksis sejak tahun 1958. “Dari dulu, saya selalu belajar dari video British Rally Championship. Saya berharap akan menjadi seperti mereka,” ujar Rifat.
Namanya juga anak kecil, tak pernah puas jika hanya melihat dan selalu ingin mencoba-coba. Rifat juga terjangkit “penyakit” ini. Lantaran ngebet ingin menjadi pembalap reli, ia sering merajuk kepada pamannya saat sang paman berada di balik kemudi. “Om, boleh enggak saya ikut ke dalam mobil,” katanya.
Cita-cita, membuat Rifat kian antusias menonton balapan. Ia selalu ikut ke sirkuit ketika orangtua atau paman-pamannya bertanding. Intensitas menonton balapan ini terus meningkat setelah Helmy Sungkar mendirikan PT Trendypromo Mandira, perusahaan promotor otomotif pada tahun 1985. Tiap tahun, PT Trendy menggelar hingga puluhan balapan di seantero Nusantara.
Di sekolahnya, Rifat kecil sangat menggebu-gebu menceritakan semua keinginannya itu. Pada suatu hari ketika masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar, asa ini pernah ia utarakan kepada seorang sahabat. Waktu itu, Rifat berkelakar, “Nanti gue jadi pembalap, loe yang jadi navigator gue ya.”
Namun, keinginannya menjadi pembalap reli tak pernah tercapai hingga ia berusia 14 tahun pada tahun 1994. Itu pun bukan dengan mudah, karena orangtuanya menolak keinginan Rifat untuk langsung menjajal mobil di lintasan reli. Ia harus mulai dari gokart.
Rifat rajin latihan gokart dua kali sepekan di sebuah sirkuit di daerah Kemayoran. “Saya banyak belajar sendiri, tapi enggak lepas dari peran ibu saya.”
Jangan bayangkan mentang-mentang memiliki ayah, ibu, paman, kakek dan nenek pembalap reli, membuat Rifat bisa dengan mudah ikut kompetisi. Ia tidak tumbuh dalam budaya anak manja yang segala keinginannya dituruti orangtuanya tanpa syarat. Untuk ikut balapan, misalnya, meskipun diselenggarakan ayahnya, Rifat harus tetap membayar biaya pendaftaran. Orangtuanya ingin Rifat menginsafi bahwa tak ada kesuksesan instan di dunia ini.
“Walaupun saya anak Helmy Sungkar, ayah saya tetap menempatkan diri sebagai penyelenggara. Bayar harus tetap bayar, harus tetap ikut briefing juga,” ucap Rifat.
Guna mendapatkan uang, Rifat berjualan baju, velg dan ban. “Kalau orangtua tidak kasih uang, saya jadi memiliki motivasi lebih. Saya menabung juga. Rata-rata tabungan saya adalah investasi di mobil.”
Berkat disiplin, kemauan keras, dan gemblengan orangtua, Rifat akhirnya meraih cita-citanya menjadi pembalap reli. Ketika duduk di Sekolah Menengah Atas, Rifat benar-benar menjadikan sahabatnya ketika SD sebagai navigator dalam kejuaraan reli yunior. Namun tidak ada prestasi yang diraih.Mereka gagal karena mobil yang dikemudikan Rifat rusak lantaran masuk ke dalam lubang besar. “Kalau mobil rusak, saya harus mengganti ke tim.” katanya.
Rifat tak patah arang. Ia bangkit dan latihan lagi. Cita-cita menjadi juara reli Indonesia akhirnya terwujud pada 1998, ketika usianya menginjak 20 tahun. Sejak saat itu, Rifat mengantongi banyak prestasi tingkat nasional. Dia pun dinobatkan sebagai atlet terbaik pada cabang motorsport dan dianugerahi lencana Prima Yuda Pratama oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.
Menapak karier internasional
Sejak kecil, Rifat mengagumi sosok pembalap reli kelas dunia Carlos Sainz. Carlos Sainz adalah pembalap yang memenangkan gelar juara World Rally Championship (WRC), ajang balap reli paling bergengsi di dunia sebanyak dua kali bersama Toyota, 1990 dan 1992. Sainz juga pernah membawa pabrikan Subaru (1995), Toyota (1999), dan Citroen (2003, 2004 dan 2005) menjadi juara konstruktor pada kompetisi yang sama.
(Tulisan tentang seorang anak muda yang menginspirasi, Rifat Sungkar; Mimpi Anak Bangsa di Benua Merah, ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2013 dan ditulis oleh Birgitta Ajeng. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi. )
- bersambung -