Find Us On Social Media :

Ginar Santika Niwanputri: Menikmati jadi Guru

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 12 Mei 2016 | 18:15 WIB

Ginar Santika Niwanputri: Menikmati jadi Guru

Intisari-Online.com – Demi memenuhi panggilan jiwanya, Ginar rela mengajar tak dibayar di daerah terpencil Indonesia. Tulisan Ginar Santika Niwanputri, Menikmati jadi Guru pernah dimuat di Intisari edisi September 2012 dan ditulis oleh Jeffrey Satria.

--

Hasrat menjadi guru muncul ketika suatu kali ia melihat seorang bocah yang sedang menggunting rumput di halaman kampus tempatnya berkuliah, di jurusan teknik informatika Institut Teknologi Bandung (ITB). Kala itu pikirannya berkecamuk. “Dia ada di depan gedung kampus terbaik di Indonesia. Tapi dia tidak bisa merasakan pendidikan yang saya rasakan,” kenang perempuan berumur 24 tahun ini.

Ginar lantas membandingkan dengan dirinya yang tak pernah kesulitan mendapat pendidikan bermutu. Dan tiba-tiba muncul hasrat untuk berbagi ilmu. Awalnya Ginar ingin menjadi dosen. Tapi lantaran baru memegang ijazah S1, ia memutuskan untuk mengambil program S2 di kampus yang sama. “Biar cepet,” ujarnya.

Ginar boleh berkehendak, tapi garis nasib menuntunnya ke arah lain. Status temannya di Yahoo Messenger tentang gerakan Indonesia Mengajar membuatnya tertarik untuk membaca surat sang penggagas gerakan, Anies Baswedan. Surat tersebut berisi ajakan kepada generasi muda untuk melunasi janji kemerdekaan.

“Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekadar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apa pun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.” Demikian bunyi salah satu tagline dari Indonesia Mengajar.

Hati Ginar tersentuh. Tanpa pikir panjang, ia mendaftar sebagai pengajar muda batch pertama. Langkah itu cukup mengejutkan teman-temannya. Sebab kala itu Ginar telah lolos seleksi dan terdaftar sebagai mahasiswi S2. Bahkan seorang dosen sempat menganjurkannya untuk membatalkan niatnya itu. Tapi Ginar bergeming. Bertugas sebagai pengajar muda sudah menjadi pilihannya.

Penuh Tantangan

Hari Pahlawan, 10 November 2011, Ginar berangkat di Kecamatan Way Kenanga, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Sekolah tempat Ginar yakni SDN Balam Jaya di Kampung Balam Jaya masih minim guru. Hanya ada lima guru berstatus PNS, sementara lainnya guru honorer yang masih kuliah di   Universitas Terbuka.

Menjadi pengajar muda tentu tidak mudah. Ginar harus mengajar beragam pelajaran, dari ilmu pengetahuan alam hingga olahraga. Selain itu ia juga mesti mengasuh ekstrakurikuler, mengajar privat, melakukan pemberdayaan masyarakat, dan advokasi pendidikan.

Khusus advokasi pendidikan, Ginar dan kawan-kawan mesti melakukan roadshow ke berbagai SMA. Mereka memberikan motivasi dan informasi bagaimana masuk ke perguruan tinggi.

Untuk melaksanakannya, Ginar dan rekan-rekannya harus bolak-balik ke kantor dinas pendidikan untuk mengurus surat-surat. Tugas itu cukup berat, karena mereka harus melintasi jalur lintas timur Sumatera menggunakan sepeda motor.

Selama mengajar di Balam Jaya, Ginar tinggal bersama keluarga angkat. Ibu angkat Ginar, Yani, adalah seorang guru sementara ayah angkatnya, Misnan, berprofesi sebagai carik. Suami-istri ini memiliki tiga anak laki-laki yang masih kecil. So, Ginar seakan mendapat adik dan keluarga baru.

Kebetulan, desa Balam Jaya merupakan desa transmigran yang mayoritas penduduknya berasal dari Jawa Tengah. Mau tak mau Ginar jadi ikut belajar bahasa Jawa. “ Sekarang saya dah ngerti nih, udah enggak bisa diboongin sama orang Jawa, karena saya udah ngerti,” tuturnya senang.

Melatih tenis meja

Setahun mengabdi di Tulang Bawang Barat memberikan banyak cerita menarik. Salah satunya, Ginar  berhasil melatih murid perempuan SDN Balam Jaya sehingga bisa menembus babak semifinal turnamen tenis meja se-Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Prestasi ini mengejutkan. Sebab sebelumnya SDN Balam Jaya tak pernah mengikuti lomba tenis meja di Olimpiade Olahraga Sekolah Dasar Nasional (O2SN) tingkat kabupaten. Guru olahraga berdalih murid-muridnya tak ada yang bisa bermain tenis meja.

Akan tetapi, khusus kali ini, Ginar memaksa agar murid-muridnya didaftarkan. Permintaan itu akhirnya diluluskan. Tapi dengan syarat, harus ada orang yang bisa menjadi pelatih. Bagi Ginar tidak masalah. Maklum, semasa kuliah ia pernah menyabet gelar juara ke-3 lomba tenis meja tingkat kampus.

Tak dinyana, tim putri SDN Balam Jaya berhasil. Sebuah prestasi luar biasa, mengingat proses latihannya cuma 10 hari!

Sebenarnya bukan gelar juara atau prestasi siswa di O2SN yang dikejar Ginar. Di matanya, partisipasi anak-anak dalam sebuah kompetisi sekadar sarana melatih mentalitas berkompetisi. Selain itu anak-anak juga diajari bagaimana menyikapi kekalahan dengan sportif.

Tak terasa, setahun berlalu sudah. Kehadiran Ginar memberi kesan mendalam bagi anak-anak yang pernah diajarnya. Hal itu terlihat dari derai air mata para murid saat mengantar kepulangan Ginar.

Demikian pula Ginar. Setahun mengajar telah memberikan pengalaman tak terlupakan sepanjang hayat. Ia mengaku sering diterpa rindu. Tapi Ginar juga sadar bahwa ia dikirim ke Tulang Bawang Barat bukan untuk hidup di sana. Ia hanya melaksanakan tugas sebagai generasi muda yang terpanggil untuk ikut melunasi janji kemerdekaan. (*)