Penulis
Intisari-Online.com – Ibu Teresa kini telah menjadi salah satu tokoh karismatis yang dikagumi dan dihormati. Setiap tahun jutaan dolar mengalir untuk kegiatan sosialnya. Namun menjadi seorang Ibu Teresa ternyata jauh dari mudah, apalagi "enak". Apa yang menggerakkan wanita mungil ini, sehingga semangatnya tak pernah patah?. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1997, dalam rubrik Cukilan Buku, oleh Lily Wibisono.
--
Barangkali karena sering menjumpai bukti-bukti demikian, Ibu Teresa tak bosan-bosannya mengingatkan orang bahwa yang terpenting itu kasih. Berkali-kali Ibu Tersa menyindir kurangnya kasih di masyarakat negara maju, yang ia sebut sebagai jenis kemiskinan yang lain. “Di India, betapapun miskinnya, seorang ibu tidak akan membunuh anaknya.” Dengan ini jelas ia menyindir praktik pengguguran kandungan. Ia tidak dapat mengerti bagaimana seorang ibu tega membunuh janin di kandungannya hanya agar kenyamanan hidupnya tidak terganggu.
Penyakit terhebat abad ini
Bagaimana kasih dan perhatian teramat penting bagi manusia segala umur, terlihat ketika ia berkunjung ke sebuah panti wreda di Inggris yang amat bagus fasilitasnya. Teresa melihat para penghuninya tidak pernah tersenyum. Mereka malah terus memandang ke arah pintu! Ternyata begitulah tingkah laku mereka setiap hari. Mereka mengharapkan tamu, karena didera kesepian yang amat sangat. Serombongan profesor dari Amerika Serikat datang ke wismanya di Kalkutta. Ketika akan pulang, salah seorang berkata, “Ibu, bagaimana caranya agar kami dapat suci?”
Jawabannya, “Tersenyumlah satu sama lain." Menurut Teresa, untuk saling berpandangan pun banyak orang masa kini tak sempat lagi.
Dengan berjalannya waktu, keorganisasian MC semakin berkembang. Tidak terbatas biarawati yang langsung bekerja di garis depan. Kerabat kerja yang dikoordinir oleh Ann Blaikie di Inggris, jumlahnya mencapai 40.000 orang di seluruh dunia. Tugas mereka memberi dukungan, berupa doa bagi para biarawati MC, menyiapkan pembalut dan perban dan kelengkapan lain untuk anak-anak dan para pasien. Mereka juga melakukan meditasi.
Kelompok kedua adalah para pasien yang sedang sakit dan menderita. Jumlahnya sekitar 800 orang diorganisir oleh Jacqueline de Decker. Karena tak dapat menyumbangkan tenaga untuk mem. bantu, mereka mempersembahkan penderitaan dan rasa sakit mereka demi kemajuan karya MC.
Kelompok ketiga adalah para biarawati kontemplatif yang mendukung dengan doa. Masih ada satu kelompok lagi yang menurut Ibu Teresa berperan banyak dalam doa-doa, yaitu mereka yang telah meninggal dalam asuhan para biarawatinya.
Berangsur-angsur kongregasi MC berkembang, merambah ke banyak negara. Kini jumlah biarawatinya mencapai 3.500 orang, yang mengelola 569 pusat kegiatan di 120 negara. Sasaran mereka selalu orang-orang sengsara yang dijauhi orang, seperit penderita kusta, AIDS, yatim-piatu, korban gempa bumi. Setiap tahun di Kalkutta saja mereka menyediakan makanan untuk setengah juta keluarga membiayai sekolah 20.000 anak-anak dan menyediakan pengobatan bagi 90.000 penderita kusta.
Namun menurut Ibu Teresa penyakit terhebat abad ini bukanlah kusta, kanker, atau TBC, melainkan perasaan tidak diinginkan, tidak diacuhkan.
Setelah bekerja keras puluhan tahun dan sengaja menjauhkan diri dari segala kemudahan yang diberikan kehidupan modern, tubuh renta Ibu Teresa akhirnya lelah juga. Berkali-kali ia keluar-masuk rumah sakit. Misalkan saja Juni 1983, ia nyaris dijemput maut di Roma. Akibat terjatuh dari tempat tidur, ia memeriksakan diri ke rumah sakit, karena khawatir ada yang retak atau patah. Tulangnya oke-oke saja, namun dokter menemukan gangguan serius pada jantungnya. Ia diharuskan istirahat total. Hanya Sr. Nirmala, waktu itu kepala rumah kontemplasi MC di New York, dan Sr. Stella, superior di Roma yang boleh menengok.
"Menurut dokter, andaikan saya tidak terjatuh, dan tidak memeriksakan diri ke rumah sakit, saya pasti mendapat serangan jantung. Bukankah hebat Tuhan bekerja? Barangkali penjaga pintu surga, berkata, ‘Tahan dia dulu di sana. Di surga tidak ada orang miskin.'" Itu canda ala Ibu Teresa, yang selalu dapat melihat kebesaran Allah di mana pun dan kapan pun.
Akhirnya pensiun juga
Saat menderita sakit itu terbukti seberapa jauh cinta kasih yang memancar dari seorang Teresa telah menular ke banyak orang. Banyak sekali surat dan telegram yang barangkali jauh lebihmenyentuh perasaannya daripada segala macam penghargaan dan gelar. Seorang pria Hindu di Kashmir menulis, ia berdoa kepada Dewi Kali agar Ibu Teresa lekas sembuh. Ia bahkan memohon agar Dewi Kali mengambil bagian yang jelek dari tubuh Teresa untuk ditukarkan dengan bagian tubuhnya sendiri yang baik! Selain itu diterimanya surat dari presiden Yaman, telegram dari presiden India, juga telegram dari Ronald Reagan yang waktu itu presiden AS. Bahkan raja dan ratu Belgia menengoknya di rumah sakit.
Waktu itu Sr. Nirmala menggantikan tugas-tugas Teresa mengunjungi Haiti, Honduras, Santo Dominggo, Guatemala, Panama, El Salvador, Miami, dan San Francisco.
Tahun lalu pun sejak bulan Agustus ia didera serangan jantung, radang paru-paru, dan malaria sampai nyaris meninggal, tiga kali bolak-balik dilarikan ke perawatan gawat darurat dan satu kali menjalani operasi jantung.
Kini setelah 36 tahun, gerakan cinta sesama dan pelayanan yang diawali oleh langkah-langkah sederhana seorang biarawati di kekumuhan Kalkutta, yang ambisinya sekadar mendengar dan melaksanakan bisikan Tuhan, bagai tetesan air di danau, telah menghasilkan riak dan gelombang di seluruh dunia. Gelombang cinta yang memanggil dan mengetuk hati umat manusia, tak mengenal batas negara, ras, golongan, ataupun bangsa.
Baru setelah kondisi kesehatannya kini benar-benar mengkhawatirkan, permintaan Ibu Teresa untuk mengundurkan diri yang sudah diucapkannya sejak tujuh tahun lampau didengarkan anak buahnya.
Melalui proses pemilihan selama 2 bulan, Sr. Nirmala (63) terpilih sebagai superior general yang baru. Nirmala yang dulunya pengacara dan asli putri India, berasal dari kasta brahmana. Namun sebutan “Ibu” tetap menjadi hak prerogatif Teresa.
Ibu Teresa sendiri, yang kabarnya telah semakin sehat, ketika ditanya wartawan, berkata, “Masih banyak yang harus saya lakukan. Salah satunya, mudah-mudahan bisa membuka cabang di Cina sebelum saya pergi.”
Warga dunia boleh-boleh saja menangkat namanya tinggi-tinggi, menghujaninya dengan segala macam hadiah dan gelar kehormatan. Namun bagi Ibu Teresa yang terpenitng tetap Cuma satu. “Jangan takut berbuat kebaikan di depan banyak orang, agar yang melihat perbuatan itu memuji Allah!” ujarnya. (Lily Wibisono – Intisari Juli 1997)