Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (2)

K. Tatik Wardayati

Penulis

Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (2)

Intisari-Online.com – Mulanya ia dituduh telah 'memanusiakan' simpanse dengan melihat mereka secara individu. Hasil penelitian dan dedikasinya pada simpanse telah melegenda dan menjadi salah satu tonggak dalam dunia penelitian primata. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1998, yang ditulis oleh Rudy Badil.

---

Namun karena Jane mengawali penelitiannya tanpa latar belakang ilmu, ia dapat menerima fakta bahwa simpanse adalah individu-individu yang berbeda. Malah sejalan dengan semakin diterimanya ia dalam masyarakat simpanse Gombe, terbit pula keterikatan batin. Pada musim penghujan, ketika ia pulang ke tendanya, Jane sering tak tega membayangkan simpanse-simpanse itu kehujanan di sarang tidur mereka.

Sudah kenal senjata dan alat

Untuk menambah pengetahuannya, Jane diharuskan studi perilaku satwa hingga meraih gelar di Universitas Cambridge pada tahun 1965. Setelah itu, Jane kembali ke stasiun penelitiannya di Gombe. Pos penelitian itu makin besar, juga kian ramai dikunjungi pendatang dan turis. Jane merasa risih. Apalagi kelompok simpanse yang dia teliti, sering berkelahi berebutan pisang. "Pemberian pisang itu juga unsur perubah lingkungan hidupnya. Juga ikut merusak penelitian," katanya.

Makin lama tambah mantap studi simpanse ini. Jane pun mulai memberi nama tiap ekor simpanse yang bisa diikuti kehidupannya secara individual, mencatat perilaku berikut perkembangan ciri fisiknya. Selama.30-an tahun itu, Jane yang ulang-alik AS - Tanzania, terus memantau dan bergaul' dengan Flo, Flint, Figan, Fifi, David, Goliath, Gilka, Goblin, Mike, Melissa, dan puluhan simpanse lainnya, di sekitar pos penelitiannya.

Dari catatan lapangan dan pengamatannya, Jane memiliki arsip silsilah simpanse Gombe. Juga tingkat perkembangan kemampuannya berdasarkan usia. Misalnya simpanse 3 bulan, mulai tumbuh gigi pertama. Umur 5 bulan mulai melangkah atau menunggang punggung induknya. Pada umur 8 bulan sudah membuat sarang tidur atau sudah terlibat perkelahian antar-"remaja" dalam umur 18 bulan. Jane pun tahu kapan simpanse itu copot gigi susunya, kapan simpanse betina remaja mulai matang, dan baru melahirkan anak pada usia 11 atau 12 tahun.

Yang menonjol, Jane Goodall membuktikan kalau simpanse itu sejak umur 3 tahun sudah tahu cara pemakaian alat, misalnya kayu untuk memukul, ranting pencungkil, dan lainnya. Semua alat ini cenderung dipakai sebagai alat bantu untuk mencari makanan tambahan atau menyerang musuh.

Simpanse memang mengenal senjata untuk memukul dan menyerang. Bahkan benda keras yang dapat digenggam, digunakan sebagai senjata lempar. Untuk mencari makanan tambahan, kawanan simpanse ini sudah "bertradisi" memakai batang gelagah untuk menusuk sarang rayap, sekalian "memancing" agar anak rayap melekat. Untuk beberapa keperluan, simpanse biasanya memetik daun atau ranting, lalu membentuk benda agar sesuai kegunaannya. Misalnya gumpalan lumut untuk spons pengisap cair bersih atau lumut sebagai "kertas toilet".

Jane dengan teliti kemudian mencatat, simpanse Gombe ini menyantap lebih dari 90 jenis daun, ranting, kulit kayu, dan getah berbagai tumbuhan di habitatnya. Juga serangga dan -burung kecil beserta telurnya. Sebagai pelengkap kebutuhan mineral, simpanse pada waktu tertentu suka memakan tanah yang mengandung zat garam.

Yang paling mengejutkan tentunya kebiasaan simpanse memakan daging. Kera omnivora ini, selain suka makan daging, juga senang berburu. Satu kelompok simpanse beranggota 40 - 50 individu, tiap tahun minimal memburu dan membunuh 50-an ekor mangsa. Binatang buruan simpanse antara lain babi hutan, rusa dan kijang, serta jenis kera kecil lainnya.

Makna suara dan hura-hura

Perhatian Jane lebih tertuju terhadap perilaku hidup simpanse betina. Berdasarkan catatan studi antara tahun 1970 - 1990, disimpulkan kalau tingkat reproduksi simpanse betina terpengaruh oleh hirarki dan kedudukan dalam kelompoknya. Juga anak simpanse dari betina peringkat atasan, memiliki harapan hidup lebih tinggi daripada anak simpanse peringkat sosial bawah. Begitu juga anak simpanse betina asal kelas atas, kematangan seksualitasnya lebih cepat.

Selain perilaku sosial yang struktural, Jane juga menemukan suatu peristiwa besar dalam studi perilaku primata di dunia. Sekelompok "masyarakat" simpanse tak jarang melakukan serangan terhadap kelompok simpanse tetangganya. Mereka saling baku gigit, cakar, dan pukul. Serta serangan mendadak, terutama terhadap simpanse betina dan anaknya.

Untuk beberapa kasus tertentu, tercatat beberapa perilaku kejam simpanse jantan. Selain suka menyerang dan memperkosa, simpanse ini ternyata juga suka membunuh bayi simpanse sekaligus memakannya. Dalam bukunya In The Shadow of Man (1971), Jane panjang lebar menguraikan perilaku simpanse lainnya, yang juga memang agak mirip dengan perilaku manusia. Jane memberi contoh betapa Flo yang cantik, sebetulnya induk yang baik serta betina yang menarik banyak jantan. Passion, seekor simpanse jantan berhati dingin dan kejam; dia. tega membunuh dan memakan bayi simpanse.

"Tadinya perilaku simpanse di kalangan pakar primatologi, hanya tercatat standar saja. Temuan studi Jane Goodall membuka jendela baru, serta menjelaskan betapa simpanse yang merupakan kera terpandai di antara primata lainnya, ternyata bertemperamen lebih kompleks daripada gorila dan orangutan," ujar seorang pakar primatologi dari Universitas California.

Meski simpanse tak memiliki bahasa, dalam kenyataan di lapangan, kera itu memiliki bahasa panggilan yang secara umum berupa teriakan "huu wa". Dari pengalamannya hidup puluhan tahun di antara simpanse, Jane boleh dibilang sudah menguasai makna di balik suara hurahura kera itu. Wanita ini juga memiliki catatan "bahasa isyarat" simpanse, berupa gerak-gerik berbagai ragam anggota tubuh simpanse, termasuk mimik muka kera ini yang senang menyengir, merengut, menyeringai; melucu, dan lainnya.

Membunuh demi manusia

Penelitian di Gombe ini, belakangan makin jelas sebagai bukan hanya milik kalangan primatologi atau antropologi, sebab juga melibatkan zoologi, ekologi, etologi, psikologi, dan bahkan psikiatri. Kesertaan pelbagai disiplin ilmu itu tampak dengan antusiasnya keterlibatan ilmuwan dari Universitas Dar es Salam, Cambridge, Stanford, dan lainnya. Mereka mempelajari perilaku simpanse, untuk mencari kesamaannya dengan perilaku manusia juga, terutama sikap dan tindakannya yang agresif.

Ilmuwan juga tertarik masalah "kejiwaan" simpanse yang hidup tertekan di lingkungan alam,dan kelompoknya. Beberapa individu simpanse yang hidup depresif serta stres berlebihan, diamati perilaku serta jalan keluar pemecahannya.

Ironisnya, "Kini simpanse juga digunakan sebagai bahan studi laboratorium untuk kepentingan pengobatan manusia. Mereka membunuh simpanse demi manusia," kata Jane dalam bahasa manusia, bukan "bahasa" simpanse. (Dari pelbagai sumber/Bd)