Penulis
Intisari-Online.com – Kalau karena kiblat kegiatannya orang beranggapan tarekat MC ini menomorsatukan para miskin, ia salah besar. “Kami pertama-tama adalah biarawati, bukan pekerja sosial. Kami bekerja untuk Tuhan. Kami hanya alat-Nya,” tandas Ibu Teresa berulang-ulang. Oleh karena itu doa dan kesejahteraan spiritual menjadi tiang utama dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Acara mereka dimulai pukul 04.30 dengan doa dan meditasi. Dilanjutkan dengan acara mencuci pakaian. Yang ini suatu keharusan, karena mereka hanya mempunyai dua sari. Apalagi mereka bergulat dalam masalah kesehatan di lingkungan yang kumuh. Sekitar pukul 07.30 mereka berpencar. Ada yang ke Rumah Sekarat, mengurusi penderita kusta, atau mengajar anak-anak di daerah kumuh, memasak, mengunjungi keluarga-keluarga, ada juga yang mengajar agama, dst. Mereka menyebar ke segala penjuru kota. Dalam kelompok dua orang, mereka berjalan sambil berdoa rosario.
Pukul 12.30 acara makan siang di biara. Tentang menu makanan, jika tidak mempertimbangkan pentingnya gizi, hampir saja Ibu Teresa mengharuskan para suster hanya makan nasi dengan garam. Menyusul makan siang, mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga, lalu istirahat selama setengah jam.
Pukul 14.00 membaca bacaan rohani, disusul minum teh. Pukul 15.00 para suster bertugas lagi di luar, sedangkan para calon suster belajar. Sekitar pukul 18.15 – 18.30 yang bertugas di luar pulang. Satu jam berikutnya doa, kemudian makan malam dan persiapan untuk pekerjaan keesokan harinya. Pukul 20.30 – 21.00 rekreasi. Setengah jam terakhir ini semua boleh berbicara sepuas-puasnya. Setelah doa malam, mereka pun mempersiapkan untuk meditasi besok. Satu hari dalam seminggu digunakan untuk memeriksa diri. Benar-benar jadwal yang padat. (Intisari Juli 1997)