Penulis
Intisari-online.com - Pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan maritim terkuat di kawasan Asia Tenggara.
Jalur Sutra Maritim yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan India dikembangkan, dan sejak saat itu, pengembara laut menjadi bagian integral dari wilayah tersebut.
Sriwijaya, menjadi kerajaan maritim Buddhis Melayu yang berbasis di pulau Sumatra, salah satu yang terkuat pada awal abad ke-7.
Pada masa kejayaannya, Sriwijaya memegang pengaruh yang luas di Nusantara, dengan wilayah kekuasaannya di Asia Tenggara.
Terbentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan sebagian Jawa.
Pemerintah Sriwijaya juga berhasil menguasai sejumlah besar perdagangan maritim di Asia Tenggara.
Kuncinya ternyata dengan menggunakan keterampilan para pengembaralaut, ungkap wartawan Robert Bociaga, yang meliput di Asia Tenggara.
Sebagai imbalannya, mereka memungkinkan pengembara laut untuk memperoleh teknologi kunci, seperti perkakas besi dan teknik pembuatan kapal yang lebih baik.
Baca Juga: Alasan Mengapa Kerajaan Sriwijaya Disebut sebagai Kerajaan Maritim
Lalu pada gilirannya membantu mereka memperluas jangkauan dan keragaman kegiatan komersial mereka.
Di tempat lain di wilayah tersebut, perantau laut yang disebut Orang Laut ("manusia laut" dalam bahasa Melayu) berkontribusi pada berdirinya Malaka sekitar tahun 1400.
Orang Laut berpatroli di Selat Malaka, mengusir bajak laut dan mempertahankan dominasi pelabuhan seperti Malaka.
Hingga wilayah itu menjadi salah satu pusat perdagangan paling berpengaruh di Asia.
Simbiosis mereka dengan negara-negara perdagangan yang meningkat ditegaskan oleh bukti linguistik, yang menghubungkan pengembara laut dengan bahasa yang mapan seperti bahasa Melayu.
Konon keberadaan pengembara laut masih ada hingga kini, dan lebih dikenal sebagai Suku Bajau, suku yang tinggal di lautan Asia Tenggara dan tidak memiliki kewarganegaraan.
Pengembara laut bergantung pada orang Melayu sebagai pembeli ikan dan sumber daya air lainnya.
Mereka juga membawa barang dagangan yang berharga seperti lada dari satu daerah ke daerah lain.
Baik para perantau maupun para pedagang diuntungkan dari pengaturan tersebut, dan orang laut mengambil tingkat kebanggaan dan prestise dari peran mereka.
Namun pengembara laut tidak sepenuhnya lepas dari daratan.
Bahkan, mereka melintasi daratan dan bentang laut, seringkali terdiri dari pulau-pulau kecil, gundukan pasir atau bakau, dan mereka juga mengubur orang mati di daratan.
Laut berfungsi sebagai reservoir untuk memperoleh sumber daya sekaligus sebagai tempat keramat.
Namun, ketika negara modern muncul, pengembara laut menjadi semakin terpinggirkan dan dimiskinkan, menyusul putusnya kerjasama lama dengan komunitas berbasis darat.
Saat ini pengembara laut di Myanmar berjumlah sekitar 2000 orang.
Dalam beberapa tahun terakhir, mereka menghadapi migrasi ribuan nelayan Burma ke selatan ke kepulauan Mergui, yang telah menyaksikan perkembangan besar dalam operasi penangkapan ikan dan fasilitas wisata.
Kini, Suku Bajau yang merupakan komunitas pengembara laut terbesar di dunia masih dapat ditemui di beberapa dusun dan desa yang tersebar di sepanjang pantai Indonesia, Filipina dan Malaysia.
Di Laut Sulu antara pulau Kalimantan dan Filipina Selatan, pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Abu Sayyaf pernah membawa Angkatan Laut Indonesia dan Filipina ke wilayah tersebut.
Jam malam telah diberlakukan yang membatasi pergerakan di kedua negara, tetapi juga untuk pengembara Bajau.
Pihak berwenang Indonesia telah merelokasi beberapa orang Bajau di pulau-pulau kecil.
Saat ini, banyak dari mereka yang tinggal di rumah panggung kecil, terpapar cuaca buruk, dan rawan diserang bajak laut.
Nasib mereka serupa dengan sejumlah komunitas tradisional di Indonesia dan Malaysia, di mana para pembuat kebijakan pemerintah pusat berusaha untuk memisahkan komunitas dari cara hidup tradisional, dan menempatkan mereka di perumahan permanen.