Tak Mau Gosong Karena Sinar Matahari? Inilah Kisah Tabir Surya yang Digunakan Sepanjang Zaman, dari Campuran Dedak Padi Hingga Minyak Zaitun

K. Tatik Wardayati

Penulis

Tak mau gosong karena sinar matahari? Inilah kisah tabir surya yang digunakan sepanjang zaman, dari campuran dedak padi hingga minyak zaitun.

Intisari-Online.com – Ada jam-jam tertentu yang mengharuskan kita untuk menerima sinar matahari pagi demi kesehatan tubuh.

Namun, ada pula pada waktu tertentu yang tidak diperolehkan untuk berjemur karena bahayanya akan sinar ultraviolet (UV).

Kita pun tahu betapa pentingnya melindungi kulit kita dari sinar UV yang merusak dan berpotensi menyebabkan kanker.

Lalu apa yang Anda lakukan untuk melindungi kulit dari ganasnya sinar UV saat keluar rumah?

Baca Juga: Wahai Pria, Jangan Lupakan 8 Langkah Perawatan Kulit untuk Anda di Atas Usia 40 Tahun, Salah Satunya Gunakan Pelembap Setiap Hari

Anda pasti akan menjawab, dengan menggunakan tabir surya.

Tabir surya ini paling banyak digunakan oleh mereka yang tinggal di empat musim, saat musim panas.

Padahal, tabir surya komersial sebenarnya ada baru berusia sekitar satu abad.

Lalu, apa yang digunakan oleh nenek moyang kita untuk melindungi kulit mereka dari terik matahari musim panas?

Baca Juga: Jarang Perhatikan Kondisi Kulit Saat di Rumah Saja? Jangan Lagi Diabaikan, Termasuk Rutin Gunakan Tabir Surya Walau di Dalam Rumah!!

Tak ada bedanya dengan sekarang, sinar matahari pun sama ganasnya di zaman kuno.

Dan ketika nenek moyang kita terbakar matahari, maka mereka meredakan rasa sakit dengan pengobatan alami yang terbuat dari tumbuhan.

Tabir surya favorit orang Mesir Kuno adalah campuran dedak pati, melati, dan lupin.

Sementara orang Yunani Kuno mengenakan pakaian panjang yang longgar dan topi bertepi lebar untuk melindungi diri dari sinar matahari.

Mereka juga menggosok kulit mereka dengan minyak zaitun.

Di negara Afrika Namibia, para wanita suku Himba mencapurkan pasta yang disebut otjize yang terbuat dari mentega, lemak hewani, dan oker merah untuk melindungi kulit dan rambut mereka dari sinar UV.

Hingga sekarang wanita Himba masih menggunakan otjize, tetapi lebih banyak digunakan untuk tujuan kosmetik.

Wanita di Burma untuk mencegah sengatan matahari dengan pasta yang terbuat dari kulit pohon apel kayu yang disebut thanaka.

Sedangkan beberapa suku asli Amerika dari Pacific Northwest menggunakan salep yang dibuat dari ekstrak pohon hemlock barat.

Baca Juga: Rutinitas Perawatan Kulit Anda Tidak Maksimal? Ini 5 Mitos Kecantikan yang Jangan Pernah Anda Percaya

Orang India kuno adalah orang pertama dalam sejarah yang terdokumentasi menggunakan seng sebagai tabir surya, sejak 500 SM.

Apakah semua yang digunakan tadi itu berhasil?

Jawabannya, ya dan tidak!

Minyak zaitun tidak banyak membantu kulit orang Yunani Kuno selain membuatnya tetap lembut dan kenyal, sementara dedak padi menyerap sinar UV.

Sedang kulit pohon apel kayu secara efektif memblokirnya, dan seng adalah bahan umum dalam tabir surya yang digunakan hingga hari ini.

Tidak diketahui bahwa sinar UV-lah yang bertanggung jawab jadi penyebab kulit terbakar sampai tahun 1801, ketika ahli kimia Jerman Johann Wilhelm Ritter menemukan sinar UV.

Eksperimen tabir surya ilmiah pertama dilakukan oleh ilmuwan Austria Otto Veiel, yang mengetahui bahwa tanin yang diterapkan pada kulit dapat menyerap sinar berbahaya tetapi juga menodai sesuatu yang ganas.

Akhirnya, pada tahun 1935, Eugene Schueller (yang kemudian mendirikan perusahaan kosmetik L'Oreal) memperkenalkan tabir surya komersial pertama.

Baca Juga: Tabir Surya dengan SPF Tinggi Tidak Memberikan Perlindungan yang Lebih Baik

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait