Pasukan sekutu hanya sesekali diberikan jatah tentara.
Saat itulah mereka sangat bergantung pada bantuan penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Membantu pasukan sekutu mendapatkan kebutuhan dasar di satu sisi, namun malangnya, di sisi lain rakyat Timor Portugis juga mengalami permintaan paksa atau penjarahan oleh pasukan Jepang.
Di masa itu, Jepang dan Australia masing-masing menghancurkan desa-desa dan menghancurkan tanaman dan simpanan makanan penduduk asli Timor, sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan strategis dalam Pertempuran Timor.
Orang Timor juga berdagang dengan tentara Australia, yang membayar makanan mereka dengan koin yang kebanyakan dihargai karena 'nilai ornamen'.
Ada pula cerita tentang 'penduduk asli' yang muncul tanpa diminta dari hutan membawa pisang, makan dengan pendeta Portugis setempat dan 'gadis-gadis' Timor yang hanya berpakaian rok rumput membawa air untuk tentara.
Orang Timor juga terkadang enggan menjual makanannya, yang diartikan sebagai tidak ramah dalam salah satu sejarah.
Sebagai sarjana, Katarzyna J. Cwiertka, berpendapat bahwa makna budaya makanan dapat diperkuat dalam perang.
"Itu bisa menjadi senjata, perwujudan musuh, tapi juga tanda harapan, bantuan yang menenangkan," ujarnya.