Kehadirannya Jadi yang Pertama Masuki Bumi Borneo, Wanita Eropa Ini Terkesima Melihat Pemburu Kepala Manusia, Suku Dayak dengan Perhiasan Kalung dari Gigi Manusia

May N

Penulis

Menjelajah pedalaman Borneo pertama kali, pelancong Ida Pfeiffer tuliskan semua hal yang membuatnya terpesona, termasuk dua kepala manusia

Intisari-online.com -Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan.

Mereka telah tinggal sangat lama di bumi Borneo.

Sementara itu, Borneo pertama kali dikunjungi oleh seorang penjelajah di tahun 1852.

Ialah Ida Pfieffer yang memulai kunjungan ke Borneo pertama kali.

Baca Juga: Sakti Mandraguna Bisa Menghilang di balik Dedaunan, Inilah Suku Dayak Terkuat Penjaga Rimba Kalimantan, Musuh Manusia yang Tewas di Tangannya Bisa Menjadi Santapannya

Wanita pemberani asal Austria tersebut menceritakan perjalanannya dalam catatan perjalanan yang sampai sekarang sudah dicetak ulang menjadi buku.

“Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalannya di Borneo pada Januari 1852.

“Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”

Setelah berjuang beberapa jam, akhirnya mereka mendapatkan aliran sungai yang tenang.

Baca Juga: Masih Bisa Ditemui Hingga Kini, Inilah Penampakan 'Suku Pemburu Kepala Manusia' Asal Kalimantan Kepala Manusia yang Digantung di Rumah Buktikan Keberadaan Mereka

Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.

Tujuan pertama mereka adalah sebuah benteng di Skrang, yang lokasinya sembilan jam dari tempat mereka berada saat itu.

Komandan Alan Lee, menyambut kedatangan mereka.

Dalam catatannya, Ida berkisah, benteng itu terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah.

Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu.

Baca Juga: Kerusuhan Suku Dayak dan Madura di Sampit Tahun 2001 Kembali Diceritakan, ini Dia Panglima Burung Tetua Suku Dayak Dalam yang Dikabarkan Menikah dengan Titisan Nyi Roro Kidul

Kedatangan Ida menjadi tontontan lantaran bagi warga pedalaman Borneo, tampaknya dia merupakan sosok aneh bagi mereka.

Dialah perempuan kulit putih pertama yang mereka lihat.

Pada kenyataannya memang demikian, Ida Pfeiffer memang perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock.

Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee.

Baca Juga: Padahal Lawan Dihadapannya Adalah Pasukan Elit yang Ditakuti Dunia, Bukannnya Mundur Kopassus Justru Permalukan Pasukan SAS Inggris di Hutan Kalimantan, Begini Kisahnya

“Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter.

"Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya.

“Saya berminat membelinya apabila ada di antara mereka yang menjualnya.”

Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Baca Juga: Tak Perlu Senewen China Klaim Batik Sebagai Kerajinan Negaranya, UNESCO Punya Alasan Kuat Sebut Batik Milik Indonesia

Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini.

Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu.

Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan. Kuping mereka ditindik, dan kadang berhias selusin lebih gelang.

“Beberapa dari mereka mengenakan gelang yang bertatakan kerang putih yang bernilai lebih,” ungkapnya.

Baca Juga: Pilinan Rambut Asli Diturunkan dari Ibu, Nenek, dan Buyut, Lalu Seterusnya hingga Besar! Anak Perempuan di Suku Ini Mengenakan Konde yang Terbuat dari Rambut Leluhurnya

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan.

Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik. Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam.

“Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”

Baca Juga: Tidak Hanya untuk Pembungkus Makanan Daun Pisang pun Bermanfaat untuk Kesehatan, Salah Satunya Obat Alami Radang Tenggorokan

Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi.

Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka.

“Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Baca Juga: Isi Kulkas Pasangan Kanibal Ini Sungguh Menjijikkan, Pernah Sajikan Kepala Manusia Bersama Jeruk Mandarin sebagai Santapan Makan Malam

Kedua kenang-kenangan atas kemenangan perang itu baru diperoleh beberapa hari sebelumnya dan menampakkan pemandangan yang mengerikan.

Kepala itu nantinya diasap hingga dagingnya setengah matang, bibir dan telinga melayu.

“Kepala-kepala itu tetap dengan rambutnya,” demikian kisah Ida, “dan salah satu kepala itu bahkan matanya membelalak.”

Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida.

Baca Juga: Kesaksian Generasi Terakhir Penganut Tradisi Kuping Panjang, Ungkap Alasan Anak-cucu Enggan Ikuti Jejaknya hingga Bujuk Rayu Mantri untuk Memotong Telinganya

Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia.

Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka?

Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya.

Baca Juga: Padahal Lebih Dulu Jadi Penjajah di Timor Leste Ketimbang Indonesia, Negara Ini Malah Dipuja Setengah Mati Sedangkan Indonesia Dibenci Setengah Mati Oleh Timor Leste

Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?

Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.

“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya.

Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya.

Baca Juga: Punya Militer Paling Lemah di Dunia, Ternyata Dua Negara Ini Juga Dianggap sebagai Negara Paling Berbahaya untuk Dikunjungi Pelancong, Kok Bisa?

“Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.”

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1.

Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

Baca Juga: Ramalannya di Masa Depan Sering Menjadi Kenyataan, Terkuak Begini Penjelasan Produser dan Pemeran The Simpsons Bagaimana Mereka Memprediksi Masa Depan

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Artikel ini telah tayang di National Geographic Indonesia dengan judul "Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait