Find Us On Social Media :

Perang Nuklir Bisa Pecah Kapan Saja, Angkatan Darat AS Punya Senjata Khusus untuk Hadapi Rusia Bahkan China, Medan Perang Bisa Berubah dalam Sekejab, 'Lalu Musuh Kami Akan Dilema'

By Mentari DP, Sabtu, 17 Oktober 2020 | 10:40 WIB

Militer Amerika Serikat (AS).

Intisari-Online.com - Saat ini, Amerika Serikat (AS) menjadi negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia.

AS berada di urutan ke-1 dan diklaim memiliki jutaan pasukan aktif serta teknologi terbaik.

Dan di antara negara lainnya, AS sangat waspada terhadap Rusia.

Sebab, Rusia berada di urutan ke-2 sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia.

Baca Juga: Musuh China Bertambah Satu, Perdana Menteri Kanada Kritik Keras Sikap Negeri Panda yang Begitu Meresahkan Ini, 'Kami Bersumpah Akan Terus Membela Mereka yang Tertindas'

Bahkan untuk hadapi Rusia, petinggi Angkatan Darat AS menyiapkan misi khusus.

Di mana mereka kini akan fokus pada pengembangan rudal jarak menengah yang memiliki jangkauan lebih dari 900 mil.

Bagi AS, kemampuan rudal dengan jangkauan ini merupakan kunci untuk menghadapi Rusia, bahkan China.

Sejak keluar dari perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) pada Agustus 2019, AS terus berusaha mengembangkan beberapa jenis senjata yang ada di kelas tersebut.

Baca Juga: Walau Bekas, Begini Kecanggihan Jet Tempur Eurofighter Typhoon yang Diincar Menhan Prabowo Subianto, Bisa Terbang Selama 6 Bulan Tanpa Berhenti

Meskipun banyak negara menilai bahwa aktivitas tersebut mencederai upaya perdamaian dunia.

 

Brigadir Jenderal John Rafferty, direktur Tim Lintas Fungsi Long-Range Precision Fires (LRPF) Angkatan Darat AS, baru-baru ini meyakinkan publik bahwa rudal jarak menengah dengan jangkauan antara 500-1.500 kilometer (310-930 mil) akan menjadi aset serius dalam konflik masa depan dengan Rusia atau China.

"Ini akan menciptakan dilema pada musuh kita."

"Kami mampu mengubah keadaan dalam sekejap, jika kami dapat mengirimkan kemampuan seperti ini ke sana (medan perang)," ungkao Rafferty pada Army Fires Conference (29/9/2020), seperti dikutip Sputnik News.

Pada tahun 1987 silam, AS dan Uni Soviet menandatangani perjanjian terkait INF setelah AS menempatkan rudal balistik jenis Pershing II di Eropa.

Dikutip dari Sputnik News, rudal jenis tersebut mampu mencapai jarak 1.000 mil, atau sama dengan jarak dari Jerman Barat ke Moskow, hanya dalam waktu 6-8 menit.

Rudal ini dinilai dapat meningkatkan risiko pecahnya perang nuklir di kemudian hari.

Melalui perjanjian tersebut, kedua negara dilarang untuk membangun atau menggunakan rudal darat yang dipersenjatai dengan hulu ledak konvensional atau pun nuklir dengan jarak antara 500-1.500 kilometer.

Dalam beberapa tahun terakhir, AS kembali fokus pada pengembangan rudal LRPF.

Baca Juga: Covid Hari Ini 17 Oktober 2020: Sudah 10 Bulan Tapi Kasus Baru Malah Melonjak Tajam, Indonesia Tembus 350.000 Kasus, Sementara di AS Jadi 8 Juta Kasus

Walaupun begitu, pihak Pentagon mengaku tetap akan mengikuti sejumlah batasan yang diatur pada perjanjian INF yang telah ditinggalkan.

Bahkan pada Maret 2019, beberapa bulan sebelum AS keluar dari perjanjian, Pentagon telah menyiapkan anggaran untuk sistem rudal LRPF yang bertentangan dengan perjanjian.

Nilainya disebut mencapai US$ 1 miliar untuk tahun fiskal 2020.

Menurut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, AS terpaksa keluar dari perjanjian INF demi bisa bersaing dengan Rusia.

Menurut Esper, Rusia sendiri telah melanggar perjanjian selama bertahun-tahun dengan merilis rudal balistik jarak pendek, Iskander.

Dari pihak Moskow, mereka selalu menolak tuduhan tersebut, meyakinkan bahwa jangkauan Iskander tidak melanggar perjanjian.

Rusia justru menuduh AS hanya mencari-cari alasan agar bisa keluar dari perjanjian dan kembali bebas mengembangkan senjata.

(Prihastomo Wahyu Widodo)

(Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Angkatan Darat AS akan fokus pada rudal jarak menengah, kunci penting hadapi Rusia")

Baca Juga: Semua Misi Nyaris 100% Sukses, Inilah Koopssus TNI, Pasukan Elite Indonesia yang Jago di Darat, Laut, dan Udara, 'Hanya Bisa Diperintah oleh Presiden Jokowi'