Penulis
Intisari-Online.com -Korut dan China merupakan negara yang memiliki kedekatan, hal itu tak lain karena idealisme yang diusung kedua negara sama.
Keduanya sama-sama merupakan negara Komunis, maka tak heran jika keduanya memiliki banyak hubungan.
Namun, tahukah Anda selain hubungan politik ada fakta memilukan di mana anak-anak perempuan di Korut terjebak dalam pebudakan.
Ribuan perempuan dewasa dan anak-anak Korea Utara diperdagangkan dalam perbudakan seks di China, yang termuda tercatat berusia 9 tahun.
Baca Juga: Penting! Indonesia di Amang Resesi, Milenial Harus Persiapkan 4 Hal Berikut Ini
Perbudakan itu terjadi ketika mereka berusaha melarikan diri dari kemiskinan dan penindasan di tanah air mereka.
Reuterspada Senin (20/5/2019) mengutip laporan lembaga nirlaba Korea Future Initiative menyebutkan, eksploitasi seksual warga Korea Utara itu setidaknya menghasilkan laba tahunan 105 juta dollar AS atau Rp 1,5 triliun di China.
Para korban dibayar dengan 30 yuan (Rp 60.000), dijual sebagai istri senilai 1.000 yuan (Rp 2juta), dan diperdagangkan ke sarang cybersex untuk dieksploitasi oleh pelanggan dari seluruh dunia secara online.
"Banyak yang dijual lebih dari satu kali dan dipaksa menjadi menjadi budak seks dalam setahun setelah meninggalkan tanah air mereka," ujar penulis laporan itu, Yoon Hee-soon.
Laporan yang akan diluncurkan pada acara di parlemen Inggris tersebut memperkirakan, 60 persen perempuan dewasa dan anak-anak Korea Utara di China terjebak dalam perdagangan seks.
Hampir setengahnya dipaksa menjadi pelacur, sementara sekitar sepertiga dari angka itu dijual sebagai istri, dan sebagian besar masuk dalam pornografi online.
Laporan itu juga menyebutkan, banyak warga Korut yang diperbudak di rumah-rumah bordil di distrik timur laut China dengan populasi pekerja migran yang besar.
Cap tato Penyintas dari perdagangan manusia menyatakan, pelacur di Shanghai dicap dengan tato seperti singa dan kupu-kupu.
Baca Juga: Waspadai Jika Merasa Populer, Hebat dan Lupa Diri? Bisa Jadi Anda Terkena Star Syndrome, Ini Cirinya
Lambang itu menunjukkan kepemilikan dan mencegah penculikan oleh para saingan.
Mereka bercerita tentang perempuan yang meninggal dunia karena menderita penyakit menular seksual dan mengalami penganiayaan.
Sementara perempuan yang diperbudak di markas cybersex biasanya berusia antara 12-29 tahun, namun ada juga yang lebih muda dari itu.
Sebuah siaran langsung yang menampilkan seorang gadis muda dapat ditarik tarif 110 dollar AS atau Rp 1,5 juta.
Para peneliti menyebutkan, banyak pelanggan tersebut berasal dari Korea Selatan.
Seorang perempuan bernama Choi menceritakan bagaimana dia dibawa ke sebuah apartemen dan terkejut melihat anak-anak perempuan.
"Ada tempat tidur di depan meja komputer dengan kamera. Empat orang memperkosa saya," ucapnya.
Laporan itu juga menyebutkan, perempuan yang dipaksa menikah sebagian besar dijual di daerah pedesaan dengan harga 1.000-50.000 yuan.
Hingga kini, diperkirakan ada 50.000 hingga 200.000 warga Korut di China.
Yoon menilai, kebijakan China untuk menahan dan memulangkan warga Korut memaksa mereka hidup dalam bayang-bayang, hingga berisiko tinggi mengalami eksploitasi.
Beberapa pelaku perdagangan manusia telah ditangkap polisi. Namun, masih ada yang menjadi korban penipuan oleh penyelundup yang menawarkan mereka pergi ke negara suaka.
Para peneliti menyatakan, beberapa jaringan perdagangan manusia menyebar ke Korut dengan kelompok yang menjelajahi pasar, desa, dan pusat transportasi untuk mengambil gadis-gadis yang terlihat miskin.
Lembaga Korea Future Initiative yang berbasis di London mendesak semua negara untuk membantu warga Korut di China untuk terlepas dari belenggu eksplotasi.
Selain itu, berbagai kedutaan besar harus menerima para pencari suaka tersebut sebagai pengungsi.(Veronika Yasinta/Kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Banyak Perempuan Korut Terjebak Perbudakan Seks dan "Cybersex" di China"