Penulis
Intisari-Online.com - “I can do something with myself.” Pikiran ini terlintas di benak Cavien Satia kecil, saat belajar Geografi di kelas enam SD.
Mata pelajaran ini kian menarik ketika wali kelasnya saat SMA mengenalkan siklus air hingga jadi air minum, yang pikirnya, tentu bermanfaat bagi orang-orang di lingkungannya bila ilmu itu dikuasai dan dipraktikkan.
Dari sepantik bab di mata pelajaran itu, pemuda yang besar di Jayapura ini mengenal cabang ilmu geologi.
Kelak, ilmu ini yang didalaminya saat berkuliah di University of New Hampshire, Durham, Amerika Serikat.
Cavien kecil juga menyukai cara orang-orang di sekitarnya mencintai alam. Alam diperlakukan sakral, tidak boleh macam-macam.
Dari situ, ketertarikannya pada geologi menguat. Kekayaan mineral Papua, eksploitasinya, dan ketidakadilan yang ia jumpai di sana membuat Cavien lebih mantap menekuni cabang ilmu ini.
Harapannyakelak ia bisa stand up untuk tanahnya sebagai anak asli Papua.
“Terpikir juga, kenapa mineral kita banyak, tapi (pendidikan) masih terbelakang?” katanya.
Bersiap sejak sekolah
Program beasiswa 1.000 Doktor dari pemerintah Provinsi Papua itu datang pada masa SMA.
Pada 2015, program itu memberangkatkan siswa-siswa Papua ke area East Coast, AS.
Dari tes psikologi dengan tim dari Universitas Indonesia, lalu tes matematika dan sains dengan standar kurikulum Cambridge pada kelas 11, alumnus SMAN 3 Jayapura ini lulus.
Rampung tes di Jayapura, ia dan 30-an siswa se-Papua yang lolos seleksi berangkat ke Makassar untuk persiapan akademik dan tes masuk universitas.
Yang Cavien syukuri, di Makassar, ada kakak-kakak angkatan yang memberi moral support dan mengajari common knowledge di AS, mulai dari tata cara berinteraksi sopan dengan orang asing hingga hingga tata cara makan.
Lulus tes IELTS, ia juga menjalani tes pathway program Navitas untuk melihat kemampuan bidang sains dan teknik.
Dari 30 orang, ia dan enam temannya dinyatakan dapat masuk fakultas sains dan teknik di Universitas New Hampshire, Durham, Amerika Serikat.
Telepon polisi
Berkuliah di area East Coast tidak mulus begitu saja bagi Cavien. Kota-kota di seaboard timur AS ini mayoritas berpenduduk orang Amerika kulit putih.
Di New Hampshire sendiri, berdasar sensus pemerintah AS, 95% warganya merupakan orang Amerika kulit putih.
Pernah satu malam, ia dan Gema, temannya sesama dari Papua, latihan berkendara di area parkir kampus.
Baca Juga: Hanya Dengan Budidaya Lalat, Warga di Kampung Ini Bisa Beri Beasiswa dan Bayar BPJS
Tidak lama, polisi datang menanyai kenapa mereka di sana. Dari keterangan polisi, mereka ditelepon perempuan kulit putih yang merasa tidak aman karena ada dua black men yang berputar-putar di parking lot.
Dari situ, Cavien dan Gema menjelaskan keberadaannya sebagai mahasiswa di sana. Alhasil, polisi pun minta maaf sudah datang dan undur diri.
Perlakukan rasis ini sebelumnya sudah pernah ia rasakan saat kecil di rumah lamanya di Tangerang, saat teman-temannya dilarang main layangan dengan Cavien karena warna kulitnya berbeda.
Pembedaan sempat terasa bagi Cavien di kelas awal perkuliahan.
Ia menuturkan, di kelas kimia pada awal semester, seisi kelas diminta untuk duduk berempat semeja.
Yang ia sadari, rekan sekelasnya rupanya banyak yang menjauhi people of color (PoC) ; kulit gelap maupun Chinese.
“We ended up being paired. Sempet sedih juga,” tuturnya.
Menjadi minoritas di Amerika, bagi Cavien punya dua sisi. Sisi lainnya, ia jadi lebih terlihat, dalam artian positif.
Teman-temannya yang senang dengan black culture seringkali mengiranya black man, biasa mendekatinya dengan menyapa “whatsup” saat nongkrong. Tidak masalah baginya. Kalau ada yang bertanya, baru ia jelaskan.
“Teman-teman kulit putih yang dekat biasanya yang sudah educated dengan perbedaan,” tutur Cavien.
Optimalkan air bersih
Sekali waktu Cavien juga pernah mendapat kelas dengan dosen pengampu yang memperlakukannya beda.
Ia bercerita, di kelas matlab itu, ia kesulitan mengerjakan coding.
Masih salah mengerjakan, dosennya tahu-tahu mengambil kertasnya dan membuangnya di depan kelas. Kelas berisi 10-11 orang itu sontak hening.
Di kelas itu hanya ia dan Gemma yang PoC. Perlakuan itu tak diterima teman-temannya yang berkulit putih.
Ia pun melaporkan tindakan dosennya ke kepala fakultas, yang berjanji membuat peraturan lebih ketat agar perlakuan sinis antarras ini tak berlanjut.
Kendati demikian, Cavien masih menjumpai dosen-dosen yang cukup open minded.
Cara mengajarnya enak dan mengerti struggle para international students sepertinya dalam bahasa Inggris—yang bukan bahasa utamanya.
Pernah ketika final exam kelas mineralogi, panjang lebar ia jelaskan deskripsi jawaban dengan membubuhkan keterangan bahwa ia tak tahu kosa kata tepatnya.
“Dikasi nilai 10, he he he,” kisah Cavien.
Bicara geologi, Cavien cukup bersyukur dengan pendidikan yang ia selami.
Di samping belajar ke negara bagian lain, ia juga senang bisa konsul dengan advisornya yang berusaha belajar untuk pertama kalinya tentang kondisi geologi Papua setelah tahu ia dan Gemma berasal dari sana.
Tahun ini, Cavien melanjutkan beasiswa di Illinois State University, magister hidrogeologi. Dengan cabang ilmu ini, Cavien ingin kelak dapat mengoptimalkan air bersih dan berkualitas di Papua.
Cavien sendiri dan teman-teman Papua dari rumpun sains dan teknik di Amerika kini berusaha merumuskan solusi untuk permasalahan anak-anak Papua.
Internet, contohnya, coba diurai dengan pendekatan sains, sambil mencari sponsor untuk kegiatan mereka.
===
Kisah anak-anak Papua yang maju dengan pendidikan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Intisari edisi Agustus 2020.