Madagaskan Akui Temukan Obat Herbal Virus Corona dan Sudah Siap Diedarkan, WHO Justru Merasa Khawatir dan Cemas Karena Hal Ini

Afif Khoirul M

Penulis

Intisari-online.com - Penemuan obat virus corona bisa dikatakan sebagai kabar baik bagi umat manusia, namun kali ini justru membuat WHO khawatir.

Menurut kabar terbaru yang dihimpun dari GridHealth pada Minggu (10/5/20), Madagaskan mengklaim telah temukan obat virus corona.

Obat tersebut berupa jamu, yang sudah dikirim oleh Madagaskan ke bebrapa negara salah satunya Tanzania.

Meski demikian, kabar itu justru membuat WHO merasa cemas dengan klaim jamu nabati tersebut bisa mengobati Covid-19.

Baca Juga: Jadi Penyebab Meninggalnya Djoko Santoso, Sebenarnya Stroke Akan Menyerang, Tubuh Memberikan 6 Tanda Peringatan Berikut

Untuk diketahui, minuman herbal ciptaan Madagaskar itu diberi nama Covid Organics, yang diproduksi dari artemisa, tanaman yang berkhasiat dalam pengobatan malaria, serta campuran lainnya.

Presiden Madagaskar Andry Rajoelina mengatakan, bahwa obat tersebut sudah berhasil menyembuhkan 2 orang pasien Covid-19 dalam waktu 10 hari.

Usai temuan tersebut, mereka juga sudah mulai mendistribusikannya, salah satunya adalah ke Tanzania.

Rajoelina juga berharap bisa mendistribusikan obat itu ke seluruh Afrika Barat dan sekitarnya.

Baca Juga: Penghasilan 10 YouTuber Teratas di Indonesia, Baim Wong Minimal Dapat Rp 681 Juta Sebulan!

Namun, WHO kini semakin cemas, karena Covid Organics tersebut belum melaluis studi ilmiah, meskipun menurut pengalaman berhasil sembuhkan pasien Covid-19.

Hingga saat ini tidak ada studi ilmiah yang dipublikasikan tentang jamu anti virus corona.

Ini menunjukkan meski bisa menyembuhkan, dampak dan efek samping dari obat ini belum diketahui, ini yang sangat berbahaya.

"Kami memperingatkan, dan menyarankan negara-negara untuk tidak megonsumsi produk yang belum teruji ini, dalam melihat kemanjurannya," kata WHO Afrika melalui, Matshidiso Moeti.

Moeti menjelaskan, para pemerintah Afrika telah berkomitmen dan mengharuskan terapi tradisional, tetapi melalui uji klinis dan prosedurnya sama dengan pengobatan lainnya.

"Saya memahami kebutuhan, dorongan menemukan sesuatu yang dapat membantu," jelas Moeti.

Baca Juga: Temukan Segepok Uang Bernilai Rp2,2 Miliar Tergeletak di Tanah Pemuda Ini Memilih Mengembalikannya, Tetapi Malah dapat Imbalan Lebih Fantastis

"Tapi kami sangat ingin mendorong proses ilmiah ini di mana pemerintah, juga memiliki komitmen yang sama," katanya.

Untuk menguji keefektif, dan obat tidak bisa begitu saja, langsung kepada pasien manusia.

Suatu produk dinyatakan bisa menjadi obat jika telah melewati beberapa tahapan mulai dari mengidentifikasi zat aktif, dan menemukan cara kerjanya, melalui uji praklinis sampai uji klinis.

Menurut Mayo Clinic, untuk menilai efektivitas obat harus melalui uji praklinis pada hewan kemudian uji klinis pada manusia.

Tahap akhir melakukan pengambilan sampel hasil pada semua pasien.

WHO juga memperingatkan, untuk tidak menggunakan produk-produk yang belum teruji dengan pasti.

Baca Juga: Beda Dengan Negara Lain, Israel Cegah Penularan Virus Corona dengan Sadap Ponsel Warganya, Apa Tujuannya?

"Kami khawatir, menggembor-gembrokan produk ini sebagai tindakan pencegahan, membuat semua orang merasa aman," kata kepala WHO Afrika Matshidiso Moeti.

Sementara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Afrika menjelaskan bahwa obat yang diproduksi Madagaskar itu juga harus diuji secara ketat.

Artikel Terkait