Penulis
Intisari-Online.com - Minuman keras (miras) oplosan kembali menjadi petaka yang merenggut puluhan nyawa.
Hingga 15 April 2018, 61 orang tewas akibat menenggak miras oplosan di wilayah hukum Polda Jawa Barat.
Mayoritas korban merupakan warga Kabupaten Bandung. Korban kembali bertambah pada Jumat (27/4/2018) kemarin.
Dua remaja putri asal Kabupaten Sukabumi, meninggal dunia usai menenggak miras oplosan.
Menegok beberapa tahun ke belakang, kasus miras oplosan juga pernah merenggut banyak korban.
Pada Desember 2014 silam, 23 orang warga Garut tewas karena miras oplosan dengan nama Cherrybell.
Metanol menjadi bahan utama pembuat miras oplosan yang dicampur dengan tambahan lain seperti obat nyamuk atau minuman energi.
Secara kasat mata, bahan baku yang digunakan sudah jelas berbahaya untuk dikonsumsi.
Baca juga:Mengaku 7 Tahun Tak Makan Nasi Sama Sekali, Lihat Perubahan Tubuh Artis Randy Pangalila Saat ini
Lantas mengapa masih banyak orang yang nekat meminum cairan mematikan itu?
Selly Iskandar, psikiater dari fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran menuturkan, ada beragam motif yang mendorong orang melakukan tindakan berisiko seperti menenggak miras oplosan.
Namun, secara umum, Selly menyebut ada dua alasan utama orang nekat meminum miras oplosan.
"Satu dia tidak merasa nyaman dengan dirinya, entah cemas, entah sedih, dia enggak suka dengan dirinya, entah enggak bisa tidur. Yang seperti itu perlu diobati, Itu masuknya ke psikiatris. Kedua, alasannya dia udah ok, tapi pengen lebih ok. Dia ngumpul sama orang (kelompoknya) tapi dirasa ada yang kurang, itu biasanya di acara ngumpul-ngumpul bareng," ungkap Selly, saat ditemui di Rumah Sakit Melinda 2, Jalan Padjadjaran, Sabtu (28/4/2018).
Selly menuturkan, grafik kematian akibat keracunan metanol (methanol poisoning) khususnya di Jawa Barat terus meningkat.
Berkaca pada kejadian miras oplosan di Kabupaten Bandung ada, Selly mencatat ada 250 kasus laporan keracunan metanol, dengan korban tewas lebih dari 60 orang.
"Angka grafik epidemiologi bukan turun, naik terus, dan Jabar salah satu tempat paling tinggi kasus miras oplosan," tuturnya.
Selly menambahkan, kendati tidak dilarang, metanol merupakan cairan yang mematikan jika dikonsumsi.
"Metanol jika masuk ke badan, bisa merusak lebih hebat. 10 miligram metanol bisa bikin orang mati," tegasnya.
Tingkatkan kesigapan tenaga medis
Psikater RS Melinda, Teddy Hidayat mengatakan, kasus miras oplosan merupakan fenomena gunung es.
Sebab itu, kata Teddy, perlu dilakukan kajian secara komprehensif bukan hanya masalah aspek sosiologis, melainkan penanganan medis.
Sabtu pagi, FK Unpad bekerja sama dengan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Bandung menggelar pelatihan penanganan korban miras oplosan bagi tenaga medis, khususnya di Puskesmas.
Kegiatan itu mengusung tema 'Master Class Up Date on Methanol Poisoning'.
Kegiatan itu turut menghadirkan sejumlah pembicara dari psikiater adiksi, dokter ahli farmakologi, dokter ahli patologi klinik dan Medicins Sans Frontieres dari Oslo, Norwegia.
Peserta kegiatan ini adalah para dokter yang bertugas di RSUD dan puskesmas, praktisi klinis dan peneliti.
"Kegiatan ini untuk merespon kejadian luar biasa keracunan metanol. Permasalahannya, kalau dokter dilayanan kesehatan tidak bisa menangani dengan segera, angka kematian ini akan terus meningkat. Karena kasusnya tiap tahun ada, tidak pernah berhenti," tutur dia.
Salah satu materi yang diberikan adalah mengenali gejala keracunan miras.
Menurut Teddy, kasus keracunan miras memang sulit didiagnosa.
Apalagi, gejala awalnya sangat mirip dengan keluhan gangguan kesehatan lain.
"Kita juga ingin memberikan edukasi kepada pemberi layanan, kepada dokter, perawat, supaya nanti mereka tahu, orang datang dengan keluhan nyeri lambung, sakit kepala, muntah, itu berhubungan dengan penggunaan narkoba, miras, atau tidak," ujar dia.
Teddy menambahkan, ketelitian tenaga medis dalam menangani pasien keracunan miras oplosan memang diutamakan, agar penanganan bisa cepat dan tepat.
Terlebih, sambung Teddy, banyak korban miras oplosan yang tidak mau kondisinya diketahui orang lain.
"Orang kenapa enggak mau ke tempat layanan kesehatan, karena malu. Kedua, penegakkan diagnosisnya itu memang tidak mudah. Siapa saja orang bisa mual, orangnya enggak berani terbuka, takut kedengaran keluarganya habis minum bareng-bareng. Jadi, masalahnya sangat kompleks," ucap dia. (Dendi Ramdhani)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Orang Nekat Menenggak Miras Oplosan?".
Baca juga:Veronica, ‘Film Paling Menakutkan’ dengan Kisah Nyata yang Jauh Lebih Menakutan