Penulis
Intisari-Online.com - Seorang veteran perang Napoleon dibuat terkejut melihat aksi prajurit perempuan dalam kunjungan pertamanya ke Yogyakarta pada 1809.
Veteran itu bernama Herman Willem Daendels, yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Ia menyaksikan bagaimana pertujukan turnamen perang-perangan yang diadakan di sana dilakukan oleh 40 orang perempuan.
Ya, perempuan nan perkasa beraksi sebagai sosok prajurit bukanlah hal biasa kala itu. Terlebih dengan kemampuan yang luar biasa.
Daendels dibuat kagum dengan kepiawaian perempuan-perempuan dalam menunggang kuda dan menggunakan bedil di atasnya.
Mengingat di tanah asalnya, kemampuan itu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Tidak hanya di masa sekarang, ternyata beberapa kerajaan di nusantara memiliki tentara yang diisi oleh perempuan untuk menjaga keamanan keraton dan kerajaan dari ancaman musuh.
Peter Carey, profesor tamu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Vincent Houben, guru besar sejarah modern Asia Tenggara di Humboldt University Berlin, dalam bukunya yang berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menulis bahwa keraton Mataram memiliki jumlah penjaga perempuan yang sangat besar di lingkungan istana.
Itu diketahui dari laporan Francois Valentijn (1666-1727) seorang misionaris yang menyebutkan bahwa di areal keraton terdapat 10.000 perempuan yang bermukim.
Dari 10.000 perempuan, 3.000 di antaranya kebanyakan berusia lanjut, yang berkewajiban untuk mengurus gerbang masuk dan keluar istana.
Sementara itu, 3.000 lainnya menjadi budak perempuan yang mengurusi permaisuri dan para selir raja, dan 4.000 lainnya bekerja sebagai pengrajin tekstil untuk kerajaan atau untuk berdagang.
Namun, selain itu, Peter dan Vincent menyebutkan bahwa kerajaan di kawasan Jawa Tengah bagian selatan memiliki prajurit perempuan yang memiliki andil dalam berperang.
Dibuktikan dengan adanya buku harian yang ditulis oleh seorang korpsprajurit estri.
Prajurit estri sendiri adalah satuan pasukan elit kesultanan Mataram yang beranggotakan perempuan yang umumnya dari perdesaan.
Pada masanya, mereka dilatih keprajuritan oleh Pangeran Sambernyawa, dan dipimpin oleh Rubiyah (Raden Ayu Matah Ati).
Diperkirakan bahwa satuan tersebut memiliki 150 personel perempuan muda yang memiliki keterampilan senjata dan kesenian.
“Pentingnya ada tentara perempuan untuk menjaga keraton adalah karenasifat perempuan lebih setia daripada laki-laki yang mudah memberontak,” kata Carey saat diwawancarai National Geographic Indonesia.
Kemampuan berperang prajurit estri dalam dunia militer digambarkan dengan memiliki keterampilan berkuda dan menggunakan senjata artileri salvo.
Peter juga menjelaskan bahwa kepandaian prajurit estri bertolak belakang dengan kemampuan pasukan istana yang kurang terlatih menggunakan senapan.
Dalam bukunya, Babad Dipanagara, An Account of the Outbreak of the Java War, Peter juga mengungkapkan bahwa seragam resmi tentara perempuan sama dengan pakaian bangsawan laki-laki Jawa dalam bertempur yang disebut prajuritan.
“Pada awal Perang Jawa, beberapa jasad pasukan mantanprajuritan estri yang bergabung dengan Diponegoro ditemukan di medan perang dalam pakaian lengkap prajuritan,” tulis Carey.
Selama Perang Jawa, beberapa nama panglima perempuan kerap disebut, di antaranya Raden Ayu Yudokusumo yang dikenal garang kepada para cukong pajak, juga Nyi Ageng Serang seorang nyai yang langsung mengangkat senjata ketika Perang Jawa dan dihormati Pangeran Diponegoro.
Artikel ini telah tayang di Nationalgeographic.grid.id dengan judul Prajurit Estri, Perempuan Perkasa yang Ditakuti Pemerintah Kolonial