Kerap Jengkel terhadap Temannya, Pria Ini Akhirnya Dapat Pelajaran dari Pepatah ‘Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya’

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Seorang pria kesal mejanya selalu dipenuhi barang-milik pria yang duduk di sebelahnya. Ternyata pria itu justru menyelamatkan meja untuknya.

Intisari-Online.com – Jangan menilai buku dari covernya, jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja.

Pepatah ini ternyata dialami oleh Thomas McFall dan membuatnya menyadari kesalahan selama ini.

Pria itu pun menceritakan pengalamannya dengan cara mencuit di akun Twitter miliknya hingga menjadi sebuah cerita.

Ia menceritakan seorang pria yang menjadi salah satu teman sekelasnya di mata kuliah Manajemen.

Cuitan Thomas dimulai dengan mengunggah kata-kata: “Saya selalu jengkel dengan pria ini. Bahasa Inggrisnya tidak lancar, tetapi hari ini aku tiba di kelas sedikit terlambat.”

Nah, ini adalah cuitan Thomas selanjutnya yang kemudian menjadi viral di media sosial.

Hai teman, aku tahu aku biasanya hanya mengunggah lelucon konyol di Twitter, tetapi aku tidak sabar karena aku ingin berbagi sesuatu.

Di salah satu kelas Manajemen aku duduk di kursi depan yang sama setiap hari. Sekarang aku juga duduk di samping seorang pria asing ini.

Pria itu berbicara bahasa Inggris tidak lancar. Lebih jauh lagi, aku dengan ppria ini mengatakan dalam bahasa Inggris ‘Wow, muffinku benar-benar enak”.

Pria ini juga punya kebiasaan meletakkan segala barang miliknya di kursi tempat biasa aku duduk. Tas, makanan, buku, dan ponselnya selalu ada di mejaku.

Kini, setiap kali aku masuk ke kelas, pria ini bilang: “Ah, Tom, kamu sudah di sini. Ok”.

Setelah itu ia tergesa-gesa membersihkan mejaku dari barang-barang miliknya. Kemudian ia lakukan ‘tos’ padaku. Setiap hari pria ini akan ‘tos’ padaku.

Aku selalu kesal dengan pria ini. Aku berpikir, “Teman, kamu tahu aku selalu duduk di kursi ini. Mengapa kamu selalu meletakkan barang-barangmu di sini?’

“Dan hal terakhir yang aku inginkan adalah tos dengan orang yang bicara terpatah-patah dari bahasaku dan tos pada pukul 8 pagi.

Tetapi hari ini aku tiba di kelas dan berlari lebih lambat beberapa menit. Aku berdiri di luar karena aku harus mengirim pesan lewat ponselku.

Aku dapat lihat tempat biasaku lewat pintu dari sudut mataku. Tentu saja mejaku dipenuhi barang-barang pria itu seperti biasanya.

Aku masih berdiri di sana dengan ponselku ketika pria lain yang juga datang telah masuk ke kelas lebih dulu. Ia mencoba untuk mengambil kursiku yang letaknya dekat dengan pintu.

Pria asing yang duduk di sampingku mencegah pria ini duduk di sana dan bilang, “Maafkan aku, sahabatku Thomas duduk di sini.”

Saat itulah aku menyadari kalau pria asing itu meletakkan barang-barangnya di kursi bukan untuk mengesalkan aku. Ia justru menyelamatkan kursiku setiap hari.

Dan selama ini ia melihat aku sebagai seorang teman tetapi aku sibuk berpikir tentang diriku sendiri untuk memperhatikannya.

Manis sekali, aku jadi terharu.

Akupun masuk ke kelas dan tentu saja ia membersihkan mejaku dan bilang, “Ah, Tom, kamu sudah di sini. Ok”, dan mengajak tos.

Di akhir pelajaran, aku bertanya pada pria itu apakah mau makan siang bersamaku. Dan kami mengobrol beberapa lama dengan tersendat-sendat.

Pria asing itu ternyata berasal dari Timur Tengah dengan tujuan mendapatkan pendidikan di Amerika.

Ia berencana untuk kembali ke negerinya setelah mendapat gelar. Ia juga punya dua anak dan seorang istri.

Ia bekerja sepanjang waktu dan mengirim gajinya ke rumah untuk istrinya.

Aku tanya padanya apakah ia menyukai Amerika. Ia bilang dirinya rindu dengan keluarganya, tetapi ia senang ada di Amerika.

Ia bilang, “Tidak setiap orang Amerika baik pada diriku seperti kamu, Tom.’

Tentu saja aku mentraktir pria itu makan siang karena pria itu pantas mendapatkannya.

Ia mengajak aku tos saat aku membayar makan siangnya. Tradisi itu tetap terjaga.

Apa moral dari cerita ini? Jangan lakukan seperti yang aku lakukan yang terus menerus memikirkan diri sendiri.

Hal itu berlangsung hampir satu semester untuk menyingkirkan pikiran buruk dan menyadari bahwa pria ini hanya mencoba untuk menjadi seorang teman.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, aku pikir.

Dilansir dari Happiest, pada pekan lalu, Thomas McFall membagi ceritanya kepada para followernya di Twitter.

Kisah Thomas ini jadi viral sebagai pelajaran bagi kita tentang prasangka dan persahabatan.

Dilansir dari The Epoch Times, sejak itu orang-orang di Amerika menawarkan bantuan untuk teman baru Thomas itu.

Banyak diantara mereka menyadari prasangka mereka sendiri dan ingin membuat sebuah perbedaan.