Penulis
Intisari-Online.com - Pada saat Arab Saudi meminta pengurangan produksi untuk mengurangi kelebihan pasokan, Presiden Rusia Vladimir Putin memutuskan untuk menerkam dan menolaknya mentah-mentah.
Hal tersebut dilakukan karenaPutin mengetahui, industri minyak Amerika terbilang rapuh karena dibangun di atas gunung utang yang tinggi.
Melansir CNN, Rusia mengejutkan dunia pada pekan lalu dengan memutuskan aliansinya yang goyah dengan OPEC.
Penolakan Moskow untuk bergabung dengan kartel ditujukan sebagian untuk menenggelamkan perusahaan-perusahaan minyak serpih AS yang mengandalkan harga yang lebih tinggi di lautan minyak mentah murah.
Tujuan Putin adalah merebut kembali pangsa pasar dari pengusaha serpih Amerika, yang pertumbuhannya didorong oleh utang.
Hal itu menyebabkan Rusia kehilangan gelarnya pada 2018 sebagai produsen minyak terbesar di dunia.
"Ini adalah respons untuk mencoba melumpuhkan industri serpih AS," kata Matt Smith, direktur riset komoditas di perusahaan riset energi ClipperData kepada CNN.
Menyegarkan ingatan saja, harga minyak dunia jatuh tajam pada Senin (9/3/2020) setelah Arab Saudi mengatakan akan memangkas harga minyak, sebagai respons membabi buta terhadap langkah Rusia.
Minyak mentah AS anjlok 26% ke level terendah empat tahun menjadi US$ 31,13 per barel. Ini menjadi hari terburuk bagi pasar minyak sejak 1991.
Harga minyak mentah sekarang sangat murah, sehingga banyak perusahaan serpih AS akan terpaksa memangkas produksi.
Kekhawatiran akan kebangkrutan sudah mulai membayangi sejumlah perusahaan minyak AS.
Baca Juga: Aktor Hollywood Tom Hanks, Istrinya Rita Wilson, dan Pemain NBA Rudy Gobert Positif Virus Corona
Kejadian itu juga membuat SPDR S&P Oil & Gas ETF (XOP) ke harga rekor terendah sejak 2006.
Saham perusahaan minyak besar seperti ExxonMobil dan Chevron, yang model bisnisnya dibangun untuk menahan minyak mentah murah, masing-masing anjlok 12%.
Perusahaan-perusahaan eksplorasi dan produksi musnah, di mana saham Pioneer Natural Resources merosot 37% dan Occidental Petroleum yang dililit utang ambles 52%.
Krisis energi ini dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya kembali crash pasar minyak pada 2014-2016 yang membangkrutkan puluhan perusahaan minyak dan gas Amerika dan menyebabkan ratusan ribu PHK. Meskipun industrinya selamat, pengalaman itu terbukti sangat menyakitkan.
"Rusia melihat shale AS sangat rentan saat ini," kata Ryan Fitzmaurice, ahli strategi energi di Rabobank kepada CNN. "Pandangan kami, Rusia menargetkan produsen serpih AS yang sarat utang."
Alasan Arab Saudi meluncurkan perang harga
Melansir Financial Times Arab Saudi ingin memimpin OPEC dan Rusia dalam melakukan pemotongan lebih dalam pada produksi minyak untuk mendongkrak harga minyak mentah dalam menghadapi wabah virus corona, yang telah mengganggu aktivitas ekonomi global.
Baca Juga: 'Saya Akan Menyebarkan Virus', Positif Corona, Pria di Jepang Ini Nekat Datangi Dua Bar
Akan tetapi, ketika Rusia menentang rencana itu, Riyadh merespons dengan meningkatkan produksi dan menawarkan minyak mentahnya dengan diskon besar.
Para analis mengatakan itu adalah upaya untuk menghukum Rusia karena meninggalkan apa yang disebut aliansi OPEC.
Analis juga menilai, Arab Saudi mungkin juga ingin memperkuat posisinya sebagai eksportir minyak utama dunia.
Langkah ini menunjukkan bahwa Riyadh bersedia secara terbuka menghadapi Rusia dan produsen berbiaya tinggi lainnya.
“Ada konsensus di antara OPEC (untuk memotong produksi). Rusia keberatan dan mengatakan bahwa mulai 1 April, setiap orang dapat memproduksi apa pun yang mereka suka. Jadi kerajaan juga menjalankan haknya,” kata seorang sumber Financial Times yang akrab dengan kebijakan minyak Saudi.
Analis mempertanyakan kebijaksanaan pendekatan Arab Saudi. Ekonominya tidak kebal terhadap jatuhnya harga, bahkan jika ia yakin dapat memenangkan pangsa pasar dari para pesaingnya.
Tetapi di bawah Mohammed bin Salman, putra mahkota, kerajaan telah mendapatkan reputasi untuk langkah-langkah berisiko dan tak terduga.
Artikel ini pernah tayang di Kontan.id dengan judul "Terkuak! Ini alasan mengapa Vladimir Putin memicu perang minyak dengan Amerika"