Penulis
Intisari-Online.com – Dengan berlinang air mata, Que Bamei memeluk erat kakak perempuannya, yang berpisah darinya sejak 79 tahun lalu akibat gejolak invasi Jepang.
Que, 87, lahir dari sebuah keluarga besar di Kota Qinzhou di Daerah Otonomi Guangxi Zhuang, Cina Selatan.
Ketika Jepang menginvasi kota tersebut pada tahun 1939, Que yang berusia delapan tahun harus berpisah dengan delapan saudara kandungnya dan mengikuti keluarga lain yang melarikan diri ke Provinsi Guangdong.
Ia diadopsi oleh sebuah keluarga di Zhanjiang, Guangdong, dan tidak pernah kembali ke kampung halamannya atau bertemu dengan keluarganya yang lain sejak saat itu.
Baca juga: Kisah Reuni Singa dan Tuannya yang Berpisah 7 Tahun Bikin Hati Meleleh
Sepuluh tahun kemudian, kenangan Que akan kampung halamannya memudar menjadi beberapa gambar yang buram, “sebuah halaman besar dengan kolam di depan, selain kolam adalah makam kakek.”
Namun, keinginannya untuk kembali ke kampung halaman dan bertemu saudaranya selalu berakar di hatinya dan semakin menguat seiring berjalannya waktu.
Pada bulan Februari lalu, Que menjalani operasi batu empedu dan sering mengatakan ingin kembali ke kampung halamannya.
Menyadari bahwa tidak ada waktu lagi, cucunya, Huang Guangpeng, 33, memutuskan untuk membantu neneknya memenuhi impiannya. Ia menggunakan platform baobihujia online, yang didedikasikan untuk membantu keluarga yang hilang untuk bersatu kembali.
Dengan pesan singkat dari Que, sukarelawan tidak mudah untuk menemukan desanya, belum lagi kerabatnya yang hilang. Apalagi Que buta huruf, sehingga tidak mengerti dengan jelas karakter nama keluarganya.
Setelah mencari beberapa saat, para relawan menemukan sebuah rumah tangga dengan nama keluarga “Que” yang memiliki pelafalan yang mirip dengan “Ji” menurut dialek lokal. Ada kesamaan pula dengan deskripsi yang disampaikan oleh Que.
Para relawan kemudian menyelidiki lebih lanjut dan menegaskan bahwa Que lahir di desa Dashigu di kota Shabu, Distrik Qinnan. Ayahnya, Que Mingguang, seorang perwira, tewas dalam pertempuran mempertahankan tanah air dan lima saudara laki-lakinya hilang dalam perang.
Namun, tiga saudara perempuannya kemudian menikah di Qinzhou, meskipun dua orang telah meninggal, tetapi saudara tirinya, Que Qijie masih hidup.
Sebelum mereka bertemu langsung, dua bersaudari ini mengobrol melalui video, di tengah banjir air mata mereka dan berjanji bertemu sesegera mungkin.
Pada 29 Maret, ditemani oleh anak-anaknya, Que Bamei tiba di desa Dashigu, setelah perjalanan empat jam dari rumah.
Meskipun kayu bambu, kembun, dan rumah-rumah tua telah banyak berubah, tetapi kenangan masa kecil datang kembali, dan mata Que Bamei pun memerah karena air mata.
Ia ingin sekali segera bertemu kembali dengan adik perempuannya, Que Qijie, yang telah duduk di depan rumahnya jauh sebelum kedatangan Bamei.
Para tetangga menyalakan kembang api untuk merayakan kedatangan Bamei. Kedua saudari itu pun saling berpelukan dan menangis lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Ah, akhirnya aku bertemu lagi denganmu,” gumam Que Bamei dalam dialek Qinzhou yang tidak dikenalnya.
Mereka pun tinggal bersama sepanjang hari itu dan berbincang hingga larut malam.
“Berkat kemudahan yang ditawarkan Internet dan upaya dari para sukarelawan, nenek saya dan saudara perempuannya sekarang hanya memiliki sedikit penyesalan dalam hidup mereka,” kata Huang Guangpeng.
Huang mengatakan bahwa neneknya dulu adalah orang yang pendiam, tetapi jadi lebih banyak bicara setelah reuni itu, berbicara tentang kisah masa kecilnya dan riwayat keluarga yang dipelajari dari saudara “baru”-nya.
Kedua saudari tua itu berencana untuk bertemu kembali dan menebus waktu yang hilang.