Penulis
Intisari-Online.com – Suatu hal yang menarik untuk diteliti di dalam Museum Jakarta Kota adalah sebuah bedil jaman awal VOC.
Bedil tersebut mempunyai ukuran: panjang total 185 Cm, garis tengah laras 2 ½ cm dengan tebal dinding ½ cm.
Bedil ini dilengkapi juga dengan besi penyangga. Sayang sudah patah dan hilang entah ke mana.
Aslinya, besi penyangga itu panjangnya 150 cm. Yang ada sekarang tinggal 20 cm.
(Baca juga: Jangan Ditiru! Frustrasi Dikhianati Pacar, Gadis Cantik Ini Melelang Keperawanannya)
Besi penyangga yang dilekatkan tidak jauh dari pelatuk itu berfungsi sebagai pembantu penembak agar tidak goyang.
Tidak jauh berbeda dengan tustel otamat yang bisa ditinggalkan dan menjepret sendiri diatas penyangga yang berkaki tiga.
Bedil dengan besi penyangga ini sudah daluwarsa sekarang, sudah tidak dipakai lagi. Perkembangan peluru bedil jaman sekarang sudah demikian maju. Anak peluru beserta obat mesiu sudah disatukan di dalam kelongsong.
Keseluruhannya ind di dalam bahasa Inggris disebut 'cartridge'. Cartridge juga bisa dipakai untuk keseluruhan alat-alat jarum pick-up, dan setelah kaset berkembang istilah tersebut berarti juga seperangkat pita kaset.
(Baca juga: Tanpa Operasi Plastik, Beginilah Transformasi Menakjubkan Seorang Wanita Hingga Bikin Pangling)
Cartridge ini dimasukkan ke dalam 'kamar' dan setelah disentil oleh pelatuk, bedil meletus. Anak peluru keluar lewat laras menuju sasaran. Setelah dikokang, kelongsong yang sudah tidak ada anak pelurunya keluar.
Jelas pada pantat kelongsong ini berlobang sedikit karena sudah dipatuk oleh jarum pelatuk.
Bedil yang dipakai pasukan VOC jamannya Gubernur Jendral Pieter Both kebanyakan berasal dari jaman sebelumnya, abad 16 terakhir. Waktu itu belum dikenal cartridge. Antara mesiu dan anak peluru masih terpisah.
Kelongsong juga belum dikenal. Karena itu bentuk 'kamar’ didalam bedil waktu itu juga lain. Fungsi pelatuk juga lain.
(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)
Fungsi pelatuk waktu itu adalah untuk memindahkan sumbu yang menyala, ke lobang kamar yang berisi obat mesiu. Jadi pelatuk tersebut meompunyai per khusus yang dihubungkan dengan besi penjepit disamping.
Pada penjepit iiri dijepitkan sumbu api. Sedang sumbu itu yang cukup panjang, dipegang dengan tangan kiri penembaknya.
Anak peluru waktu itu masih berupa keleleng besi. Kalau lobang laras 2 ½ cm berarti anak pelurunya sudah cukup besar. Karena masih belum dikenal cartridge berarti seorang penembak selalu menyimpan anak peluru-anak peluru yang sama jumlahnya dengan mesiu-mesiunya.
Karena itu pula prajurit-prajurit jaman dulu begitu bergantungan perlengkapannya. Di dadanya menyelempang wadah-wadah mesiu, di pinggang kanannya wadah anak peluru. (Istilah sekarang 'magazijn').
(Baca juga: Inilah yang Akan Terjadi Jika Rutin Makan 6 Siung Bawang Putih Panggang Setiap Hari )
Selain itu dia juga masih ber-baju besi, pedang di pinggang kiri dan bertopi atau berhelem.
Cara menembakkannya juga membutuhkan waktu yang sangat lambat. Pertama memasukkan anak peluru dari magazijn ke dalam lobang laras.
Setelah menggelinding kedalam, giliran memasukkan mesiu dari wadahnya yang khusus ke dalam lotoang samping kanan senapan, sehingga masuk kamar. Lalu ditutup. Prajurit itu segera menjepitkan sumbu yang sudah menyala ke penjepit.
Besi penyangga dipasang. Membidik sebaik-baiknya. Pelatuk ditarik. Karena ditarik, penjepit maju dan ujungnya membakar lobang kecil yang masuk kamar. Mesiu mengeluarkan letusan dan mendorong anak peluru yang berupa kelereng besi keluar lewat laras menuju sasaran.
Kalau ingin menembak lagi harus diulang prosesnya seperti semula. Lalu bagaimana cara menembakkan meriam?
Si Jagur
Sebelum menguraikan bagaimana cara menembakkan meriam baiklah lebih dulu ditinjau Si Jagur, satu-satunya peninggalan meriam kuno yang paling istimewa di Jakarta.
Kebanyakan meriam-meriam yang dibuat pada abad 16 dan 17 mempunyai pentolan pada pangkal. Ada yang berbentuk kelopak bunga yang masih kuncup, ada lagi berbentuk bundaran yang dihias warna-warni, dan perkembangan terakhir hanya berbentuk bola saja.
Tapi tidak demdkian dengan Si Jagur, Pentolan pada meriam ini diganti sama sekali dengan bentuk tangan kanan menggenggam dengan ibu jari yang menonjol keluar. Dan pada tangan itu menghias pula seuntai gelang bulat-bulat seperti mutiara.
Panjang meriam ini seluruhnya 3,85 meter. Tebal bibir laras 12 cm, garis tengah lobangnya 25 cm. Berat 3 ½ ton. Pada pangkalnya terdapat inskripsi Exme ipsa renata sum (Dari diriku sendiri aku telah lahir kembali). Pada laras melekat dua ekor ikan Iumba-lumba.
Atas dasar ini Prof. Dr. Purbatjarako menduga Si Jagur dulu meriam kapal. Tapi dengan banyaknya meriam-meriam lain yang juga punya ikan Iumba-lumba pada laras kita lalu meragukan apa benar dulu merupakan meriam kapal.
Tentang asal Si Jagur para peneliti sejarah juga belum ada yang menentukan dengan tegas dari mana. Memang kalau dilihat dari materi dan bentuk berasal dari Portugis, tetapi kalau ditanyakan bagaimana bisa sampai di Jakarta orang hanya merenung-renung.
Dr. KC Crucq di dalam TBG 78 hanya membahas kekeramatannya saja. Waktu Jan Pieterzoon Coen mengirimkan armada tahun 1622 ke Macao, di sana terdapat dua meriam besar yang tergeletak di pantai.
Berdasar perkiraaan, kedua meriam itu oleh Portugis dipindabkan ke Malaka. Pada tahun 1641 kota ini jatuh dan armada Belanda membawa sebagian rampasannya ke Jakarta. Setelah saya cek buku-buku agenda Belanda tahun 1641 (Dagb Register), tidak dimuatkan data meriam Si Jagur.
Berarti kemungkinan sekali meriam ini berada di Jakarta tidak karena dibawa Belanda. Baiklah kalau begitu di dalam tulisan ini tidak usah dibahas.
Gundukan tanah yang membuka
Meriam jaman sekarang, apalagi yang dipakai oleh kesatuan artileri pertahanan udara,sudah demikian hebat perkembangannya. Terutama yang dimiliki oleh negara-negara besar.
Sebenarnya artileri jenis ini sudah ada pada jaman. Perang Dunia II yang lalu dan dipakai oleh kesatuan Jerman. Pelurunya terkenal dengan nama V-l (Vergeltung Eins = pembalasan — 1).
Artileri ini sudah tidak lagi menggunakan meriam 'tradisionil’ dengan menggunakan lobang laras tetapi cukup rel peluncuran, berpangkalan di Belloy-sur-Somme, Perancis, yang di duduki.
Roket V-1 diluncurkan ke London oleh Jerman pada tanggal 13 Juni 1944 setelah Sekutu berhasil mendarat di Normandia.
Tetapi menjelang kekalahannya pangkalan roket ini dirusak sendiri oleh Jerman agar tidak ditiru. Ternyata Sekutu berhasil juga meniru.
Dan perkembangan atrtileri sekarang, pada tahun-tahun tujuhpuluhan, sudah demikian pelik. Selain diperlengkapi radar, sinar infra serta perlindungan-perlindungan yang sangat tersamar juga menggunakan alat-alat komputer mutakhir.
Lalu terkenal jenis-jenis tembakan darat-udara, udara ke udara, dan bahkan dari dasar laut ke udara. V-l jaman Hitler sudah berkembang menjadi missile, yang bisa ditembakkan dari benua satu ke benua yang lain.
Karena peliknya maka pengetahuan dan riset-riset ke arah kemajuan radioelektronika sangatlah vital. Sesuatu pesawat musuh atau benda-benda di langit yang tampaknya datang mencurigakan dengan cepat ditangkap dan tergambar di layar radar.
Benda yang cuma sebesar nuktah ini segera diketahui posisi dan arah luncurnya. Data-data posisi dan kecepatannya ini segera dikirim oleh perwira jaga ke ruang komputer.
Dengan olaban serta solusi yang tepat dari komputer perwira artileri tinggal memerintahkan kepada pucuk-pucuk missile mana yang harus 'meladeni kedatangan tamu' di langit. Lalu gundukan tanah yang tersamar segera 'membuka' dan muncullah rel-rel missile yang mendongak ke langit.
Dengan sekali pejet knop saja missile itu mendesis dan menghancurkan sasaran. Bukan main!
Bagaimana dengan si Jagur
Yang ingin saya bahas tentang Si Jagur ini adalah bagaimana cara menembakkannya pada jaman dulu, sekitar abad 17. Saya masuk museum lagi dan keliling-keliling sampai ke gudang.
Disitu saya lihat tumpukan bola-bola besi mulai dari ukuran kelereng sampai yang sebesar bola kaki, bahkan lebih besar lagi.
Bola yang sebesar kelereng saya ambil dan saya masukkan ke lobang laras bedil sundut yang sudah saya bahas lebih dulu dalam tulisan ini.
Ternyata masih kebesaran. Berarti kelereng besi ini punya garistengah lebih dari 2 ½ cm. Berarti pula bahwa peluru bedil sundut itu sudah tidak ada, atau mungkin juga belum diketemukan.
Kemudian bola besi yang sebesar bola kaki saya ambil. Lalu saya masukkan ke dalam lobang laras Si Jagur. Ternyata pas. Benarkah ini pelurunya? Kalau benar berarti saya mendapatkan sesuatu yang orang-orang museum sendiri belum menaruh perhatian bahwa sebagian bola-bola besi itu anak peluru meriam Si Jagur.
Lalu di mana obat mesiunya? Mungkin sekali sudah kadaluwaraa dan habis dimakan waktu.
Seorang kawan dari Timor menceritakan bahwa raja-raja di daerahnya pada jaman dulu sering menembakkan meriam yang dilakukan pada hari-hari besar. Meriam tersebut sebelumnya diikat kanan kirinya pada pohon, lalu mesiu dimasukkan ke dalam lobang laras dan yang terakhir anak pelurunya, bola besi.
Dengan obor yang panjang meriam itu disulut dan mengeluarkan letusan hebat. Cerita ini tidak jauh berbeda dengan yang ditulis dan digambar didalam buku 'Guns' oleh Dunley Pope (The Hamlyn Publishing Group Ltd, cetakan 4, 1972).
Prinsipnya hampir sama dengan bagaimana menembakkan bedil sundut. Bedanya hanyalah, bahwa meriam dilayani lebih dari seorang.
Ada yang khusus tukang pembersih lobang laras, ada pembawa anak peluru dan obat mesiunya. Dua orang pengikat meriam biar tidak banyak bergerak waktu ditembakkan, seorang penembak yang selalu siap dengan obor pembakar dan seorang lagi pemimpin penembakan meriam itu sendiri.
Boleh jadi meriam Si Jagur dulu dibawa oleh pasukan darat yang dipimpin panglima perang dalam pertemuran di Jakarta. Si Jagur yang berat itu dimuatkan di atas kereta dan digeret 18 sampai 25 ekor kerbau. Gajah-gajah juga dikerahkan.
Perlengkapan logistik dan amunisi diangkut pakai angkutan khusus. Lalu di depan benteng Belanda meriam ini ditembakkan. Tembok benteng hancur. Pertempuran terus berlangsung.
Ternyata pasukan yang menyerang benteng itu juga mendapat sambutan hangat dari meriam-meriam pertahanan benteng. Pertempuran memakan banyak korban, berlangsung lebih tiga bulan.
Pasukan yang menggempur benteng Belanda itu adalah yang dipimpin Adipati Tegal, Tumenggung Baureksa, salah seorang panglima Mataram.
Baureksa berbuat kesalahan di dalam penyerangan ini. Dia tidak menjalankan perintah seperti yang sudah direncanakan. Korban semakin banyak dan meriam Si Jagur tidak sempat dibawa kembali ke Mataram.
Itulah sebabnya didalam Babat Mataram disebutkan Baureksa harus menjalani hukuman mati di dalam perjalanan pulang, yang dilaksanakan oleh utusan khusus Sultan Agung.
(Ditulis oleh Rachmat Ali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1974)
(Baca juga: Kecanduan Seks dari Kecil Membuat Wanita Ini Hampir Bunuh Diri, Lalu Sebuah Jalan Mengubah Segalanya)