Penulis
Intisari-Online.com – Hari ini, 23 Maret, adalah Hari Meteorologi Sedunia.
Yang ada di benak kita tentang meteorologi adalah masalah prakiraan cuaca.
Ternyata memprakirakan cuaca tidak bisa asal-asalan dan harus ada seninya. Lalu bagaimana?
--
(Baca juga: 5 Hal yang Diincar Polisi dalam Razia Besar-besaran di Bulan Maret 2018, Catat Ya!)
Tanggal 15 Oktober 1987, seorang wanita menelepon stasiun TV di Inggris dan melaporkan telah mendengar kabar akan datang badai.
Sang pemrakira cuaca pun dengan sangat yakin memberitahu pemirsanya, "Jangan khawatir, tidak akan ada badai!" Tapi, malam itu, Inggris bagian selatan dilanda badai.
Lima belas juta pohon porak-poranda dan 19 orang tewas. Kerugian ditaksir lebih dari 1,4 miliar dolar AS. Begitu laporan surat kabar setempat.
Peristiwa di atas mengingatkan kita pada banjir yang melanda Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia setahun lalu. Banjir yang secara nasional menewaskan 147 orang dan menyebabkan kerugian materi luar biasa membuat kita selalu waspada terhadap cuaca yang sulit diramalkan.
Andaikan sebelumnya diketahui akan datang musibah, pasti keadaan bisa diantisipasi.
Setiap pagi, dalam kondisi cuaca yang tidak menentu, jutaan dari kita memutar radio dan televisi untuk mengetahui prakiraan cuaca. Apakah langit mendung menandakan hujan akan turun?
Apakah sinar matahari pagi menandakan cuaca akan selamanya cerah? Setelah mendengar prakiraan itu, kita memutuskan pakaian yang hendak kita kenakan dan perlu-tidaknya membawa payung.
Repotnya, prakiraan cuaca bisa akurat, tetapi adakalanya juga meleset jauh. Ini bisa dimaklumi. Memprediksi cuaca adalah suatu perpaduan antara seni dan ilmu yang bukan antisalah.
(Baca juga:(Foto) Usai Menyantap Induknya, Singa Ini Lakukan Hal Tak Terduga pada Seekor Bayi Kera)
Apa saja yang tercakup dalam proses memprediksi cuaca, dan seberapa besar prediksi ini dapat diandalkan? Ada baiknya kita menerawang kembali tumbuh-kembangnya ilmu pemrakiraan cuaca.
Mengukur cuaca
Zaman dahulu orang memprakirakan cuaca dengan mata telanjang. Sangat sederhana, dibandingkan peralatan canggih yang dewasa ini menjadi andalan para meteorolog. Lihatlah "persenjataan" mereka: alat ukur tekanan udara, temperatur, kelembapan, dan angin.
Berkembangnya kemampuan pemrakiraan kita akan cuaca memang berkaitan erat dengan perkembangan alat-alat yang bisa digunakan untuk membaca pelbagai gejala alam. Salah satu yang pegang peranan besar tentu pengukur tekanan udara.
Alat yang disebut barometer ini. ditemukan pada tahun 1643 oleh fisikawan Italia Evangelista Torricelli.
Dengan alat ini kita jadi tahu bahwa tekanan alat ini kita jadi tahu bahwa tekanan udara meningkat dan menurun sesuai dengan perubahan cuaca. Penurunan tekanan sering kali menandakan akan muncul badai.
Tidak lama, setelah itu, ditemukanlah higrpmeter, alat ukur kelembapan atmosfer, yang dikembangkan pada 1664.
Kemudian, pada 1714, fisikawan Jerman Daniel Fahrenheit mengembangkan termometer air raksa. Temperatur pun kini dapat diukur secara akurat.
Dengan ditemukannya ketiga peralatan penting ini, sekitar 1765, ilmuwan Prancis Antoine Laurent Lavoiser sudah cukup percaya diri untuk memanfaatkan ketiganya. Ia melontarkan gagasan untuk melakukan pengukuran harian terhadap tekanan udara, kelembapan, serta kecepatan angin.
Dengan informasi itu, ia mengatakan, "Hampir selalu mungkin untuk memprediksi cuaca dalam satu atau dua hari di muka dengan keakuratan yang wajar." Sayang sekali, praktiknya bukan hal yang mudah dilakukan.
Memantau cuaca
Pada 1854, sebuah kapal perang Prancis dan 38 kapal dagang tenggelam akibat diterjang badai dahsyat di lepas pantai pelabuhan Balaklava, Krim. Pemerintah Prancis menugasi Urbain-Jean-Joseph Leverrier, direktur Observasi Paris, untuk menyelidiki kasus itu.
Berdasarkan catatan meteorologis, diketahui bahwa badai itu sudah ada dua hari sebelum terjadi bencana itu dan sudah melanda Eropa dari bagian barat laut hingga tenggara.
Seandainya sistem pemantau pergerakan badai dipasang, kapal-kapal tersebut pasti dapat diberi peringatan secara dini. Temuan ini membawa mereka pada kesadaran baru. Didirikanlah pusat pelayanan peringatan badai nasional di Prancis.
Meteorologi modern pun lahir.
Para ilmuwan pun membutuhkan cara cepat untuk menerima data cuaca dari berbagai lokasi lain. Dan, telegram yang waktu itu baru ditemukan oleh Samuel Morse adalah jawabannya. Ini memudahkan Observasi Paris menerbitkan peta cuaca pertama dalam format modern pada 1863. Pada 1872, Kantor Meteorologi Inggris juga melakukan hal yang sama.
Semakin banyak memperoleh data, semakin pahamlah meteorolog tentang kompleksitas cuaca. Sarana grafis dikembangkan, sehingga peta cuaca dapat menyampaikan lebih banyak informasi.
Isobar, misalnya, adalah garis-garis yang digambarkan untuk menghubungkan titik-titik bertekanan barometris sama. Isoterm menghubungkan lokasi-lokasi yang memiliki temperatur sama.
Peta cuaca juga menggunakan lambang-lambang penunjuk arah dan kekuatan angin, serta garis-garis yang menggambarkan pertemuan massa udara hangat dan dingin.
Perlengkapan canggih juga dikembangkah. Sekarang ini, ratusan stasiun cuaca di dunia meluncurkan balon yang membawa radiosonde – pengukur kondisi atmosfer – dan kemudian mengirimkan kembali informasi Itu melalui gelombang radio.
Radar pun digunakan. Dengan memantulkan gelombang radio ke tetesan hujan dan partikel es di awan, meteorolog dapat memantau pergerakan badai.
Lompatan di bidang pengamatan cuaca terjadi pada 1960 sewaktu TIROS I, satelit cuaca pertama yang dilengkapi kamera TV, diluncurkan ke angkasa. Kini, satelit-satelit cuaca mengorbit Bumi dari kutub ke kutub!
Satelit geostasioner tetap bertahan pada posisi di atas permukaan Bumi dan terus-menerus memonitor bagian Bumi yang berada dalam jarak pandang mereka. Kedua jenis satelit itu mengirimkan rekaman gambar cuaca. Hasil prakiraan semakin akurat.
Memprakirakan cuaca
Relatif mudah dan cepat untuk mengetahui cuaca sekarang. Namun, untuk memprediksi cuaca satu jam, sehari, atau seminggu kemudian adalah soal lain.
Tidak lama, setelah PD I, meteorolog Inggris Lewis Richardson beranggapan bahwa karena atmosfer mengikuti hukum fisika, ia dapat menggunakan matematika untuk memprediksi cuaca. Namun, rumusnya rumit dan proses penghitungannya menghabiskan waktu.
Akibatnya, garis batas antara udara hangat dan dingin sudah hilang sebelum pemrakira menyelesaikan perhitungan itu. Lagi pula, Richardson menggunakan pengukuran cuaca yang diambil pada interval enam jam.
"Prakiraan akan sedikit berhasil hanya jika pengukuran diambil pada interval maksimal tiga puluh enam menit," kata meteorolog Prancis,Rene Chaboud.
Untung, dengan perangkat komputer penghitungan dapat diselesaikan jauh lebih cepat. Para meteorolog pun tetap bisa menggunakan perhitungan Richardson untuk mengembangkan model numerik kompleks serangkaian ekuasi matematis yang meliputi semua hukum fisika yang mengendalikan cuaca.
Untuk mengunakan ekuasi ini, mereka memilah-milah permukaan Bumi dengan pola garis-garis persegi. Sekarang, model global yang dipakai oleh Kantor Meteorologi Inggris memiliki ruang pola garis-garis persegi 80 km.
Atmosfer di atas setiap pola persegi disebut kotak. Pengamatan angin, tekanan udara, temperatur, dan kelembapan atmosfer dicatat pada 20 tingkat ketinggian.
Selanjutnya komputer menganalisis data yang diterima dari stasiun observasi di seluruh dunia - lebih dari 3.500 stasiun - kemudian menghasilkan prakiraan cuaca dunia untuk 15 menit ke depan.
Sekali hal ini dilakukan, prakiraan untuk 15 menit berikutnya bisa dihasilkan secara cepat. Dengan mengulangi proses itu berkali-kali, sebuah komputer dapat membuat prakiraan global enam hari hanya dalam waktu 15 menit.
Untuk perincian dan keakuratan pemrakiraan daerah setempat, Kantor Meteorologi Inggris menggunakan Model Area Terbatas, yang meliputi sektor Atlantik Utara dan Eropa.
Dengan menggunakan pola garis persegi pada interval 50 km. Ada juga model yang meliputi hanya Kepulauan Britania dan laut-laut di sekitarnya. Model ini memiliki 262.384 ruang pola garis persegi dan luas masing-masing 15 km dan memiliki 31 tingkat vertikal!
Tetapi, memprediksi cuaca tak selalu didasarkan atas ilmu. The World Book Encyclopedia menyebutkan, "Rumus-rumus yang digunakan komputer hanyalah penjabaran kira-kira dari keadaan atmosfer."
Bahkan prakiraan yang akurat untuk sebuah daerah luas mungkin tidak mempertimbangkan pengaruh medan setempat terhadap cuaca. Jadi, dalam kadar tertentu, seni juga diperlukan.
Justru di sinilah peran pemrakira cuaca. la menggunakan pengalaman dan kemampuan menilai untuk menentukan nilai apa yang dapat ditempatkan pada data yang diterima. Hal ini memungkinkan untuk membuat prakiraan lebih akurat.
Seberapa dapat diandalkan?
Kantor Meteorologi Inggris menyatakan bahwa prakiraan 24 jam memiliki keakuratan 86%. Perkiraan lima hari dari Pusat Prakiraan Cuaca Berjangkauan Menengah Eropa memperoleh keakuratan 80% - lebih baik daripada prakiraan dua hari pada awal 1970-an.
Mengesankan, tetapi masih jauh dari sempurna.
Mengapa prakiraan tidak dapat diandalkan? Karena sistem cuaca sangat rumit. Tak mungkin mengambil semua pengukuran untuk membuat prediksi yang antisalah.
Kawasanjiias dari lautan tidak memiliki pelampung cuaca untuk mengirimkan data via satelit ke stasiun darat. Ruang-ruang model cuaca berpola garis persegi jarang sesuai dengan lokasi observasi cuaca. Lagi pula, para ilmuwan masih tidak memahami semua kekuatan alam yang mempengaruhi cuaca.
Namun, perbaikan terus dilakukan. Semisal memprakirakan cuaca sangat bergantung pada pengamatan terhadap atmosfer. Tapi, karena 71% permukaan Bumi meliputi lautan, para peneliti memfokuskan diri pada penyimpanan dan pentransferan energi dari laut ke udara.
Melalui sistem pelampung, Sistem Pengamatan Laut Global menyediakan informasi tentang kenaikan temperatur air di suatu wilayah, betapapun kecilnya kenaikan itu, yang memiliki konsekuensi serius pada cuaca di tempat yang jauh.
Dewasa ini pun manusia masih mengetahui relatif sedikit tentang pembentukan cuaca. Meskipun demikian, prakiraan cuaca modern sudah cukup akurat dan dianggap serius.
Dengan kata lain, kalau sang-pemrakira bilang, "Akan turun hujan!", kemungkinan besar Anda harus membawa payung!
(Ditulis oleh Yulius Dhajo, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2003)
(Baca juga:Setelah Berjam-jam Bedah Tengkorak, Dokter Ini Baru Sadar Telah Operasi Pasien yang Salah)