Penulis
Intisari-Online.com – Pada 2 November 2016, Katie Wood (37) sedang berjalan-jalan dengan putranya yang masih berusia lima tahun di sekitar area rumahnya di Massachusetts.
Lalu tiba-tiba, putranya terjatuh.
Karena takut putranya terluka, Katie membawa pulang dan ingin mengobatinya.
Ketika sampai di rumah, untungnya putranya baik-baik saja.
Malam berikutnya, ketika sedang bersama suaminya, suami Katie menemukan kutu menempel di punggungnya.
Dia mengangkat kutu dengan hati-hati dan lalu memberikan salep antibiotik pada daerah kutu ditemukan.
Berjaga-jaga agar kutu tersebut tidak menyebabakan masalah kesehatan. Seperti flu atau demam.
Namun beberapa hari kemudian, tidak ada gejala yang dirasakan Katie. Jadi, mereka menganggap dia baik-baik saja.
Diserang oleh gejala
Dilansir dari health.com pada Senin (21/10/2019), tujuh minggu kemudian setelah tahun baru, Katie mulai merasakan perubahan dalam kesehatannya.
Misalnya, ketika sedang rapat, dia tiba-tiba sesak napas dan dadanya mengalami nyeri.
Katie datang ketemu dokter, dokter melakukan EKG dan rontgen. Namun kondisinya normal. Hasil tes darah juga baik-baik saja.
Dokter lantas memberinya obat. Namun Katie tidak puas.
Beberapa bulan berikutnya kondisi Katie semakin menunjukkan gejala tidak baik.
Oleh karenanya, dia bertemu dengan beberapa dokter spesialis.
Pertama, seorang rheumatologist (subspesialis ilmu penyakit dalam yang berkonsentrasi pada diagnosis dan terapi penyakit rematik) mengatakan kepadanya bahwa nyeri dada yang dialaminya adalah costochondritis atau radang tulang rawan tulang rusuk.
Kedua, seorang spesialis tulang belakang melakukan rontgen dan MRI tulang belakangnya.
Sebab salah satu gejala kondisi Katie adalah lehernya menjadi semakin kaku sehingga mobilitasnya sangat terbatas.
Ketiga, seorang ahli saraf menyimpulkan bahwa Katie menderita sindrom carpal tunnel, yang menjelaskan timbulnya rasa mati rasa dan kesemutan di tangannya.
Keempat,dia bertemu spesialis paru karena dia terus sesak napas. Hasilnya tes dia normal dan kemungkinan besar kondisinya seperti kata dokter pertama, yaitu costochondritis.
Tetapi manakah diagnosis yang benar?
Karena merasa belum menemukan diagnosis yang tepat, Katie bertemu dokter spesialis yang lain. Tapi dokter ini mengatakan Katie harus mencoba meditasi.
Putus asa? Tentu.
Namun di tengah keputusasaan tersebut, tiba-tiba rahang Katie bedenyut tanpa henti dan membuat lehernya kaku.
Dia lalu datang ke dokter keenam.
"Menurut pengalaman saya selama bertahun-tahun, kondisi Anda mirip dengan pasien lama saya. Pernahkah Anda mengalami tabrakan langsung atau digigit kutu?” tanya si dokter.
Mendengar kata ‘digigit kuku’, Katie menceritakan dia pernah mengalaminya. Tapi hasil tesnya negatif.
Baca Juga: Jadi Presiden 2 Periode, Ini Kisah Perjuangan Jokowi Cicil Rumah di Solo Bersama Iriana
Karena belum juga menemukan penyakitnya, Katie melakukan tes Lyme.
Tes Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah tes paling umum untuk mendeteksi bakteri Lyme disease.
Cara kerja tes ini adalah melihat adanya antibodi terhadap B. Burgdoferi, jenis bakteri penyakit Lyme.
Tapi sekali lagi, hasil tesnya negatif.
Mati rasa
Pada bulan Juni, enam bulan setelah dimulainya gejala, segalanya berubah dari buruk menjadi lebih buruk.
Seluruh sisi kanan wajah Katie mati rasa. Jika dia menyentuh kulitnya, rasanya aneh.
Dengan kondisi ini, Katie menuju rumah sakit lagi. Kali ini, dia bertemu kepala penyakit menular di rumah sakit Boston terkemuka.
Pada 13 Juli 2017, dokter tersebut melakukan banyak tes. Dari infeksi, autoimun, hingga peradangan.
Semuanya negatif kecuali satu, tes Lyme, hasilnya positif.
Ya, sejak awal Katie menderita penyakit Lyme. Namun tes Lyme yang pertama memang kadang kurang akurat. Pasien butuh tes kedua untuk mengkonfirmasinya.
Perawatan yang efektif untuk penyakit Lyme
Pada bulan November, Katie bertemu dengan dokter Jeanne Hubbuch, MD, ahli yang disebut mengerti penyakit Lyme dengan baik.Setelah setengah jam melakukan tes, dokter berkata Katie bisa sembuh.
Hubbuch menjelaskan bahwa proses perawatan membutuhkan waktu, seringkali bertahun-tahun, dan berfokus pada membunuh organisme yang menular sembari juga mendukung tubuh dalam perjalanan menuju penyembuhan.
Hubbuch juga mulai memberi Katie suntikan antibiotik harian dan juga antibiotik oral.
Kini, setelah 18 bulan melakukan perawatan, gejala Katie mulai menghilang.