Penulis
Intisari-Online.com - Seorang kepala keluarga bernamaTobias Akut tinggal bersama istri dan sembilan anaknya.
Mungkin hidup mereka tak akan disoroti jika mereka memiliki kehidupan yang layak seperti orang pada umumnya.
Namun, nyatanya, bersama istri dan kesembilan anaknya, Tobias Akutmendiami gubuk reyot di Desa Rana Kolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT.
Gubuk reyot yang mereka tinggali berdinding pelepah bambu dan beratap belahan bambu.
Beberapa bagian dinding dan atap rumah sudah berlubang, sehingga saat hujan pasti bocor.
Kadangkala, Tobias memanfaatkan karung atau terpal untuk menutupi lubang-lubang tersebut.
Meski demikian, Tobias dan istri, Yani Lusia Ndelos, bersama sembilan anaknya tetap memilih menetap di gubuk reyot itu.
Memang tidak ada pilihan lain. Mereka terpaksa bertahan meski sulit.
"Kami tidak punya tanah di sini, ini tanah keluarga dari istri saya. Kami mati hidup di sini. Mau keluar, ke mana? Sebenarnya berat tinggal di sini, tetapi kami berusah untuk bertahan," ungkap Tobias kepada Kompas.com di gubuk reyotnya, Kamis (10/10/2019).
Tobias mengisahkan, untuk menyambung hidup keluarga, ia bersama istri dan anak-anaknya mencari kayu di hutan.
Kayu-kayu itu dikumpulkan di depan rumah untuk dijual.
Satu ikat kayu dijual Rp 10.000. Bila rezeki datang, keluarga Tobias bisa mendapatkan penghasilan Rp 500.000 per bulan.
"Hasil jual kayu ini baru kami beli beras. Kalau tidak, kami makan ubi dan pisang saja," ucap Tobias.
Ia mengungkapkan, kayu adalah sumber penopang hidup bagi keluarganya. Jika tidak, anak-anaknya bisa mati kelaparan.
Bahkan, lebih ironisnya, ada enam anaknya harus putus sekolah karena ketiadaan biaya.
"Mereka berhenti sekolah dan bantu saya dan istri mencari kayu di hutan. Ya, beginilah cara kami agar bertahan hidup," ungkap Tobias.
Tobias menceritakan, selain menjual kayu, salah seorang anak mereka mencari jamur di hutan untuk dijual. Nama anak itu Paskalis Tehario.
Paskalis berusia delapa tahun dan saat ini masih terus disekolahkan oleh Tobias.
Bocah delapan tahun itu memilih mencari jamur di hutan agar bisa membantu orangtuanya. Aktivitas itu dilakukan Paskalis setelah pulang sekolah.
"Jamur itu mereka jual Rp 10.000-Rp15.000. Harganya beda-beda tergantung ukuran jamur. Jamur itu pun kadang dapat kadang tidak. Semuanya tergantung rezeki," ujar Tobias.
Ia menyebut, hasil jual kayu dan jamur tersebut langsung beli beras agar anak-anak bisa makan nasi.
"Saya dan istri biar makan pisang atau ubi. Anak-anak kami harus makan nasi. Seperti inilah cara kami bertahban hidup di sini. Kami hanya andalkan kayu dan jamur untuk bisa beli nasi," ungkap Tobias.
Dalam kondisi sulit itu, Tobias tetap berusaha agar anak-anaknya bisa tetap sekolah. Mimpinya cuma satu satu, nasib anak-anaknya tidak seperti saat dia.
Jarak rumah Tobias dari permukiman warga Kampung Mesi Desa Rana Kolong sekitar lebih 1,5 kilometer.
Sementara dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai lebih kurang 20 kilometer.
Jalan menuju desa itu memang sudah beraspal, tetapi hampir semua sudah rusak dan berlubang. Butuh kehati-hatian saat melintasi ruas jalan itu.
(Kontributor Maumere, Nansianus Taris)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Tobias dan 9 Anaknya, Tinggal di Gubuk Reyot, Jual Jamur untuk Beli Beras"