Penulis
Intisari-online.com - Sepanjang sejarah, masyarakat saling berperang satu sama lain.
Termasuk suku-suku di Kalimantan.
Pada masa lalu, suku-suku di Kalimantan ini memotong kepala korbannya dan mengabadikannya sebagai piala atau untuk tujuan ritual.
Melansir dari laman theculturetrip.com, berikut dasar dan motif di balik perburuan kepala terkenal dan menakutkan di Kalimantan.
Pengayauan di Kalimantan
Pemburu kepala di Kalimantan aktif hingga sekitar satu abad yang lalu.
Berbagai suku, termasuk Iban Sarawak, Saburut Murut dan Kadazan-Dusun membawa ketakutan bagi penjajah Inggris awal yang menginjakkan kaki di sana.
Inggris Victoria menjuluki Kalimantan sebagai 'Kalimantan Barbaric'.
Beberapa suku suka mengumpulkan kepala prajurit musuh untuk dibawa pulang sebagai piala atau sebagai bukti kemenangan mereka.
Yang lain harus membunuh dan membawa kepala musuhnya kembali ke desa untuk izin menikah.
Terlepas dari motifnya, praktik pengayauan di Kalimantan telah membangkitkan minat dan menanamkan rasa takut pada orang luar selama beberapa generasi.
Wisatawan yang berkunjung ke rumah adat suku di Kalimantan ini dapat melihat beberapa tengkorak yang masih menggantung di atap.
Bahkan sampai sekarang, komunitas pedesaan masih memelihara kepala yang ditangkap oleh leluhur mereka.
Iban
Iban adalah penduduk asli Sarawak dan kelompok etnis dominan di Borneo Malaysia .
Mereka merupakan 30 persen dari populasi Sarawak, meskipun beberapa juga dapat ditemukan di Brunei dan Indonesia .
Dikenal sebagai 'Dayak Laut' di era kolonial, orang - orang Iban terkenal sebagai pemburu kepala yang banyak ditakuti di Kalimantan.
Dengan keterampilan pelaut dan sifatnya yang galak, mereka dianggap sebagai suku Dayak yang terkuat dan tersukses.
Banyak suku dari negara-negara tetangga diyakini telah dihancurkan oleh orang-orang Ibran atau dipaksa untuk pindah akibat perang brutal dan berdarah.
Mengumpulkan kepala dan membawanya kembali ke desa adalah tanda kejantanan.
Suku Iban percaya bahwa memotong kepala memberi mereka roh yang pada gilirannya membuat sang kolektor lebih kuat.
Larangan yang diterapkan oleh Sir James Brooke dari Inggris pada 1800 menghambat praktik tersebut.
Tapi tradisi kuno dihidupkan kembali selama pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II.
Saat ini, sejumlah kecil pria Iban tua memiliki garis berlekuk di punggung tangan mereka.
Ini menunjukkan bahwa mereka telah membunuh dan memotong kepala seseorang sebelumnya.
Baca Juga: Ilmuwan Mengungkapkan Inilah yang Terjadi pada Organ Intim Anda Jika Mencukur Rambut Kemaluan
Murut
Di masa lalu, suku Murut di Sabah Borneo ditakuti karena tradisi kuno praktik pengayauan.
Setelah masuk Islam atau Kristen, sebuah undang-undang anti-pengayauan oleh kolonial Inggris telah dilaksanakan, dan sejak itu telah dilarang dan dihilangkan.
Suku Murut adalah kelompok etnis terakhir di Sabah yang meninggalkan pengayauan.
Seperti halnya dengan Iban di Sarawak, mengumpulkan kepala musuh memainkan peran yang sangat penting dalam kepercayaan spiritual Murut, selain menggunakannya untuk melindungi desa mereka dari musuh potensial.
Misalnya, seorang pria hanya bisa menikah setelah dia menyerahkan setidaknya satu kepala kepada keluarga gadis yang diinginkan.
Mereka yang tidak mendapatkan kepala akan dikucilkan.
Baca Juga: Seperti Penyihir, Bocah Ini Bisa Gunakan Kartu Bridge Bak Senjata Tajam, Rupanya Ini Rahasianya
Kadazan
Perburuan kepala Kadazan di Kalimantan diikuti pendekatan yang lebih spiritual.
Kepala dikumpulkan dari musuh yang menyerang dan ditawarkan sebagai bukti kemenangan.
Korban Kadazan hampir selalu pejuang.
Anggota suku ini adalah rohaniawan dan percaya tubuh memiliki beberapa roh yang berangkat ke Gunung Kinabalu segera setelah kematian.
Seorang prajurit muda Kadazan perlu memenggal kepala korbannya dalam keadaan hidup untuk melestarikan semangatnya.
Masyarakat mengadakan upacara khusus untuk menenangkan jiwa kepala.
Mereka percaya jika mereka menjaga semangat, itu akan melindungi desa mereka dari bencana.
Beberapa Kadazan masih melestarikan kepala yang dikumpulkan oleh leluhur mereka. (TribunTravel/Ambar Purwaningrum)
Artikel ini pernah tayang di Tribun Travel dengan judul Menelusuri Sejarah Pemburu Kepaladi Tanah Kalimantan