Inilah para Pahlawan Tanpa Makam di Indonesia, dari Pattimura hingga Tan Malaka

Tatik Ariyani

Penulis

Saat kebanyakan pahlawan Indonesia bersemayam di Taman Makam Pahlawan, beberapa pahlawan justru tak jelas dimana makamnya.

Intisari-Online.com – Daribanyaknya Pahlawan Nasional Indonesia yang diangkat sejak 1959, baik yang berjuang sebelum maupun sesudah kemerdekaan, beberapa meninggal dan dimakamkan ketika diasingkan Belanda (Tjut Nyak Dien di Sumedang atau Tuanku Imam Bonjol di Manado).

Namun, ternyata ada juga yang makamnya belum ditemukan.

Sedikitnya ada dua orang pahlawan yang dimakamkan di mancanegara, yakni Tuanku Tambusai (1784 - 1882) di Negeri Sembilan (Malaysia) dan Syekh Jusuf Tajul Khalwati (1626 - 1699) di Cape Town (Afrika Selatan).

Uniknya (atau repotnya?), penduduk setempat di Goa, Sulawesi Selatan, Banten, dan Madura percaya bahwa makam Syekh Jusuf juga berada di daerah mereka.

Baca Juga: Inilah Alasan Setiap Ibu yang Melahirkan Secara Sesar Juga Pantas Diberi Gelar Pahlawan yang Hebat

Bangkai pesawat di Puncak

Terdapat pula beberapa orang pahlawan nasional yang tidak diketahui makamnya. Beberapa di antaranya tewas dalam pertempuran di laut atau di udara seperti Martha Christina Tiahahu yang jenasahnya berada di Laut Arafuru (antara P. Buru dan P. Tiga).

Komodor Josaphat Sudarso gugur sewaktu bertempur dengan Belanda dalam rangka Pembebasan Irian Barat di Laut Aru. Abdurrachman Saleh dan Adisucipto ditembak ketika akan mendarat di Yogyakarta semasa revolusi kemerdekaan.

Sedangkan Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi mengalami kecelakaan pesawat di Tanjung Hantu, Malaysia. Jenazahnya baru dikembalikan ke Indonesia tahun 1975 dan dimakamkan di TMP Kalibata.

Tidak dijelaskan apakah saat itu dilakukan pengecekan jenasah secara forensik atau hanya berdasarkan kesaksian warga lokal. Nama keempat perwira penerbang itu diabadikan sebagai nama bandar udara di beberapa kota di Indonesia.

Baca Juga: Perjuangan Mendur Bersaudara Abadikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bohong Pada Jepang Hingga Manjat Pohon

Mantan Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata yang meninggal tahun 1966 dalam kecelakaan helikopter di Puncak, Jawa Barat, lokasinya diabadikan sampai saat ini dengan adanya bangkai pesawat udara tersebut.

Martha Christina Tiahahu adalah pahlawan nasional termuda (1800 - 1818). la bersama ayahnya menghadiri sumpah rakyat Maluku menentang Belanda tahun 1817. Sejak itu ia berjuang bersama ayahnya menyemangati rakyat melawan penjajah.

Mereka berhasil merebut benteng Beverwijk di Nusalaut, walaupun pusat pertahanan itu akhirnya dapat direbut Belanda kembaii.

Martha dan ayahnya ditangkap. Ayahnya dijatuhi hukuman mati di Nusalaut sedangkan Martha bersama 38 orang lainnya dibawa dengan kapal Belanda Eversten dari Ambon ke Jawa. Selama di atas kapal, Martha tetap tutup mulut dan mogok makan sampai meninggal. Jenasahnya kemudian dibuang ke laut.

Baca Juga: Diminta Bacakan Teks Proklamasi oleh Soekarno, Tan Malaka Malah Menolak dengan Jawaban yang Sangat 'Negarawan'

Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy (1783 - 1817) dijatuhi hukuman mati oleh Belanda namun tidak diketahui keberadaan makamnya. Demikian pula I Gusti Ketut Jelantik yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda tahun 1849.

Semasa revolusi kemerdekaan, terdapat pula pahlawan yang tidak memiliki makam yakni Andi Abdullah Bau Massepe yang tewas tahun 1947 dan Dr. Muwardi yang meninggal saat meletusnya peristiwa Madiun tahun 1948.

Simbolis berisi pasir pantai

Para pahlawan yang sudah gugur selama bertahun-tahun di dasar lautan tentu mustahil ditemukan jenazahnya. Namun ada upaya tertentu agar makamnya tetap ada meskipun secara simbolis saja.

Hal ini menimpa Oto Iskandar di Nata, tokoh Sunda yang diculik pada akhir tahun 1945. Oto adalah tokoh pertama yang hilang pasca kemerdekaan, saat itu ia menjabat Menteri Negara. Kasus ini baru disidangkan di pengadilan 14 tahun kemudian (1959).

Baca Juga: Seorang Cucu Bunuh Seorang Kakek yang Sedang Berhubungan Suami Istri dengan Neneknya, Usia Kakek Nenek Mengejutkan

Pelakunya beberapa orang, sudah meninggal, yang masih hidup tinggal Mujitaba yang dijatuhi hukuman 15 tahun. Pembunuhan itu diakui dilakukan di Pantai Mauk, Tangerang dan jenazahnya dibuang ke laut.

Namun di dalam sidang pengadilan tidak terungkap siapa yang menyuruh Mujitaba. Prijana Abdurrasyid (kini Prof. Dr) yang menjadi jaksa dalam persidangan itu meminta tambahan waktu sidang untuk mengungkap dalang penculikan itu, tetapi usulannya tidak dikabulkan.

Jadi lagi- lagi pelaku lapangan yang tertangkap atau dihukum tetapi aktor intelektualnya tidak tersentuh.

Pemerintah Jawa Barat membangun sebuah taman makam pahlawan di Taman Pasir, Lembang, untuk menghormati jasa Oto Iskandar di Nata. Pada batu nisan tertulis Otoiskandardinata, lahir 31-3-1887, wafat 19-12-1945.

Tanggal itu sebetulnya merupakan perkiraan, karena waktu meninggalnya tidak diketahui dengan pasti. Lagi pula dalam taman pahlawan yang "simbolis" itu tidak ada jenasah Oto Iskandar di Nata, kecuali sejumput pasir yang dibungkus kain kafan yang diambil dari pantai Mauk, Tangerang.

Baca Juga: Meski Tidak Berbahaya dan Bermanfaat untuk Kesehatan, Tetap Batasi Konsumsi Buah Rambutan pada Ibu Hamil

Bila makam Oto Iskandar di Nata hanya bersifat simbolis, maka penelitian forensik sempat dilakukan terhadap jenasah yang diduga Supriyadi, tokoh PETA yang memberontak kepada Jepang di Blitar.

Tahun 1975 dengan dipimpin langsung Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono dilakukan penggalian di Pertambangan Bayah, Banten untuk menemukan jenasah Supriyadi.

Pada tempat yang ditunjukkan saksi, tidak ditemukan apa-apa. Kemudian dilanjutkan ke situs sekitar itu dan diperoleh kerangka yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diperiksa tim forensik Fakultas Kedokteran UGM.

Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tetapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dengan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Walaupun hasilnya nihil, pemerintah tetap menetapkan Supriyadi sebagai pahlawan nasional pada 1975.

Baca Juga: Bukan Cinta Indonesia, Alasan Sebenarnya Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Penyusunan Naskah Proklamasi Ternyata 'Manusiawi' Belaka

Sejarawan Belanda, Harry Poeze berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur menyimpulkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selopanggung, kaki Gunung Wilis, Kediri.

Oleh sebab itu dilakukan penggalian di sana tanggal 12 November 2009. Semula diperkirakan hasilnya sudah bisa diperoleh dalam dua-tiga minggu. Namun terjadi keterlambatan karena kesulitan mendapatkan hasil di Jakarta sehingga sampelnya terpaksa diperiksa di Australia. Namun ini temyata belum membuahkan kesimpulan.

Tanggal 8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan tes DNA kerangka jenasah yang diduga Tan Malaka, di Jakarta, setelah tertunda sekian lama. Tim Identifikasi Tan Malaka terdiri atas dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik).

Pada kedalaman 2 m mereka menemukan sebuah kerangka, tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang. Di sekitar leher, tungkai maupun lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya.

Baca Juga: Cerita Unik di Balik Tiga Foto Suasana Proklamasi Kemerdekaan yang Kerap Muncul dalam Buku Sejarah

Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya saja, rapuh, dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.

Sebelumnya, dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak merokok, mempunyai gigi geraham yang terbuat dari emas tetapi tidak jelas geraham yang mana.

Tidak lama sebelum meninggal ia pernah ditembak tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri), sehingga Tan Malaka agak pincang. Ia juga mengidap penyakit paru menahun, yang ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.

Pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163 - 165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas.

Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40 - 60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.

Baca Juga: Perjuangan Mendur Bersaudara Abadikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bohong Pada Jepang Hingga Manjat Pohon

Pemeriksaan DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats (Y-STR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang pria kepada semua anak laki-lakinya. Pada kasus ini, Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya.

Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak laki-lakinya, yaitu Zulfikar yang sekarang masih hidup. Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, maka profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar.

Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut, sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.

Baca Juga: Cerita Unik di Balik Tiga Foto Suasana Proklamasi Kemerdekaan yang Kerap Muncul dalam Buku Sejarah

Pengulangan pemeriksaan Y-STR terhadap sampel-sampel tersebut pada beberapa lab DNA lainnya, baik di dalam dan maupun di luar negeri, juga gagal mendapatkan DNA dan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut.

Sampai saat ini, tim investigasi masih berusaha untuk mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA lain, yaitu di Korea Selatan dan RRC.

Penyebab terjadinya keadaan "kerangka tanpa DNA" seperti yang ditemukan pada kasus ini dikenal sebagai kasusbog body,yang dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka, yang terkubur di daerah aliran sungai.

(Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, di Jakarta)

Artikel Terkait