Penulis
Intisari-Online.com - Raffi Ahmad seperti memberi sekeping koin kepada tanaman ini. Di satu sisi membuatnya populer, di sisi yang lain membuatnya binasa.
Mendadak sontak khat atau katha (Catha edulis Forsk) ini menjadi perbincangan ketika Raffi Ahmad ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Katinona, zat adiktif yang kabarnya dikonsumsi Raffi Ahmad berasal dari tanaman ini. Sejak itu, tanaman ini berposisi unik. Tidak seperti ganja yang terang-terangan dilarang melalui undang-undang, katha dibasmi habis melalui himbauan.
“Ya daripada bermasalah, mending dimatikan saja,” kata Rustandi, petugas herbarium Kebun Raya Cibodas. Sebelumnya, masyarakat seputar kawasan Cisarua – dan juga beberapa petugas Kebun Raya Cibodas – memelihara tanaman ini sebagai tanaman hias atau tanaman produksi.
Bunganya yang putih bergerombol dan kecil-kecil memang sangat indah. “Umumnya ditanam di dalam pot. Biar mudah dipangkas. Apalagi tanaman ini termasuk tanaman perdu,” Rustandi menjelaskan. Sedangkan sebagai tanaman produksi, hal itu tak terlepas dari menjamurnya komunitas orang Timur Tengah di kawasan Puncak.
Ya, jika dirunut ke belakang, orang-orang dari wilayah Arablah yang membuat sosok tanaman ini muncul. Sekitar tahun 1980-an, beberapa orang Arab menitip untuk dibawakan daun katha ini dari pemandu Kebun Raya Cibodas yang menemani mereka ke air terjun di kawasan Kebun Raya.
“Pohonnya sampai mati karena daunnya sering dipetik,” kenang Rustandi.
Semenjak itu permintaan naik dan hukum ekonomi berlaku. Siapa yang tak tergiur dengan uang Rp300.000 untuk sekitar 15 lembar daun khat? Terlebih tanaman ini mudah dikembangbiakkan.
Mudah tumbuh
Mengacu ke katalog Kebun Raya Cibodas tertua yang bertahun 1965, Catha edulis Forsk. sudah masuk daftar di buku itu dengan keterangan asalnya Afrika Tropis. Berarti tanaman ini sudah ada di Kebun Raya Cibodas sebelum tahun 1965. Soalnya, butuh waktu paling cepat tiga bulan untuk memasukkan sebuah tanaman masuk dalam daftar katalog. “Dengan catatan tidak ada katalog yang lebih tua dari ini lo.”
Saat ini keberadaan tanaman khat pertama itu tidak terendus. Tanaman khat yang sekarang ada di Kebun Raya Cibodas merupakan pengembangbiakkan dari tanaman sebelumnya. Hanya tinggal satu pohon setinggi sekitar 7 m. Bagian atasnya meranggas. “Harusnya ada tiga tanaman untuk koleksi. Supaya kalau satu mati masih ada cadangannya. Ini rencananya mau ditanam dua lagi. Mungkin sedang disiapkan di ruang kaca,” kata Rustandi sambil menunjukkan petak tanaman khat yang diberi pagar.
Meski berasal dari Afrika Tropis, tanaman khat cukup gampang beradaptasi dengan ketinggian. Di Indonesia, selain di semua Kebun Raya (Bogor, Purwodadi, Cibodas, Bali), tanaman khat bisa dijumpai di Cisarua dan Baturaden.
Tak hanya mudah beradaptasi, tanaman khat gampang dikembangbiakkan. Ada dua cara pengembangbiakan yang umum: menggunakan biji dan stek atau cangkok. Bijinya kecil-kecil dan banyak, sebab dari setiap bunga bisa muncul tiga biji yang tersimpan dalam loku (mirip kacang polong). Biji ini lalu pecah dan menyebar di seputaran induknya. “Mudah tumbuh. Seperti pohon ganja,” kata Rustandi.
Tanaman khat termasuk hemaprodit. Bunga jantan dan betina berada di dalam satu pohon. Meski bertetangga, untuk kawin mereka butuh mak comblang juga, yakni serangga. Bunganya sendiri bisa bertahan lama sebelum menjadi bakal biji. Bunga ini tumbuh dari ketiak daun, dikenal dengan bunga axillaris. (Jika muncul di ujung tanaman namanya bunga terminalis, seperti pada bunga kembang merak Caesalpinia pulcherimma Swartz.)
Pengembangbiakan dengan setek lebih mudah lagi. Tak perlu menunggu bunga jantan dan betina memadu kasih. Tinggal patahkan batang yang agak muda, lalu tanam di pot untuk sementara waktu. Agar cepat tumbuh akar, Rustandi memberi saran. “Tanaman ini ‘kan termasuk berdaun tunggal. Nah di tempat bekas daun itu akar mudah tumbuh. Oleh karena itu potong pada bagian ketiak daun dan masukkan ke tanah yang sudah kita persiapkan.”
Dengan setek tanaman bisa lebih cepat tumbuh. Soalnya, jika menggunakan biji baru muncul kecambah sekitar tiga bulan kemudian. Untuk sampai berbunga dan berbuah butuh tahunan. “Bisa sampai lima tahun untuk berbunganya.” Namun tanaman khat bisa berumur panjang. Koleksi Kebun Raya Cibodas sendiri setidaknya sudah berusia 50 tahun lebih.
Selain manusia yang memetik daunnya, musuh khat adalah ulat yang memangsa daunnya dan sejenis lumut yang menggerogoti batangnya.
Legal tapi diatur
Khat mengandung alkaloid monoamin yang disebut katinona, narkotika golongan I. Zat stimulant yang mirip amfetamin ini dipercaya bisa menimbulkan keceriaan, hilangnya nafsu makan, dan euforia. Pada tahun 1980, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan katinona sebagai obat-obatan yang menimbulkan ketergantungan ringan atau sedang, dengan posisi masih di bawah tembakau dan alkohol. Meskipun demikian, WHO tidak menyatakan khat sebagai adiktif.
Statusnya yang masih mengambang itu membuat khat masih legal ditanam di beberapa negara. “Belum ada konvensi sedunia yang melarang untuk menanam khat. Beda dengan ganja,” ujar Rustandi.
Di beberapa negara Arab tanaman khat legal dan perdagangan daunnya bebas. Di Yaman misalnya, hampir 80% masyarakat mengonsumsi khat ini. Rustandi bertutur bahwa di sana daun khat ibarat sirih di Jawa atau pinang di wilayah Papua. Yang dimakan biasanya daun yang muda.
Rasanya perpaduan antara manis dan sepat. Mirip dengan lalapan mareme di tatar Sunda. Rustandi menyilahkan kami untuk mencoba daun muda itu. “Jika sekali-kali saja efeknya gak ada kok. Efek sampingan akan muncul pada penggunaan yang terus menerus. Seperti di Yaman. Sudah ketagihan kalau di sana,” Rustandi meyakinkan kami yang terlihat ragu-ragu.
Bagi orang Yaman, daun khat biasanya digunakan untuk stimulan. Mereka percaya dengan mengunyah daun khat otak akan encer. Tak heran jika saat musim ujian tiba, beberapa mahasiswa di Yaman Utara mengonsumsi daun khat.
Kegunaan lain, seperti yang diceritakan seorang blogger di Kompasiana adalah untuk begadang. Blogger itu melihat sendiri si sopir mengeluarkan ramuan khat kering saat membawa rombongan pergi dalam jarak yang jauh.
Meski legal, Pemerintah Yaman mengendalikan peredaran tanaman ini. Sejumlah aturan menjadi benteng agar tanaman ini tidak disalahgunakan. Salah satu benteng itu, seperti dikutip wikipedia adalah penetapan tarif pajak penjualan senilai 20% dari harga eceran mulai tahun 2005.
Sementara di Indonesia tanaman khat dari hanya dikenal di kalangan terbatas lalu tiba-tiba naik daun dan secepat itu pula tak hanya daunnya yang luruh dibabat. Namun juga batang dan akar-akarnya.