Kembali Ke Format Asli, Lomba Sepeda Jarak Jauh Ini Malah Makin Ramai

T. Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Event bersepeda di Indonesia tak segegap gempita seperti dunia lari. Audax, bersepeda jarak jauh minim dukungan salah satunya.

Intisari-Online.com -Tidak seperti di dunia lari, tak banyak lomba di dunia persepedaan. Di sepedaan tidak banyak lomba yang bisa menyatukan atlet dengan peserta awam. Jadinya ada lomba sepeda khusus atlet seperti Tour de Ijen, ada juga lomba untuk awam seperti Tour de Pangandaran.

Untuk sepeda jarak jauh, ada Grand Fondo New York (GFNY) Indonesia yang setiap tahunnya mengadakan beberapa seri di beberapa lokasi seperti Bali. Juga Audax yang dikelola oleh Audax Randonneurs Indonesia.

Dulu Audax diselenggarakan dengan sedikit modifikasi dari aslinya. Audax aslinya merupakan olahraga bersepeda jarak jauh dalam batas waktu yang telah ditentukan. Olahraga ini bersifat non-kompetitif: kesuksesan peserta dilihat dari hasil akhirnya. Olahraga ketahanan ini bermula di Italia pada akhir abad ke-19, kemudian aturan-aturan yang menyertainya diresmikan di Prancis pada awal abad kedua puluh. Di Indonesia jarak yang diperlombakan adalah 200 km, 300 km, 400 km, dan 600 km.

Baca Juga : Tidur di Emperan Toko, Bocah Kecil Ini Cari Bapaknya Berbekal Sepeda Kecil

Pada 2014 Intisari pernah ikut Audax 300 Km di Yogyakarta. Selain dapat jersey, di setiap check point pun disediakan konsumsi penambah energi. Mulai dari buah, makanan kecil, air mineral, sampai makan siang di Sate Klatak Pak Pong, dan makan malam di sebuah warung nasi padang di daerah Magelang.

Ketika empat tahun kemudian ikut lagi, kali ini di Solo dengan jarak 600 Km, ternyata "kemewahan" empat tahun silam itu sirna. Tak ada lagi suplai logistik untuk peserta di setiap titik pengecekan.

Menurut Bob A. Bharuna, yang mengelola Audax Randonneurs Indonesia saat ini, konsep Audax di Indonesia memang coba dikembalikan ke asalnya. Yakni bersepeda jarak jauh minim dukungan dengan batasan waktu tertentu. Hanya bermodalkan cue sheet (petunjuk arah).

Baca Juga : Sering Bersepeda Jarak Jauh, Pria Berusia Senja Ini Punya Sistem Kekebalan Tubuh Bak Remaja

“Audax kan lebih dekat ke nekat,” katanya berseloroh. Tentu nekat dalam perhitungan yang matang. Sebab ketika membikin rute audax, Bob sendiri setidaknya merasakan dulu. Dengan begitu ia tahu betul mana yang perlu diwaspadai.

Meski tidak “semewah” sebelumnya, namun Bob tetap mengasuransikan peserta. Bahkan menyiapkan ambulans karena sistem medis di Indonesia yang belum sempurna. “Kalau di luar kan tinggal telepon 911 datang ambulans. Kalau di sini belum sebagus itu. Jadi tetap perlu menyiapkan ambulans sendiri,” kata Bob yang pernah merasakan audax di beberapa kota di luar negeri (termasuk Audax 1.200 km Paris – Brest – Paris di Prancis). Tentu saja ini menambah biaya yang pada akhirnya dibebankan ke peserta.

Karena bersifat non-profit, maka Bob mengantisipasi dengan menyelenggarakan Audax di kota-kota yang sudah dia pahami seluk beluknya. Seperti di Jawa Tengah dan Yogyakarta, ia merasa terbantu dengan tenaga sukarelawan yang tak banyak menuntut. Kasarnya, dibayar berapa saja mau. “Banyak dari mereka anak ‘gunung’,” ujar Bob.

Meski dikembalikan ke “khitah”-nya, nyatanya peminat Audax tak berkurang. Justru bertambah dari sebelum-sebelumnya. “Habis ikut Audax biasanya ada dua pilihan: kapok atau ketagihan. Dulu saat 2014 saya ikut, yang jarak jauh paling empat orang. Sekarang bisa 40 orang. Kayak di Solo Audax600K tahun kemarin, yang ikut 100 K sekitar 30 orang. Yang 600 km hampir dua kali lipatnya.”

Padahal, biaya untuk ikut Audax tidaklah murah. Berkisar di angka Rp500 ribu. Toh, banyak orang yang rela “berkeringat dan menderita” dengan membayar.

Artikel Terkait