Penulis
Intisari-Online.com - Di antara pepohonan jati yang meranggas, pohon pisang, mangga, jambu mete, dan bunga-bunga bougenville yang bermekaran, tanah di Desa Bengkala dianugerahi oleh tumbuhnya kunyit.
Tanaman rempah-rempah berwarna jingga ini menjadi salah satu tanaman semusim yang tumbuh subur di Bengkala, selain pare, rumput gajah, dan ketela pohon.
Desa Bengkala sendiri adalah desa istimewa yang terletak di Kubutambahan, Buleleng, Bali.
Desa ini dikenal karena keberadaan masyarakat tuli-bisu atau kolok yang hidup rukun dan berdampingan dengan masyarakat normal.
Baca Juga : Dulu Dicampakkan, Kini Buah Ceplukan Jadi Buruan, Harganya Selangit!
Saking rukunnya, masyarakat normal yang hidup di Bengkala sekitar 80%-nya bisa berbahasa isyarat demi agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat yang tuli-bisu.
Kembali ke kunyit, memasuki musim penghujan, masyarakat Desa Bengkala sibuk mengolah tanah dan menanam banyak tanaman musiman, termasuk kunyit.
Selama ini, masyarakat biasa menanam kunyit untuk kemudian dijual dalam bentuk buah kepada pembeli.
Salah satu yang melakukan ini adalah Kadek Sri Sami (50 tahun).
Ia menjual kunyitnya kepada pemborong yang biasanya datang ke rumahnya dengan harga Rp200.000 per sekali panen.
Sejak menikah pada 1989, perempuan normal yang biasa disapa Mbok Sami ini, tinggal bersama I Wayan Ngarda, sang suami yang kolok, dan I Wayan Sandi, mertuanya yang juga kolok, beserta anak-anak dan cucu-cucu Mbok Sami yang terlahir normal.
Mereka semua tinggal di lahan seluas hingga 5 hektar milik keluarga Sandi di Dusun Kelodan.
“Tanah ini jadi milik keluarga sudah bergenerasi-generasi. adat, bergenerasi-generasi. Orangtua saya normal.
Anak-anaknya ada empat; yang tiga normal tapi sudah meninggal, dan satu lagi saya,” kata Sandi dibantu terjemahan bahasa isyarat oleh Ketut Sentanu, Kepala Dusun Kajanan.
“Sejak saya kawin lalu pindah sini, kunyit sudah ada. Suami dan mertua saya sudah menanam kunyit.
Dulu, kunyit ditanam di musim hujan, panen, terus langsung dijual keluar di pasar, atau ada juga yang langsung mencari ke sini,” tutur Mbok Sami.
Baca Juga : Merinding Saat Dengar Lagu Tertentu? Itu Tanda Otak Anda Spesial!
Pada 2015, PT Pertamina (Persero) bekerja sama dengan FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali masuk ke desa dan melakukan pemberdayaan tidak hanya untuk masyarakat kolok, tapi juga masyarakat normal Bengkala.
Lahan Pak Sandi, perwakilan dari masyarakat kolok, kemudian terpilih menjadi area Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala.
Dengan berubah fungsinya menjadi KEM, lahan Pak Sandi dan keluarga diberdayakan menjadi lebih optimal.
“Setelah Pertamina masuk, ada perubahan yang signifikan yang terjadi dalam diri terutama masyarakat kolok, yaitu kemandirian.
Sebelum itu, mereka belum mandiri dan belum percaya diri.
Setelah ada pembinaan dan pelatihan, mereka sekarang percaya diri kalau mereka mampu mandiri,” ucap I Made Arpana, Kepala Desa Dinas Bengkala.
Pemberdayaan Desa Bengkala, terutama di KEM, dilakukan setelah terlebih dulu melakukan riset tentang potensi di desa.
Salah satu program yang segera dilakukan adalah terkait kunyit.
Desa Bengkala kaya akan kunyit yang tumbuh bagus, walau tanpa dibudidayakan.
Jika sebelumnya masyarakat menjual langsung kunyit dengan hasil yang sekian rupiah, PT Pertamina (Persero) dan FlipMas berupaya mencari cara untuk menghasilkan pendapatan lebih dari kunyit.
Maka, dilakukanlah program pelatihan membuat Sari Jamu Kunyit Bengkala (Sakuntala).
“Waktu baru berjalan KEM ini, saya belajar membuat Sakuntala dari Ibu Eka dan Ibu Maria dari FlipMas Ngayah Bali.
Dulu, dapur ini belum ada. Jadi, pelatihannya masih di bangunan sederhana dari papan, masih bangunan darurat.
Pelatihan itu pun bareng sama pelatihan lain; buat kue-kue, jajanan, rengginang, sampai jamu,” cerita Mbok Sami.
Pada masa pelatihan, ada lima orang yang belajar cara membuat Sakuntala.
Namun, kini, tersisa empat orang, yaitu Mbok Sami sendiri, Ni Made Budewati (kolok), Luh Dewi, dan Komang Handayani.
Produksi Sakuntala dilakukan di dapur KEM Kolok Bengkala dalam waktu 1-2 kali dalam seminggu.
Selain kunyit yang ditanam sendiri, bahan-bahan lain yang diperlukan, di antaranya asam, gula tebu, gula merah, dan garam.
Kunyit itu sendiri kini ditanam di beberapa lahan terpisah di kawasan KEM.
Cara bertanam yang digunakan oleh masyarakat Bengkala adalah sistem tanah campuran.
Artinya, mereka menggabungkan lahan untuk menanam kunyit dengan pohon pisang.
“Kunyit ada di halaman depan dan bagian belakang KEM dekat kandang ternak. Lahannya masing-masing sekitar 5 x 5 m2.
Ditanamnya berbarengan dengan pohon pisang, supaya tanaman kunyit tidak kepanasan, bisa berteduh di bawah daun-daun pisang.
Kadang-kadang, daun pisang yang gugur juga bisa jadi pupuk buat tanah,” kata Mbok Sami.
Entah apakah sistem tanam itu benar, tetapi masyarakat lokal percaya itu.
Sementara, sistem bertani yang digunakan masih menggunakan sistem bertani tradisional.
Mereka menggali dengan cangkul, membuat pupuk dari kotoran hewan ternak atau kompos tanaman, dan memanen sendiri dengan tangan.
Tanaman kunyit bisa dipanen sekitar 8-18 bulan, untuk hasil kunyit yang lebih besar dibandingkan umur kunyit 7-8 bulan.
Untuk membuat sekitar 100 botol dalam satu kali produksi, dibutuhkan kunyit sekitar 3 kg. Mbok Sami biasanya kini hanya memanen kunyit sesuai dengan kebutuhan pembuatan Sakuntala.
Sebab, jika kunyit dipanen seluruhnya dalam waktu yang bersamaan dan tidak langsung dipakai, ia akan membusuk dan tersia-sia.
Cara pembuatan Sakuntala sebetulnya sederhana.
Baca Juga : Luna Maya Belum Hapus Foto Reino Barack di Instagram: 5 Faktor yang Buat Kita Sulit 'Move On' dari Mantan
Hanya dibutuhkan waktu beberapa jam untuk menumbuk dan menghaluskan kunyit, merebusnya dalam air bersama bahan-bahan lain selama hampir 1 jam, mematangkannya, mendinginkannya, lalu memasukkannya dalam kemasan botol. Semua dilakukan secara manual.
Setelah siap dalam botol dan sudah didinginkan, Sakuntala bisa didistribusikan ke warung-warung di sekitar desa atau sekadar dijual di mesin pendingin yang ada di KEM.
Minuman Sakuntala ini bisa bertahan hingga 10 hari.
Bagi Kalau dijual keluar, dapat 2 karung kunyit. Kalau ditimbang, beratnya bisa sampai 30 kg.
Ada orang yang suka beli borongan dengan harga Rp200.000.
Dalam sehari, para perempuan yang bekerja membuat jamu mendapatkan pendapatan sekitar Rp40.000.
Sementara, untuk pendapatan dari penjualan minuman Sakuntala itu sendiri, hasilnya jauh lebih baik ketimbang jika menjual kunyit langsung.
“Hasilnya bisa lebih dari 2 kali lipat lebih banyak kalau jualnya dalam bentuk Sakuntala,” ujar Mbok Sami senang.
Di waktu yang akan datang, produksi jamu kunyit Sakuntala ini dapat lebih rutin lagi dengan hasil yang lebih berlipat-lipat ganda.
Harapannya, peningkatan ekonomi melalui Sakuntala ini tidak hanya dirasakan oleh individu si pembuat jamu, tetapi juga anggota KEM Kolok Bengkala dan masyarakat Desa Bengkala secara keseluruhan. (Astri Apriyani)
Artikel ini pernah tayang di Nationalgeographic.grid.id oleh Astri Apriyani dengan judul asli "Sakuntala, Sari Jamu Kunyit Nan Segar dari Desa Bengkala Bali"
Baca Juga : Hanya Jualan Sego Sambel, Warung Mak Yeye Selalu Ramai Diantri Orang