Find Us On Social Media :

Suku Bajo, Penjelajah Air yang Secara Genetika Ditakdirkan Jadi Penyelam Terkuat

By Intisari Online, Selasa, 8 Januari 2019 | 09:30 WIB

Intisari-Online.com - Pernahkah Anda menghitung berapa lama Anda bisa menahan napas di dalam air? Mungkin 10, 20, hingga ratusan detik.

Saat Anda menahan napas dalam air, tubuh Anda secara otomatis memicu yang disebut dengan respons menyelam.

Respons tersebut membuat denyut jantung melambat, pembuluh darah menyempit, dan kontraksi limpa.

Reaksi-reaksi tersebut membantu tubuh untuk menghemat energi saat kita kekurangan oksigen.

Baca Juga : Pengakuan Kepala Suku Papua, Ketika Dahulu Kehadiran Aparat Membuat Takut Warganya Karena Alasan Ini

Kebanyakan orang hanya bisa menahan napas dalam hitungan detik saja. Tapi, ini tidak berlaku bagi Suku Bajo yang hidupnya berpindah di perairan sekitar Filipina, Malaysia, dan Indonesia.

Mereka bisa melakukan selam bebas atau tanpa bantuan alat selama 13 menit. Bahkan mereka bisa menyelam hingga kedalaman 70 meter.

Dengan kata lain, mereka bisa menahan napas di bawah air selama 13 menit.

Ini mungkin dipengaruhi kebiasaan mereka menyelam untuk menangkap ikan, gurita, hingga kepiting.

Baca Juga : Korowai, Suku di Pedalaman Papua yang Masih Doyan Makan Daging Manusia

Uniknya, penyelaman yang setiap hari mereka lakukan ini tanpa bantuan alat modern dan hanya berbekal tombak untuk mendapatkan buruannya.

Kebiasaan suku Bajo yang tak biasa ini mendapat perhatian dari para peneliti.

Salah satunya adalah Melissa Llardo, seorang kandidat doktor di Pusat GeoGenetika, University of Copenhagen.

Llardo penasaran apakah orang-orang suku Bajo telah beradaptasi secara genetis agar bisa menghabiskan waktu lebih lama di dalam air.

Untuk itu, Llardo menghabiskan beberapa bulan di Jaya Bakti, Indonesia mengamati suku ini. Dia dibantu oleh seorang penerjemah untuk penelitiannya ini.

Llardo juga membandingkan kebisaan suku Bajo dengan suku lain yang tidak punya kebiasaan menyelam, yaitu suku Saluan.

"Saya menghabiskan seluruh kunjungan pertama saya ke Jaya Bakti untuk memperkenalkan diri, proyek, dan ilmu pengetahuan yang mendasarinya," ujar Llardo dikutip dari AFP, Kamis (19/04/2018).

"Saya ingin memastikan bahwa mereka mengerti apa yang saya minta dari mereka sehingga mereka bisa membantu mengarahkan proyek ini sebagai cerminan ketertarikan mereka. Mereka sangat bersemangat dan ingin tahu tentang penelitian ini," imbuhnya.

Baca Juga : Ada 'Safari Manusia' di Kepulauan Andaman, Inikah yang Membuat Suku Sentinel Jadi 'Beringas'?

Demi memperlancar penelitiannya, Llardo kemudian belajar bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi langsung dengan suku Bajo.

Pada kunjungan kedua ini, Llardo membawa peralatan ilmiahnya.

"Pada kunjungan kedua, saya membawa mesin ultrasound portabel dan peralatan pengumpul ludah. Kami berkeliling ke rumah yang berbeda dan mengambil citra limpa mereka," ujarnya dikutip dari National Geographic, Kamis (19/04/2018).

Ukuran Limpa dan Gen

Pemeriksaan ini juga dia lakukan pada suku Saluan yang mendiami salah satu wilayah di Sulawesi Selatan. Dia kemudian membandingkan kedua sampel setelah kembali ke Kopenhagen.

Hasilnya, ukuran rata-rata limpa suku Bajau 50 persen lebih besar daripada milik suku Saluan.

"Jika ada sesuatu yang terjadi pada tingkat genetik, Anda harus memiliki limpa berukuran tertentu. Di sana kami melihat perbedaan yang sangat signifikan," ujarnya.

Baca Juga : Setelah Dibunuh Suku Sentinel, Jenazah John Chau Akhirnya Tidak Bisa Diambil, Mengapa?