Penulis
Intisari-online.com - Pada 2018 ini banyak sekali peristiwa-peristiwa besar yang menyita perhatian publik.
Salah satunya adalah gempa berkekuatan 7,7 SR yang mengguncang Donggala, Palu, Sulawesi Tengah pada 28 Oktober 2018.
Gempa berkekuatan 7,7 SR tersebut telah memicu tsunami dengan jarak sekitar 100 meter yang meratakan sebagian besar garis pantai utara Palu.
Selebihnya, gempa itu juga menghancurkan rumah-rumah dan bangunan warga sekitar, dan mengakibatkan kerugian jiwa dan benda.
Baca Juga : 10 Manfaat Jepan alias Labu Siam yang Jarang Diketahui. Salah Satunya Bisa Tingkatkan Fungsi Otak, Lo!
Menurut badan penanggulangan bencana Indonesia, 1.424 orang meninggal selebihnya 2.500 orang terluka, sekitar 66.238 rumah rusak dan 70.821 warga mengungsi.
Di pusat kota Palu, tenda di kota-kota mulai muncul meskipun bantuan datang lebih lambat tiba sedangkan pusat-pusat evakuasi juga masih sedang dibangun.
Sebuah penilaian dari Pusat Bantuan Kemanusiaan ASEAN, yang dikutip dari Reuters mengatakan 191.000 orang memiliki 'kebutuhan mendesak', termasuk 60.000 anak-anak dan orang tua.
Namun di sela-sela kondisi memilukan yang terjadi di Palu, ada sebuah cerita dari dua saudara laki-laki yang berasal dari Palu.
Baca Juga : Cara Mengobati Biduran Secara Alami Tanpa Obat Kimia tapi Tetap Manjur
Nanang dan Eko namanya, di tengah puing-puing rumahnya mereka tengah sibuk memaku papan kayu untuk membangun kembali rumahnya yang runtuh pasca bencana melanda.
"Saya lahir di sini dan lebih baik mati di sini," kata Eko (41), seorang pembuat furnitur, berdiri di dekat tiga mesin jahit yang rusak di bengkel terdekat, tulis Business Insider.
Mereka adalah sedikit dari banyak korban yang bertahan hidup dengan keterbatasan pasca tempat tinggalnya di Palu di goyang gempa dan tsunami.
"Di mana lagi kita bisa membangun? Siapa yang akan memberi kami uang untuk membeli tanah di tempat lain?" Kata Eko.
Baca Juga : Ikuti Upacara 'Keintiman' Rahasia, Wanita Ini Meninggal Setelah Lakukan Ritual Mengerikan
Selain itu, pusat evakuasi tidak higienis, rumah darurat tersebut hanya akan melindungi sepuluh orang.
Ketika pembangunan berlanjut, mereka kembali tinggal di reruntuhan dengan tertatih-tatih di bekas rumah mereka.
"Rumah kami bertahan dari gempa tetapi tsunami terlalu banyak. Ombak setengah setinggi itu," kata Nanang, menunjuk ke menara telekomunikasi setinggi 20 meter.
Penduduk berlari, sejauh dan secepat mungkin, mereka bisa mendengar deru lautan namun mereka tidak bisa menghindarinya.
Baca Juga : Jajan Kerang di Restoran, Pria Ini Malah Dapat Sebutir Mutiara, Harganya Bikin Kaya Mendadak
Sekitar 50 dari 1.000 warga di lingkungan tersebut tewas, kata orang-orang yang selamat.
Semantara hingga kini pemerintah masih terus memberikan bantuan, mengevakuasi jenazah dan membersihkan daerah tersebut.
Sementara Eko dengan kayakinannya ia tetap bertahan di tanah tempat tinggalnya dan membangun kembali puing-puing rumahnya.
"Kami akan mulai lagi di sini sendiri karena Tuhan tidak menyerang dua kali," kata Eko.
"Kami bisa membuat bangunan sekuat yang kami bisa, tetapi seberapa tinggi kita akan membangunnya? dan bagaimana kita bisa menahan kekuatan alam" Tutupnya.