Penulis
Seorang teman berbagi kabar: "Sekarang ia sudah bebas dari jabatan struktural. Lebih banyak waktu untuk enjoy "the sweetness of doing nothing". Kerja rutin, dalam kapasitas apa pun, sebenarnya membutuhkan ketahanan. Mental, fisik, materi, apalagi bila yang dihadapi bos galak, lalu-lintas macet, manajemen amburadul, pasar sepi, klien rewel, mertua bawel, anak bandel, dst. Kurangnya daya tahan ini sering kali membuat orang merasa hidupnya begitu beraat. Padahal yang namanya "berat" itu betapa relatifnya.
Barangkali Anda masih ingat tentang Bidan Eros Rosita di Desa Ciboleger, Banten. Satu-satunya bidan yang diterima oleh masyarakat Baduy. Untuk mencapai lokasi desa-desa itu saja butuh berjalan kaki antara satu sampai enam jam di jalan setapak, menembus hutan, menyeberangi sungai. Mengetuk dari pintu ke pintu untuk menawarkan imunisasi dan membawa bubur kacang yang dimasaknya sendiri ... tapi selalu ditolak mentah-mentah. Bidan Ros mengaku entah berapa puluh kali ia menangis pada malam hari sepulang kerja, tapi pagi hari kembali bersemangat. Baru setelah dua tahun bertugas di Posyandu, berkat serangan penyakit prambusia, sejenis penyakit kulit, ia berhasil memperoleh kepercayaan karena suntikan penisilinnya terbukti berhasil menyembuhkan. Sekadar menyebut kiprahnya sebagai "Kisah sukses ..." rasanya terlampau sederhana. Perjuangan Bidan Ris adalah perjuangan dari hari ke hari. Yang tak mengenal kata sepi atau jemu. Demi cinta pada profesi. "Bertugas di mana pun harus ikhlas," katanya.
Sama halnya ketika kita membaca tentang perempuan Myanmar bernama Aung San Suu Kyi (65). Perempuan mungil yang tampak rapuh itu melewatkan lima belas tahun lebih dari 21 tahun terakhir masa hidupnya sebagai tahanan rumah. Terpisah dari suami dan kedua anaknya yang tinggal di Inggris. Bagaimana ya pertentangan batinnya saat sang suami, Michael Aris, diserang kanker dan tidak diberi visa untuk menengoknya. Junta militer mempersilakan Suu Kyi untuk pergi menengok suaminya, dengan janji ia akan diperbolehkan kembali ke Myanmar. Karena tidak mempercayai janji itu, Suu Kyi memilih tidak menengok suaminya. Aris meninggal pada tahun 1999. Penerima Hadiah Nobel 1991 untuk Perdamaian yang kini sedang menikmati kebebasannya sejak November tahun lalu itu, rela sampai sedemikian demi cintanya pada rakyat Burma.
"Kisah cinta" yang hebat tak kurang ditemukan pada orang-orang biasa. Kita tengok berita di Kompas.com tanggal 16 Feb 2011 berjudul "Wow, nenek 61 tahun ini melahirkan 'cucu'". Berita dari Chicago ini mengisahkan kisah sukses Kristine Casey melahirkan bayi putrinya. Bagaimana cerita cucu bisa lahir lewat rahim neneknya?
Sara, putri Nenek Casey, sulit banget hamil. Sekalinya hamil kembar, keguguran pula. Entah gejolak perasaan apa yang ia alami melihat angan-angan putrinya tak juga kesampaian untuk punya anak. Kehamilan dengan segala risikonya ditanggungnya. Siapa pun yang pernah mengalami terapi untuk kehamilan tentu dapat membayangkan prosedur pengobatan, penyuntikan dan sebagainya yang jauh dari nyaman. Belum dihitung risiko terhadap kesehatannya sendiri. Tapi ini bukan soal itung-itungan.. Casey enteng saja menjalani semua itu demi putrinya.
Paulo Coelho, sastrawan Brazil yang situs web-nya tampil dalam 13 bahasa dan follower-nya di Twitter mencapai hampir 1, 2 juta orang, pernah bilang, "When you really want something, all the universe conspires in helping you to achieve it." Kalau boleh menambahkan, ini bisa menjadi gongnya: "Asal kau kuat bertahan." Seminggu lalu kita ingar-bingar bicara soal cinta dan dunia serentak berwarna pink dan beraroma cokelat. Tapi Bidan Ros, Aung San Suu Kyi, dan Nenek Casey tak cuma bicara lewat simbol. Bahasa mereka bening: lewat pengorbanan dan komitmen sekeras berlian.