Penulis
Intisari-Online.com - Kondisi perekonomian Venezuela semakin mengkhawatirkan.
Saat ini, negara tersebut kehabisan cadangan bahan pangan. Rumah sakit banyak dipenuhi oleh anak-anak yang sakit.
Sementara, dokter tidak memiliki ketersediaan obat dan mesin X-ray. Bahkan listrik pun tidak tersedia.
Yang dimiliki Venezuela saat ini hanyalah segunung permasalahan.
(Baca juga: Sebelum Bunuh Diri, Hitler Tulis Wasiat: Saya Tidak Sanggup Memikul Tanggung Jawab Perkawinan)
Perekonomian Venezuela memburuk dan menuju kolaps.
Krisis kemanusiaan pun terjadi, di mana banyak warga Venezuela yang sakit keras tidak bisa mendapatkan obat-obatan.
Selain itu, terjadi bencana kelaparan.
Kondisi ini diperburuk dengan krisis politik.
(Baca juga: Bukannya Pamer Kekayaan, Orang-orang Super Kaya Ini Justru Sering ‘Pamer’ Kesederhanaan! Tidak Seperti OKB!)
Presiden Venezuela Nicolas Maduro telah mengimbau untuk dilakukannya referendum pada Minggu mendatang.
Hal ini mendapatkan kritikan keras dari pihak penentang sang presiden yang berpendapat hal itu tak sesuai dengan demokrasi.
Dengan adanya referendum, hal itu akan memungkinkan Maduro untuk merevisi undang-undang dan menggantikan Mahkamah Nasional, yang dikontrol oleh pihak oposisi, dengan anggota badan legislatif yang baru yang menjadi kaki tangannya.
Padahal, Venezuela sebelumnya merupakan negara kaya raya di Amerika Latin.
(Baca juga: Mengenali Jenis Pasukan Tempur TNI Angkatan Darat Berdasarkan Warna Baret)
Bagaimana awal cerita kejatuhan ekonomi Venezuela?
- Negara produsen minyak
Venezuela merupakan suplier minyak terbesar dunia. Sehingga tak jarang hal ini dilihat sebagai mesin pencetak uang bagi Venezuela yang tidak ada habisnya.
Tapi saat ini, pemerintah Venezuela kehabisan uang, harga barang-barang meroket, dan tidak ada yang tahu seberapa buruk lagi kondisi yang akan terjadi pada ekonomi Venezuela.
Selain itu, Venezuela juga merupakan pembangkit tenaga listrik di Amerika Selatan pada 1990-an. Mantan Presiden Bill Clinton menjadikannya pemberhentian pertama dalam perjalanan ke wilayah tersebut pada tahun 1997. Namun, ketidakadilan ekonomi kian mencolok.
Kelas masyarakat elit yang jumlahnya sedikit, mengontrol hampir semua bisnis. Di sisi lain, tingkat kemiskinan kian meningkat. Negara ini kemudian beralih ke paham sosialisme pada 1999 dan memilih Presiden Hugo Chavez.
Dia memperjuangkan populisme, memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat dan bergabung dengan China dan Rusia. Kedua negara inilah yang meminjamkan dana miliaran dollar kepada Venezuela.
Chavez memerintah sampai kematiannya pada 2013, dan hingga hari ini masih dikenal sebagai pahlawan bagi orang miskin. Sayangnya, pemerintahan Chavez banyak mengucurkan dana pada program kesejahteraan dan mematok harga tetap untuk segalanya.
Chavez juga mendeklarasikan lahan pertanian sebagai milik negara dan kemudian mengabaikannya. Sebaliknya, Chavez membuat negara tersebut sangat bergantung pada penjualan minyak ke luar negeri.
Sebelum dia meninggal, Chavez memilih Maduro untuk menggantikannya, dan Maduro terus menjalankan praktik rezim Chavez. Pemerintahan Maduro menghentikan penerbitan statistik yang bisa diandalkan, termasuk data pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Ia menerima suap senilai jutaan dollar untuk proyek konstruksi dan masih berupaya keras membayar utang yang masih perlu dibayar. Sementara itu, satu-satunya komoditas yang dimiliki Venezuela mulai merosot nilainya.
Pada 2014, harga minyak berada di kisaran US$ 100 per barel. Kemudian beberapa negara mulai memproduksi terlalu banyak minyak karena minyak yang tidak dapat diakses sebelumnya dapat dikeruk dengan teknologi pengeboran baru.
Pada saat yang sama, bisnis di dunia tidak membeli bensin lagi. Terlalu banyak cadangan minyak menyebabkan harga global turun menjadi US$ 26 pada 2016.
Saat ini, harga minyak berada di kisaran US$ 50, yang berarti pendapatan Venezuela terpangkas setengahnya. Dengan rendahnya harga minyak dan arus kas pemerintah yang semakin berkurang, pengendalian harga menjadi masalah besar.
Venezuela masih mensubsidi makanan jauh di bawah harga normal untuk menenangkan masyarakat miskin. Maduro mencetak uang dengan kecepatan tinggi, sehingga nilai tukar bolivar melorot tajam.
Pada saat bersamaan, permusuhan Maduro terhadap pelaku bisnis asing menciptakan eksodus. Pepsi (PEP), General Motors (GM) dan United (UAL) merupakan beberapa beberapa perusahaan yang telah mengurangi bisnisnya, bahkan meninggalkan seluruh bisnisnya di negara tersebut.
IMF memprediksi, tingkat pengangguran di Venezuela tahun ini bisa mencapai 25%. Di sisi lain, tingkat inflasi semakin memburuk. Pada tahun 2010, satu dolar Amerika bernilai sekitar delapan bolivar.
Berdasarkan nilai tukar tidak resmi yang banyak digunakan warga Venezuela, saat ini nilainya lebih dari 8.000 bolivar. Tingkat harga barang bisa naik 2.000% secara mengejutkan tahun depan.
Untuk mengikuti pergerakan inflasi, Maduro telah menaikkan upah minimum sebanyak tiga kali tahun ini. Kebijakan itu cukup memberikan sedikit bantuan jangka pendek kepada warga miskin.
Namun para pengamat mengatakan bahwa hal itu menciptakan rasa sakit jangka panjang dalam bentuk mata uang yang semakin tidak berharga.
"Perekonomian benar-benar kacau, benar-benar ambruk, tidak ada titik untuk kembali," kata Alberto Ramos, seorang ekonom yang memimpin riset Amerika Latin di Goldman Sachs.
Maduro menyalahkan lawan-lawannya atas kesengsaraan ekonomi Venezuela dan mengatakan sanksi Amerika Serikat terhadap para pemimpin Venezuela adalah bukti bahwa AS sedang melakukan "perang ekonomi".
- Warga Venezuela kelaparan
Selama beberapa tahun, Maduro memiliki dua pilihan besar: membayar utang ke China, Rusia dan investor asing atau membeli makanan dan obat-obatan dari luar negeri. Dia telah memilih untuk membayar tagihan. Hasilnya, kelaparan menjadi wabah di Venezuela dan tingkat kematian yang melonjak di rumah sakit.
"Ada orang-orang di Venezuela yang benar-benar kelaparan. Sangat menyedihkan," kata Eric Farnsworth, wakil presiden di Dewan Amerika, sebuah organisasi bisnis. "Saya menyebut Venezuela sebagai negara yang gagal."
Pasokan makanan utama Venezuela didatangkan dari Brazil, Kolombia, dan Meksiko karena pemerintah menghentikan pengolahan lahan pertaniannya yang kaya tahun lalu. Data yang dirilis sebuah firma riset, Panjiva, menyebutkan, untuk lima bulan pertama tahun ini, ekspor makanan dari negara-negara tersebut ke Venezuela turun 61% dari periode yang sama tahun 2015.
Kekurangan obat-obatan juga mengalami kondisi yang sama buruknya. Sekitar 756 wanita meninggal saat akan melahirkan dan setelah melahirkan tahun lalu, meningkat 76% dari tahun 2015.
Hampir 11.500 bayi meninggal pada 2016, meningkat 30% dari tahun sebelumnya. Kasus malaria melonjak menjadi 240.000, meningkat 76% dari tahun 2015.
"Bahkan di rumah sakit, tidak ada bahan makanan untuk pasien," kata Dr Huniades Urbina-Madinah, kepala pediatri di Hospital de Niño J.M. de los Rios, rumah sakit anak-anak di Caracas. "Kami masih belum memiliki obat-obatan, sinar-X, CT scan - tidak ada apa-apa."
Bukan hanya makanan dan obat-obatan. Kadang-kadang orang Venezuela harus mengatur listrik dan air selama musim kering. Krisis telah benar-benar mendorong kelas atas dan menengah Venezuela keluar dari negara tersebut.
Menurut penelitian oleh Tomas Paez, seorang profesor sosiologi di Universitas Sentral Venezuela di Caracas, hampir 2 juta rakyat Venezuela telah meninggalkan negara itu sejak tahun 1999.
Venezuela adalah negara berpenduduk hanya 30 juta orang.
- Krisis politik tak berkesudahan
Sempat terjadi titik balik politik pada 2015 ketika pemimpin oposisi memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional. Ini menjadi pukulan telak bagi Maduro. Tapi, lagi-lagi, terjadi kebuntuan.
Awal 2016, Maduro mengisi Mahkamah Agung dengan kaki tangannya dengan tujuan memblokir langkah Majelis Nasional untuk memakzulkan dirinya.
Lalu, pada Maret, Mahkamah Agung berupaya membubarkan Majelis Nasional sehingga memicu aksi demonstrasi yang menyebabkan hampir 100 orang tewas.
(Baca juga: Cara Cepat Meraba Kepribadian Seseorang, Cukup Lihat Posisi Duduk Kegemarannya)
Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul “Venezuela, gambaran kolapsnya sebuah negara kaya”