Find Us On Social Media :

Hikayat Belanda Depok, Pribumi Asli yang Punya Marga Belanda

By Yoyok Prima Maulana, Minggu, 18 Februari 2018 | 10:30 WIB

Intisari-online.com - Sampai beberapa puluh tahun silam, sebutan “Belanda Depok” ini masih sering terdengar oleh masyarakat di sekitar Depok di dalam kehidupan sehari-hari.

Biasanya sebutan ini ditujukan untuk sekelompok orang warga Depok yang memiliki nama marga seperti kebelanda-belandaan.

Ada Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh.

Bukan hanya nama, budaya dan kehidupan masyarakat itu juga banyak terpengaruh oleh tradisi masyarakat Belanda.

BACA JUGA: Selama 10 Hari Seorang Pria Selalu Sarapan Jus Pisang, Ini yang Terjadi Pada Tubuhnya

Kelompok masyarakat itu tidak berkulit putih atau berhidung mancung, layaknya ras kaukasoid.

Sebab mereka sesungguhnya keturunan pribumi yang masih memiliki keterkaitan dengan era kolonialisme di masa silam, tepatnya saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Nusantara. Dan jika kita menelusuri sejarah masyarakat “Belanda Depok” ini, maka akan kita jumpai sebuah nama yakni Cornelis Chastelein.

Membeli 150 budak

Cornelis Chastelein adalah seorang pegawai perserikatan dagang Belanda (VOC). Di usia 17 tahun, dia ditugaskan ke Hindia Belanda sebagai tenaga pembukuan.

Anthony Chastelein, ayahnya, berasal dari Prancis yang melarikan diri ke Belanda akibat pertikaian agama di negerinya. Sedangkan Maria Cruydenier, ibunya, putri seorang walikota.

Di VOC, karier Chastelein melesat hingga menjadi saudagar besar. Selang 17 tahun sejak pertama kali bertugas di Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1691, Chastelein menjabat sebagai saudagar senior kelas dua dari benteng Batavia.

Menurut buku Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe yang ditulis seorang keturunan dari 12 marga di Depok, Yano Jonathans, pada tahun itu juga Chastelein mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan kesehatan.

Meski ada kemungkinan, itu disebabkan ketidaksetujuan dia dengan kebijakan politik dagang Gubernur Jenderal van Outshoorn. “Jadi waktu itu terjadi pergantian gubernur jenderal. Pada saat Gubernur Jenderal van Outshoorn bertugas, Chastelein tidak setuju dengan politik dagangnya, karena keras sekali. Dia tidak setuju ada kekerasan di sana, kerja paksa, kerja rodi terhadap orang-orang pribumi,” ungkap Yano Jonathans saat ditemui di Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) di Depok.