Meski Tampak Gersang dan Tak Semegah Borobudur, Majapahit Ternyata Punya Tinggalan di Tapanuli dan Begini Penampakannya

Moh Habib Asyhad

Penulis

Kompleks Trio Bahal ini dibentengi oleh pagar keliling dari bata yang dilengkapi gapura atau gerbang rendah. Semua candi dibangun berbahan bata dengan arah hadap timur.

Intisari-Online.com – Agak terasa aneh ketika melihat ada bangunan berbentuk candi di kawasan Sumatera Utara. Memang tak semegah Candi Borobudur.

Tapi kawasan candi, yang dikenal juga dengan biara, itu menyimpan potensi wisata yang patut dimunailkan. Mari kita ke sana.

Matahari di daerah yang dihampari padang rumput nan luas dan gersang dengan semak belukar di sana-sini itu terasa membakar kulit. Udara begitu kering dan berdebu.

Kawasan Padanglawas memang berada di wilayah dataran rendah di kaki Pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut hingga tenggara. Di situlah berdiri candi-candi Padanglawas, tepatnya di belahan timur Kabupaten Tapanuli Selatan.

Meski tampak gersang, yang ditandai dengan sederetan bukit-bukit gundul, sebagian kawasan Padanglawas merupakan areal ribuan hektar kebun karet dan kelapa sawit. Dua komoditas utama yang menghela roda perekonomian rakyat Padanglawas.

(Baca juga:Angka-angka Misterius di Candi Borobudur Ini Tunjukkan Betapa Penuh Perhitungannya Pembangunan Candi Ini)

Tak terlalu sulit untuk mencapai kawasan ini. Meski jalan beraspal antara Medan dan Padanglawas "berjerawat" di sana-sini, jalur itu bisa dinikmati tanpa hambatan berarti. Apalagi tersedia bus berpenyejuk udara dengan tarif terjangkau. Tersedia juga bus ekonomi tanpa AC kalau mau lebih irit.

Jalur Medan menuju Padanglawas bisa ditempuh melalui Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Kotapinang, Gunungtua. Atau jalur lain dengan menyusuri tepian Danau Toba melalui Tebingtinggi, Pematangsiantar, Parapat, Balige, Tarutung, Sipirok, Gunungtua.

Jika dicapai dari Padang, Sumatra Barat, rutenya melewati Padangpanjang, Bukittinggi, Lubuksikaping, Kotanopan, Padangsiderapuan, Gunungtua. Namun, rate terakhir ini lebih jauh.

Menyimpan potensi

Meski tidak kalah menarik, jangan dibayangkan candi-candi di Padanglawas itu serupa dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah atau Candi Prambanan di Yogyakarta. Mereka yang mengagumi benda-benda purbakala seolah menemukan harta karun yang tak ternilai.

Sebaran candi-candi yang letaknya tersembunyi di antara hutan, perkebunan, dan sungai itu menyimpan misteri tersendiri. Seluk-beluk candi-candi itu belum terungkap secara pasti.

Dari sekian banyak candi ataupun reruntuhan candi di Padanglawas, yang layak dikunjungi adalah Trio Bahal. Disebut demikian karena terdiri atas tiga candi, yaitu Candi Bahal I, Bahal II, dan Bahal III.

(Baca juga:Ada Jejak Kubilai Khan dalam Lahirnya Kerajaan Majapahit di Bumi Nusantara)

Ketiganya kini sudah berdiri tegak berkat upaya pemugaran oleh instansi berwenang selama bertahun-tahun. Ketiga candi itu saling berdekatan dan memiliki karakteristik serupa.

Meski begitu, masing-masing menampilkan gaya arsitektur sendiri. Candi Bahal berlatar belakang Buddhis. Ini ditunjukkan dengan bagian atap candi-candi induknya yang merupakan stilirisasi dari stupa.

Bentuk atap paling menarik bisa dilihat pada candi induk Bahal I. Atapnya berbentuk tabling dengan relief-relief uncal (pita beruntai) berupa jalinan bunga.

Di bagian kanan dan kiri ambang pintu terpahat bentuk sosok manusia yang kini hanya tersisa dari bagian pinggang ke bawah. Bagian kaki candi terbagi dalam pani-panil yang berisi relief singa dan yaksa (makhluk surgaloka).

Kompleks Trio Bahal ini dibentengi oleh pagar keliling dari bata yang dilengkapi gapura atau gerbang rendah. Semua candi dibangun berbahan bata dengan arah hadap timur.

Masing-masing dilengkapi dengan sepasang makara di bagian bawah pipi tangga candi induk. Di sekeliling candi induk, kecuali di bagian belakang, terdapat candi-candi perwara (candi kecil yang melengkapi candi induk). Yang persis berhadapan dengan candi induk berbentuk altar (pendapa).

Di sekeliling candi banyak ditemukan lapik-lapik area maupun penggalan-penggalan area yang bisa jadi rusak akibat usaha penjarahan.

(Baca juga:Soal Video Pencekokan Minuman Keras, Tim Polda Sumatera Utara Periksa Kapolres Simalungun di Hotel Tempat Kejadian)

Sebagian temuan telah aman tersimpan di museum situs yang terdapat di kompleks Candi Bahal I. Sebagian lagi terserak di hamparan rumput yang meninggi di halaman candi. Beberapa artefak juga telah diselamatkan dan kini tersimpan di Museum Negeri Medan.

Candi Bahal I menjadi candi primadona di Padanglawas dan kawasan Tapanuli Selatan. Kompleks inilah yang menyedot minat banyak wisatawan, bahkan nyaris tak pernah sepi dibandingkan dengan anggota trio lainnya.

Rupanya, Dinas Perhubungan, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Tapanuli Selatan mencium potensi itu lalu berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana penunjang.

Alhasil, saat hari raya seperti Idul Fitri, pengunjung di Candi Bahal I membeludak. Terlebih lagi setelah dibangun panggung hiburan dan kafe di kompleks ini.

Lingga tanpa yoni

Tak jauh dari Candi Bahal I (dikenal pula dengan sebutan Biara Portibi) terdapat gundukan. Di papan petunjuk yang ada di situ tertulis sebagai Candi Pulo. Beberapa pecahan artefak dari batuan tuff (sejenis batu apung) masih terlihat berserakan di sekitar gundukan yang telah ditumbuhi rerumputan liar.

(Baca juga:Muncul dari Gunung Berkabut, Gajah-gajah Ini Berziarah ke Candi Muara Takus saat Bulan Purnama Tiba)

Tertangkap kesan seolah tidak terpelihara meski Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh yang membawahi wilayah kerja Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara sudah menempatkan juru pelihara yang bertugas menjaga dan mengurusi tinggalan-tinggalan arkeologis itu.

Bersama Trio Bahal, Candi Pulo terletak di sepanjang tepian Sungai Batangpane. Secara administratif sebenarnya ini wilayah Padangbolak. Di samping keempat candi itu, masih ada Candi Sitopayan dan Candi Bara yang kini tinggal berupa gundukan dan diwamai serakan artefak di sekelilingnya.

Bergeser ke daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barumun, kita bisa mengunjungi Candi Sipamutung, yang sesungguhnya lebih rumit dari Candi Bahal. Kompleks ini masih dalam tahap pemugaran dan belum banyak dikunjungi wisatawan.

Bisa jadi, akses jalan yang sulit ditempuh membuat namanya kurang terdengar, bahkan di kawasan Tapanuli Selatan sekalipun. Candi Sipamutung juga berlatar belakang Buddhis. Yang sedikit berbeda, candi perwaranya dibangun dari batuan tuff.

Untuk mencapai kompleks Candi Sipamutung, kita harus menyeberang Sungai Barumun dengan meniti jembatan gantung yang sudah mulai reot; sebuah puncak tantangan setelah sebelumnya kita menembus jalan kebun yang becek dan berlumpur tatkala hujan.

Setiba di seberang, yang sudah masuk wilayah Desa Siparau, kita akan menyaksikan benteng tanah yang terdiri atas dua buah gundukan yang saling berjajar dengan bagian tengahnya membentuk kanal.

(Baca juga:Mengenang Kejayaan Sriwijaya, Leluhur Toleransi dan Kekuatan Maritim Indonesia)

Sepertinya benteng itu dibangun untuk melindungi sesuatu, sedangkan kanal dimanfaatkan sebagai akses langsung menuju Sungai Barumun. Pada zaman dulu, sungai itu menjadi jalur perdagangan yang cukup ramai dikunjungi kapal-kapal asing.

Candi-candi lain yang terdapat di DAS Sungai Barumun yaitu Candi Aek Tunjang, Tandihat I, Tandihat II, Longung, dan Candi Sisangkilon. Dua candi yang disebut terakhir berada di Kecamatan Barumun.

Dari sederetan candi itu, Candi Longung memiliki keistimewaan tersendiri, karena dibangun dari batuan tuff, bukan dari bata seperti umumnya candi di kompleks Padanglawas.

Namun, artefak-artefak yang menarik banyak ditemukan di Candi Tandihat I. Meski tidak lagi dijumpai area, masih tersisa lapik-lapik arca dengan pahatan yang indah serta yoni. Namun, sayang tidak dilengkapi pasangannya, Iingga.

Temuan-temuan itu sarat dengan ciri Siwaistis, khususnya yang ditunjukkan oleh artefak yoni. Dalam konsep Hindu, Iingga dan yoni merupakan simbol kesuburan atau asal-muasal kehidupan.

Kondisi candi lainnya cukup menyedihkan, karena hanya menyisakan reruntuhan. Jika tidak segera diselamatkan, akan musnah tertelan kala. Candi Aek Tunjang, misalnya, sudah mengalami kerusakan parah dan sulit untuk direkonstruksi mengingat di atasnya telah berdiri rumah-rumah penduduk.

(Baca juga:Suku Boti, Suku yang Suka ‘Memanggang’ Ibu yang Baru Selesai Bersalin)

Cuka yang tuak

Sebelum melangkah mengunjungi candi-candi Padanglawas, sebetulnya kita bisa bergoyang lidah dulu. Hidangan istimewa dari sub-sukubangsa Angkola dan Mandailing di daerah itu berupa olahan ikan mas bakar dengan racikan bumbu kelapa parut dan balakka, tanaman lokal yang banyak dijumpai di Padanglawas.

Lebih istimewa lagi, menu ikan mas itu dilengkapi pucuk rotan yang telah dibakar dan dikuliti. Warnanya putih. Rasanya, coba sendiri deh. Yang jelas agak pahit, meski ada yang bilang pahit sekali.

Dibubuhi perasan jeruk nipis dan kecap asin, pucuk rotan muda itu terasa nikmat. Nah, kalau sempat mampir juga di kedai pinggir jalan sebelum melihat-lihat candi, pesanlah holat. Menu ini sudah tersaji di meja kedai.

Masyarakat setempat punya kebiasaan unik, minum cuka! Bukan cuka teman acar, tapi ini istilah lokal untuk menyebut tuak. Kebiasaan penduduk daerah ini minum tuak sudah dilakukan turun-temurun sejak dulu kala.

Pokoknya, setiap acara adat terasa kurang lengkap tanpa tuak, terutama jika sedang dilaksanakan pesta-pesta besar.

(Baca juga:Kocak! Palang Kereta Api Unik di Madiun: Palangnya Di Mana, Keretanya Lewat Mana)

Tradisi masyarakat setempat juga menempatkan kerbau sebagai binatang yang berpengaruh. Dalam adat setempat, kerbau merupakan simbol status sosial.

Kehormatan besar akan diperoleh dari masyarakat, jika seseorang sanggup menyembelih seekor kerbau pada acara adat tertentu.

Dalam perkawinan, si mempelai berhak atas gelar tertentu yang dipersembahkan oleh adat, jika dalam pesta itu disembelih empat jenis binatang sekaligus: ayam, kambing, sapi, dan kerbau.

Apa gelar yang diperoleh? Sebetulnya bukan gelar, tapi hak untuk melaksanakan pesta margondang. Sebuah pesta yang dilengkapi dengan acara bergendang, berwujud lantunan-Iantunan nasihat yang dilagukan untuk mempelai, juga manortor (menari tortor).

Saking pentingnya peranan kerbau dalam adat, tak heran kalau harganya jauh lebih tinggi dari harga seekor sapi.

(Ditulis oleh Dyah Hidayati. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Mei 2004)

(Baca juga:Romusha dan Jugun Ianfu, Cara Keji Jepang dapatkan Tenaga Kerja dan Budak Seks Gratis)

Artikel Terkait