Meski Hassan sama sekali belum berpengalaman dalam soal ini, Prof. Echols percaya pada kemampuannya.
Selain menguasai bahasa Indonesia, Hassan juga dapat berbahasa Inggris dengan baik.
Pengalaman Hassan sebagai bekas wartawan yang sering menulis dalam Pelita Rakyat dan Trompet Masyarakat juga menjadi pertimbangannya.
Dalam tahun 1952 itu juga mereka mulai bekerja sama.
Kamus Indonesia-Inggris selesai dalam waktu dua tahun, dalam masa tinggal Hassan di Cornell; sedang kamus lnggris-lndonesia yang disusun belakangan digarap lebih dari enam tahun, pada waktu Hassan sudah kembali ke Indonesia.
Karena itulah kerja sama lalu lebih banyak dilakukan dengan cara surat-menyurat.
Selesai penyusunan kedua kamus itu, yang masing-masing diterbitkan pertama kali tahun 1961 dan 1975, tidak berarti berakhir pula kerja sama di antara kedua penyusunnya.
(Baca juga: Sedang Bokek, Bung Karno Ternyata Pernah Pinjam Uang pada Temannya untuk Bayar Utang dan Beli Cat)
Hassan di Jakarta dan John Echols di Cornell terus mengumpulkan kata-kata baru untuk makin melengkapi kamus mereka.
“Waktu itu saya hampir saja kehilangan semangat mengumpulkan kata-kata baru yang biasanya saya diskusikan dengan John.” - Hassan Shadily
Malah hubungan kerja sama yang awalnya bersifat formal, lambat laun berubah menjadi hubungan persahabatan yang erat, tidak hanya di antara keduanya, tapi juga di antara kedua keluarga mereka.
“Kalau ke Indonesia John pasti menginap di rumah saya. Begitu pula kalau saya ke Cornell,” Hassan menceritakan eratnya persahabatan mereka.
Kerja sama dan persahabatan ini terus berlangsung seumur hidup, sampai meninggalnya Prof. Echols tahun 1984, 32 tahun sejak saat ia pertama kali berkenalan dengan Hassan.