Penulis
Intisari-Online.com – Di samping tukang hanteran, ulama Kaharingan lain yang juga banyak berperan selama pesta tiwah adalah para basir alias pendeta.
Dalam setiap upacara mereka bertugas melakukan balian, menyanyikan lagu-lagu suci yang diiringi sejenis gendang yang disebut katambung.
Mereka selalu menjalankan tugasnya dalam tim yang terdiri atas lima, tujuh atau sembilan orang. Pesta tiwah di Teluk Nyatu menggunakan tujuh orang basir, yang khusus didatangkan dari berbagai desa tetangga.
Makin banyak basir yang dipakai, makin baiklah pesta tiwah. Dalam melakukan balian, basir yang duduk di tengah berperan sebagai imam, yang segala nyanyiannya harus diikuti oleh para basir penggapit yang duduk di kiri-kanannya.
(Baca juga: ‘Acar Kelingking’, Persembahan Anggota Yakuza untuk para 'Bapak' Sebagai Tanda Kesetiaan)
Para basir boleh dikatakan bekerja sebulan penuh, sejak awal sampai hari terakhir pesta tiwah. Mereka melakukan balian hampir setiap hari, siang, sore atau malam hari, di tiap-tiap rumah peserta tiwah.
Melalui nyanyian-nyanyian suci, yang dibawakan dalam bahasa sangiang – bahasanya para dewa - yang tak bisa dipahami sembarang orang, para basir menyiapkan para arwah untuk berangkat ke surga.
Secara gaib mereka juga menyiapkan segala bekal yang akan dibawa serta memberi tahu rencana kedatangan para arwah pada keluarga masing-masing yang sudah terlebih dulu tinggal di surga.
Para basir ini pulalah yang menyiapkan rumah di surga, lengkap dengan segala isinya, bagi para arwah yang akan ditiwahkan.
Tantu dibedaki
Seperti tukang hanteran, selama pesta tiwah para basir juga diperlakukan istimewa oleh para peserta tiwah. Mereka dihadiahi pakaian yang bagus, diberi gelang manik-manik dan uang logam kuno yang langka, serta dihadiahi omas dan barang-barang lain.
Setiap menghadiri upacara di rumah-rumah peserta tiwah, para tamu, tak pandang laki-laki atau wanita, juga diperlakukan istimewa. Bukan sekadar makanan dan minuman yang didapat, tapi juga berbagai penghormatan khas Ngaju lainnya.
Karena sering menghadiri upacara dan pesta, mungkin saya jadi salah seorang yang paling sering mendapat penghargaan ini. Begitu datang dan duduk di lantai, tuan rumah biasanya langsung memolesi seluruh muka saya dengan bedak dingin, sampai kadangkala kaca mata pun jadi buram, ikut terolesi bedak cair tersebut.
(Baca juga: Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu)
Mungkin karena kurang paham soal jenis-jenis pengharum modern, tak jarang saya disemprot dengan wewangian yang sebenarnya pengharum ketiak.
Karena rambut yang hitam mengkilap dianggap indah, maka tiap kali datang ke pesta rambut saya juga dibuat kelimis. Kepala saya diguyur dengan minyak goreng botolan.
Minuman keras dan rokok tak henti-hentinya ditawarkan. Diam-diam arak atau tuak yang disodorkan sering saya tumpahkan lagi ke tanah, daripada jadi sering mabuk selama tinggal di Teluk Nyatu.
Sumbangan berarti utang
Keramaian pesta tiwah mencapai puncaknya di hari pembantaian hewan kurban untuk bekal para arwah. Karena jumlahnya mencapai lebih dari dua puluh ekor, maka acara puncak pesta tiwah di Teluk Nyatu dibagi dalam dua hari.
Malah, kalau hewan kurban lebih banyak lagi, acara puncak bisa berlangsung sampai tiga hari.
Di hari pertama saja sudah dibantai tak kurang dari sepuluh ekor kerbau dan sapi, serta beberapa ekor babi. Di hari kedua, jumlahnya lebih banyak lagi.
Setiap hewan kurban ditombaki dulu sampai seluruh badannya luka-luka dan mencucurkan darah sebelum akhirnya benar-benar ditamatkan riwayatnya, disembelih dengan mandau yang tajam. Hanya para ahli waris si mati saja yang boleh ikut melukai hewan-hewan kurban ini.
Acara menyambut rombongan tamu terhormat juga jadi tontonan yang asyik. Yang dimaksud dengan tamu terhomat adalah rombongan tamu dari desa tetangga yang datang dengan rakit atau perahu yang dihias indah berisi sumbangan pesta dalam jumlah besar.
Bawaan yang disebut laluhan ini terdiri atas berbagai keperluan pesta, mulai dari hewan kurban, berkuintal-kuintal beras, berpeti-peti arak, dan juga uang, yang ditempelkan pada batang-batang lidi dan dibuat semacam karangan bunga.
Tamu macam ini diterima dengan upacara penyambutan khusus, lengkap dengan tarian serta musik gamelan dan kenong.
Sudah jadi tradisi orang Ngaju untuk saling membantu dalam melaksanakan tiwah. Namun, bantuan ini tidak diberikan begitu saja. Mereka yang pernah menerima laluhan saat mereka melaksanakan tiwah, harus membayarnya kembali dalam bentuk dan jumlah yang persis sama pada saat si pemberi bantuan melaksanakan pesta yang sama di masa mendatang.
Karena itu, bisa saja laluhan dibawa bukan oleh tamu yang akan memberi bantuan, tapi justru oleh mereka yang mau membayar utang. Makin besar bantuan yang pernah mereka terima, makin besar pula laluhan yang harus dibayar.
Pesta tiwah terakhir
Penduduk Teluk Nyatu sudah sibuk menyiapkan pesta tiwah mereka sejak pertengahan tahun lalu. Panitia dibentuk, izin diurus, sumbangan dikumpulkan. Rupanya mereka bertekad melaksanakan pesta penghormatan terakhir pada kerabat yang sudah mati ini dengan sebaik dan semeriah mungkin.
Hari-hari terakhir sebelum dimulainya pesta yang berlangsung sebulan penuh ini kerepotan pun makin menjadi. Hewan kurban mulai ditangkap atau dibeli. Juga segala keperluan logistik lainnya.
Makanan dan minuman dalam jumlah yang melimpah bukan sekadar disiapkan untuk menjamu para tamu dan kerabat yang akan hadir, tapi juga demi membahagiakan para arwah yang akan ditiwahkan.
Segala yang dibeli dan dimakan selama tiwah tak akan sia-sia. Karena sari patinya pada akhirnya akan dibawa sebagai bekal oleh arwah kerabat mereka dalam perjalanannya ke surga.
Di tengah halaman di muka rumah bakas tiwah – pelaksana utama pesta tiwah — didirikan sangkai iaya, tiangtiang bambu dihiasi bendera-bendera merah-putih kecil.
Tiang-tiang ini ditancapkan di tanah, membentuk lingkaran yang makin melebar ke atas. Di dekatnya juga dibangun dua altar kecil dari bambu, tempat meletakkan sesajen bagi para jin dan dewa.
Di sekitar sangkai raya inilah sebagian besar kegiatan tiwah dilakukan, mulai dari upacara pemberian sesajen bagi para dewa dan roh halus, menganjan - menari untuk menghormati para dewa - , sampai upacara menyambut rombongan tamu.
Pembantaian hewan kurban juga dilakukan di sekeliling tempat ini, yang dipercaya sebagai tempat turunnya para dewa ke dunia.
"Mungkin ini pesta tiwah besar terakhir di desa kami," kata Lukas Sangalang, pemuda Ngaju yang mudik bersama saya dari Palangkaraya ke Teluk Nyatu. Kalau melihat penganut Hindu Kaharingan di desanya yang cuma tinggal satu-dua orang, apa yang dikatakan sarjana baru perikanan lulusan Univeristas Lambung Mangkurat ini boleh jadi benar.
Semua serba terbalik
Sandung milik bakas tiwah didirikan tak jauh dari tempat pusat upacara ini. Meski dibuat dari bahan tradisional, kayu ulin yang kuat dan bisa tahan sampai lebih dari seabad, tiang-tiangnya tak seberapa tinggi, hanya sekitar 1,5 m saja Sandung-sandung tua biasanya bertiang lebih tinggi, 3, 4 atau malah sampai 5 m.
Seperti biasanya, dinding luar sandung baru ini juga diukir dengan hiasan-hiasan surgawi, seperti sulur-sulur daun dan burung yang konon hanya ada di surga sana.
Di depan kedua pintunya masing-masing ada sepasang patung laki-perempuan yang katanya bertugas sebagai penerima tamu di rumah para arwah itu. Pintu-pintu depan dan belakang kotak kayu besar ini hanyalah pintu imitasi hasil ukiran.
Sebuah sandung sebenarnya hanya bisa dibuka dengan cara khusus melalui atapnya.
Sandung-sandung lama umumnya tak diwarnai. Tapi orang Ngaju sekarang juga kenal cat Glotex dan Pylox. Karena itu, penduduk Teluk Nyatu pun lalu mengecat sandung yang baru mereka bangun dengan warna-warna meriah: biru, merah, putih serta cat brons warna perak dan emas.
Konon, di alam baka semua hal menjadi serba terbalik. Yang di dunia nampak cantik di sana jadi buruk, yang laki-laki terlihat seperti wanita dan yang lezat menjadi busuk.
Karena itu, ukiran tangga di tiang sandung juga sengaja dibuat terbalik, karena para arwah akan melihat keadaan yang sebaliknya.
Patung-patung di atas sapundu, tiang pengurbanan, pun begitu. Jika kerbau atau sapi yang akan diikatkan di sebuah sapundu kelaminnya jantan, patung orang yang dibuat harus berkelamin wanita.
Tulang dicuci dengan sabun
Dengan hati-hati potongan-potongan tulang diangkat dari liang kubur dan dikumpulkan dalam sebuah kotak sederhana berlapis kain kuning. Tapi semua baru nampak lega ketika tulang tengkorak akhirnya ditemukan. Tengkorak kepala rupanya dianggap sisa tubuh yang paling penting.
"Bapak, Bapak ...," Benyamin Sangalang berkata lirih. la mengelus-elus tengkorak ayahnya, seolah yang bersangkutan masih hidup. Kakak, adik dan anak-anaknya mengikuti apa yang telah diperbuatnya.
Semua mengelus-elus batok kepala almarhum Sangalang, cikal bakal keluarga besar Sangalang yang kaya dan terhormat.
Pada waktu yang sama, peristiwa serupa juga berlangsung di belasan liang lahat lainnya di kompleks pemakaman Kaharingan di seberang Desa Teluk Nyatu itu.
Dalam pesta tiwah, tulang-belulang para leluhur yang sudah lama terkubur, oleh anak-cucu mereka digali lagi, diupacarai dan dimasukkan dalam sandung.
Meski si mati tinggal berupa tulang-tulang, yang seringkali bahkan tak lagi lengkap, para kerabatnya yang hidup tetap memperlakukannya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Sepotong demi sepotong sisa-sisa tubuh ini dicuci dengan sabun dan diberi minyak wangi.
Setelah dibersihkan, tulangbelulang ini disimpan dalam gong yang dibalik. Dilapisi kain merah yang bersih, tulang-tulang ini disusun rapi.
Tulang tengkorak diletakkan di tengah-tengah, dikelilingi tulang tangan, kaki dan Iain-lain.
Jika hendak dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, gong berisi tulang ini tak bisa diangkat sembarangan. la harus digendong memakai selembar kain, seperti orang menggendong bayi.
Diiringi nyanyian dan suara gendang para basti, para peserta tiwah memberi penghormatan yang terakhir pada si mati, sebelum tulang-belulangnya dimasukkan ke dalam sandung. Pada saat ini rasa cinta pada si mati diungkapkan dengan segala cara.
Ada yang sekadar mengelus-elus tulangnya, ada pula yang memberinya hadiah, baik rokok, uang sampai perhiasan emas.
Dengan selesainya upacara ngangkean, upacara memasukkan tulang ke dalam sandung, maka berakhir pulalah rentetan acara pokok dari pesta tiwah.
Begitu atap sandung ditutup rapat, tulang-belulang ini dianggap telah ikut naik ke lewu tatau, bergabung dan hidup kembali bersama arwah mereka yang telah ditiwahkan.
“Mungkin tak ada bangsa lain yang mencintai orang tua mereka sepergi orang Ngaju. Bukan waktu masih hidup saja anak-anak menghormati ayah dan ibunya. Bakti dan cinta kasih pada orang tua terus diwujudkan meski mereka telah lama mati dan tinggal berupa tulang-belulang yang tak berarti,” begitu seorang antropolog pernah berkomentar.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1988)
(Baca juga: (Foto) Suhu Anjlok Drastis, Rambut Bocah Ini Membeku, Bahkan Tangannya 'Retak')