Penulis
Intisari-Online.com – Menafikan kandungan gizi yang melimpah, seafood kerap dituding menjadi musuh dalam selimut bagi kesehatan.
Makanan laut (seafood) sudah masyhur sebagai salah satu asupan bergizi.
Kandungan asam lemak esensial Omega-3, vitamin D, selenium, dan protein tinggi sangat baik untuk kesehatan, terutama kesehatan jantung.
Sebuah penelitian dari jurnal yang dirilis medicaldaily.com menunjukkan, orang yang mengonsumsi satu sampai dua makanan laut sebanyak 85 g dalam seminggu mengurangi risiko kematian karena penyakit jantung sebanyak 36%.
(Baca juga: Tragis, TKW Ini Pulang Tak Bernyawa, Tubuh Penuh Jahitan dan Tanpa Mata, Otak Serta Organ Lainnya)
Omega-3 membantu menjaga ritme detak jantung tetap stabil.
Asam lemak esensial ini juga menekan tekanan darah dan memperbaiki fungsi saraf. Dalam dosis yang lebih tinggi, Omega-3 mengurangi tirgliserida dan mencegah peradangan.
DR. dr. Luciana B. Sutanto, MS. SpGK, dokter spesialis nutrisi dan dosen di Jurusan Nutrisi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memaparkan, dalam ilmu bahan makanan, seafood termasuk dalam kelompok bahan makanan sumber protein.
“Seafood mengandung protein dalam jumlah paling banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lain,” kata dokter yang biasanya dipanggil dr. Lucy ini.
Protein bermanfaat untuk pertumbuhan, mengganti sel yang rusak, juga membentuk enzim dan hormon.
Tercemar racun
Meski demikian, bukan berarti makan makanan laut berlebihan akan melipatgandakan khasiatnya.
(Baca juga: Wanita Ini Diceraikan Suaminya Gara-gara Hanya Mandi dan Berhubungan Seks Sekali dalam Setahun)
Sebaliknya, justru tidak baik untuk kesehatan. “Karena seafood adalah bahan makanan sumber protein, konsumsi berlebihan akan menyebabkan meningkatnya kadar asam urat darah bagi yang mempunyai kecenderungan penyakit tersebut. Itu juga berdampak meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserida karena mengandung lemak dan kolesterol,” terang dr Lucy.
Lebih penting lagi, pembatasan konsumsi makanan laut juga untuk menjaga agar kandunganlogam berat seperti merkuri (Hg) dan polychlorinated biphenyls (PCB) yang masuk ke tubuh tetap rendah.
Apalagi untuk kasus Jakarta, ada baiknya mengetahui dari mana asal makanan laut yang akan dimakan.
Fakta yang diungkap oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2011 sempat membuat penggemar makanan laut berpikir beberapa kali untuk mengonsumsi seafood.
Pasalnya, hasil penelitian KLH menunjukkan bahwa Teluk Jakarta sudah sangat tercemar logam berat serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lain, seperti polychlorinated biphenyls (PCB) dan dioxin.
Dari hasil penelitian tersebut, paling tidak 21 perusahaan besar membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta.
Ditambah lagi, sebagian dari 6.500 ton sampah Jakarta per harinya masuk ke 13 aliran sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.
Logam berat dan B3 itu mengontaminasi ikan-ikan dan penghuni laut lainnya, sebelum akhirnya berakhir di meja makan Anda.
Sungguh seram membayangkan “logam berat” masuk ke tubuh kita. Namun, sebenarnya apakah itu logam berat?
Makin besar makin tercemar
Logam berat yang dimaksud adalah arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg), nikel (Ni), dan seng (Zn).
Sebenarnya, senyawa ini secara alami terdapat dalam batuan, tanah, dan air dalam level rendah.
Salah satu logam berat yang paling banyak terkandung dalam makanan laut adalah merkuri.
Rantai makanan dari produsen ke predator laut teratas, seperti hiu, menyebabkan kandungan merkuri terakumulasi paling banyak.
Penelitian menunjukkan, konsentrasi merkuri di tubuh hiu bisa 10 juta lebih besar ketimbang kandungan merkuri di alam habitatnya.
Manusia yang berada di posisi teratas dalam rantai makanan tak pelak terkena imbas paparan merkuri ini.
Mekanisme merkuri mempengaruhi kesehatan orang dewasa memang masih banyak diperdebatkan.
Namun efek merkuri yang bisa mempengaruhi janin dan anak-anak sudah banyak diteliti dan dikonfirmasi.
Salah satu yang diserang adalah sistem otak dan saraf yang baru dalam tahap perkembangan.
Blue Ocean Institute, sebuah lembaga konservasi laut yang berbasis di Stony Brook University, Long Island, New York (AS), menyarankan untuk menghindari paparan merkuri, bukan makanan lautnya. Caranya, dengan membatasi jumlah konsumsi makanan laut.
Carl Safina dari Blue Ocean Institute memberi gambaran, semakin besar ukuran hewan laut itu, semakin tinggi kandungan merkurinya.
“Seekor hiu besar dengan bobot 227 kg yang memangsa tuna dan todak (swordfish) telah mengumpulkan merkuri dari jajaran plankton sampai pemangsa besar seperti tuna,” kata Safina.
Jika rutin mengonsumsi makanan laut yang tergolong mengandung merkuri tinggi, kandungan zat racun itu akan terakumulasi di darah Anda.
Seperti yang disebutkan oleh Lembaga Perlindungan Makanan dan Obat-obatan Amerika (FDA), methylmerkuri dapat hilang dari tubuh secara alami, namum membutuhkan waktu lebih dari setahun sampai kandungannya turun signifikan.
Pada wanita hamil, bisa jadi kandungan merkuri tersebut sudah ada sebelum hamil.
Maka itu, para wanita yang merencanakan kehamilan, ada baiknya menghindari makan seafood yang berlebihan.
Hal itu karena merkuri lebih mempengaruhi saraf otak dan pembuluh darah yang sedang tumbuh, sehingga berbahaya bagi janin dan anak-anak.
Akan tetapi, hal ini juga jangan sampai mengganggu kenikmatan menyantap kepiting atau lobster kesukaan Anda.
Yang penting tetap perhatikan kebersihan dan asupan seimbang. Mau makan apa saja, kalau berlebihan juga tidak baik, ‘kan?
Panduan Mengonsumsi seafood
Satu kali penyajian 133 gram ikan atau tiram (dengan ukuran kira-kira sebesar telapak tangan)
Remaja dan dewasa sehat
(Ditulis oleh J.B. Satrio Nugroho. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2013)
(Baca juga: (Foto) Suhu Anjlok Drastis, Rambut Bocah Ini Membeku, Bahkan Tangannya 'Retak')