Penulis
Intisari-Online.com – Setahun lewat, Hari Natal tiba lagi. Ternyata, selain kebaktian di gereja, ada bentuk perayaan lain yang muncul akibat persinggungan antara budaya lokal dan kepercayaan yang dianut. Hasilnya, unik!
Natal, dari kata latin natus, yang berarti hari kelahiran, selalu mendapat tempat istimewa bagi umat Katolik Paroki (satu wilayah gereja) Boro, Kulon Progo, 30 km barat daya Yogyakarta.
Inilah saat warga Boro yang sebagian besar pe meluk Katolik berbondong-bondong ke gereja untuk merayakan misa (ibadat Katolik di gereja) pada 25 Desember, hari kelahiran Isa Almasih.
Jadilah, gereja yang didirikan tahun 1920-an atas prakarsa Pastor Prenthaler SJ itu tak sanggup menampung luberan umat.
(Baca juga:Bagaimana Boneka Salju Menjadi Budaya dan Simbol Kegembiraan Musim Dingin, Juga Natal?)
(Baca juga:Kehangatan Natal di Pedalaman Papua Bersama Suku Ekari: Antara Hidangan Sup Kelinci dan Musik Disko)
"Ya begitu kalau natalan, tumplek bleg. Mereka yang bekerja atau belajar di luar Boro pada pulang kampung. Makanya gereja penuh sesak," jelas Sumijan (64), warga Boro Wetan.
Ada tablo dan tetembangan yang nglangut
Yang istimewa dari misa ini adalah tablo, atau pembacaan kitab suci kisah kelahiran Yesus Kristus yang diperagakan. Maka kisah itu seperti kejadian yang sesungguhnya.
Ceritanya dimulai ketika keluarga Yusuf dari Nazaret memenuhi permintaan Raja Herodes untuk mendaftarkan diri dalam rangka sensus penduduk.
Sesampai di Kota Betlehem, istrinya, Maria, harus segera bersalin. Malangnya, semua penginapan penuh. Kalau pun-masih ada, Yusuf tak kuat membayar.
Di tengah kegalauan, ada penduduk menawarkan sebuah tempat. Tapi tempat itu hanya berupa kandang ternak. Bergegas Yusuf dan Maria masuk, lalu membersihkan kandang itu untuk persiapan persalinan.
Benar, di tempat amat sederhana itu Maria melahirkan putra yang ia namai Yesus.
Ternyata, yang pertama-tama mendengar kabar gembira itu juga sekelompok orang sederhana, yakni para gembala yang tengah berjaga di malam buta.
Mereka melihat sebuah bintang terang di tengah padang gembalaan. Bintang terang itu menuntun para gembala menuju tempat kelahiran Yesus, didalam palungan, berlapis kain lampin, di Betlehem.
Menurut Sumijan, acara tambahan berupa tablo itu membuat misa menjadi lebih hidup. Umatpun serasa dibawa ke suasana agung kelahirah Yesus, yang penuh kesederhanaan.
(Baca juga:‘Cedrus libani’, Pohon Natal Tulen yang (Nyaris) Hanya Ada di Tanah Palestina dan Lebanon)
(Baca juga:Meski Selalu Ditunggu Kehadirannya saat Natal, Sinterklas Sejatinya Bukanlah Tokoh Natal)
Kesederhanaan itu juga melingkupi keseharian 9.000 umat Katolik paroki ini. Anugerah berupa tanah subur di kaki Bukit Menoreh, sebagian besar ditanami padi.
Pekarangan rumahpun masih mereka manfaatkan untuk bertanam coklat, pisang, dan buah-buahan. Mereka pun masih beternak ayam dan itik untuk mencukupi kebutuhan protein hewani.
Hasil alam dan anugerah kehidupan pulalah yang mereka syukuri setiap 25 Desember usai menghadiri misa di gereja. Setiap lingkungan (wilayah yang terdiri atas 50 - 70 kepala keluarga.Katolik) berkumpul untuk berdoa bersama menyambut Hari Natal.
Namun, lantaran tak ada rumah yang sanggup menampung umat sejumlah itu, syukuran diadakan dalam kelompok yang lebih kecil. Jadilah setiap lingkungan dipecah menjadi empat sampai lima kelompok yang terdiri atas 15 - 20 kepala keluarga.
Tepat pukul 12.00 warga berduyun-duyun ke tempat yang dituju sambil membawa nasi, sayur, serta lauk pauk.
"Agar tidak repot, belakangan makanan-minuman itu diganti dengan makanan ringan,” tambah Ny. Sumijan.
Acara pokok siang itu adalah bersyukur atas kelahiran Yesus Kristus, yang diyakini sebagai sang Juruselamat. .Setelah berdoa, mereka bersama-sama menyantap makanan yang dibawa dari rumah.
Doa bersama itu bukan satu-satunya acara menyambut Hari Raya Natal. Di beberapa lingkungan satu atau dua minggu sebelumnya diadakan pembacaan doa-doa, pembacaan Injil dengan jalan ditembangkan dalam bahasa Jawa krama madya (halus).
(Baca juga:Menghias Pohon Pisang Hingga Makan KFC, Inilah 6 Negara Dengan Tradisi Natal yang Unik!)
(Baca juga:Di Tempat Kelahiran Yesus Sendiri, Ternyata Hari Natalnya Berbeda-beda)
"Yang dibaca dan ditembangkan adalah kisah Kitab Suci sejak penciptaan sampai Yesus naik ke surga," ujar Sumidjan.
Doa-doa itu biasanya dilakukan malam hari mulai pukul 20:00 sampai pukul 01.00. Selama itu kisah Kitab Suci dibaca dan dilagukan secara berselang-seling. Yang pasti, semakin malam tetembangan yang dialunkan-pun berubah.
"Lagu, atau luk kalau masih sore terasa agak tinggi, saat mulai malam menjadi lebih rendah, dan mendekati tengah malam tetembangan terasa semakin nglangut (hening dan khusyuk - Red.),"- jelas Sutejo, warga asli Boro.
Selain doa dan tetembangan berbau rohani, mereka juga menampilkan jatilan (kuda lumping- Red.) untuk menghibur masyarakat. "Kalau ada jatilan ramai sekali," tutur, Darti, warga Boro yang kuliah di Yogya.
Jatilan tumbuh subur di Boro. Ada setidaknya 4 – 5 grup jatilan yang berkembang di Dukuh Boro Wetan, Tosari, Kembangsari, dan Kagok dengan anggota ratusan orang mulai dari anak-anak sampai dewasa.
Tapi jangan membayangkan jatilan Boro seperti umumnya jatilan tradisional yang terkesan seram dengan acara makan kaca dan api.
"Jatilan ala Boro bukan melulu njathil, tapi sudah dikemas dalam bentuk kreasi baru yang lebih menghibur dan ndagel (lucu - Red.)," jelas Darti.
Mereka menggunakan tetabuhan kendang dan gamelan yang dipadu dengan drum, sehingga mirip musik campursari.
Pakaiannya juga tidak melulu surjan dan blangkon (penutup kepala tradisional Jawa), ada juga yang berpakaian biasa; kendati tetap menunggangi jaran (kuda - Red.) kepang.
Yang pasti, pemain bisa pula kemasukan roh. Kalau sudah begini, siapa pun yang dipegang akan ketularan. Lucunya pemain yang sulit siuman secara naluri akan menunjuk-nunjuk pastor atau imam gereja untuk menyadarkan.
Kok bisa? "Ya, bisa saja,..lha wong nanggapnya kadang-kadang di halaman gereja," jelas Ny. Sumidjan.
(Baca juga:Ilmuwan yang Temukan Tulang Kuno St. Nicholas: Sinterklas Nyata!