Penulis
Intisari-Online.com – Kalau saja wartawan peliput demonstrasi mahasiswa di Jakarta ikut kursus di Centurion Risk Assessment Services (CRAS) di Inggris, mungkin bisa lolos dari risiko dihajar petugas keamanan.
Kursus untuk wartawan perang yang instrukturnya sekelompok veteran pasukan Komando Marinir Kerajaan Inggris ini mengajarkan cara-cara menghadapi teroris, membaca situasi medan, mengenali berbagai perangkat perang, melindungi diri di tengah unjuk rasa, dan berbagai trik lain.
---
Jip Land Rover yang kami tumpangi tiba-tiba direm sejadi-jadinya. Sebuah truk muncul menghadang kami. Kemudian terdengar serentetan tembakan gencar ditimpali ledakan mortir dari berbagai arah.
Enam orang mengenakan baclava (masker ski) dan seragam loreng menyerbu dari balik semak-semak.
(Baca juga: Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
"Get out! Get out, you bastard. Out! Out!" teriak kawanan bersenjata itu sambil mengacung- acungkan senjata.
Sopir yang merangkap guide mencoba berdialog dengan mereka, tapi malahan dihadiahi bogem mentah dan tendangan.
"Tutup mulutmu, atau kuledakkan kepalamu!" hardik teroris lain sambil menempelkan laras AK-47 ke pelipis seorang wartawan.
Kami berdelapan dipaksa tiarap di tanah lembap. Orang-orang misterius itu menendang dan memukul dengan popor senapan. Berteriak minta tolong? Percuma saja. Kami berada di tengah hutan seluas 13 ha, puluhan kilometer di luar Kota London.
Dalam posisi telungkup, kaki kami direntangkan. Tangan dilipat di kepala yang tertutup kantung kain dekil dan bau. Set! Ikatan kantung dikencangkan. Wartawati asal Bulgaria menangis.
la sulit bernapas. Langkah sepatu bot menuju ke arahnya. Bluk! Tendangan mendarat telak di rusuknya.
Suasana senyap. Tiba-tiba seseorang memekik dalam bahasa asing disusul gedebug sepatu. Rupanya, ada wartawan nekaf kabur! Beberapa derap kaki teroris mengejar, dan ... bak-bik-buk! Rekan wartawan itu dihajar beramai-ramai.
Tak lama kemudian terdengar suara "benda berat" diseret dan dicampakkan ke tanah. Klik! Dor! Kawanan orang bersenjata itu mengeksekusi rekan kami.
(Baca juga: Bagaimana Bisa Wartawannya Sopiri Setya Novanto? Ini Penjelasan Lengkap Metro TV)
Bermaafan dengan penculik
"Jangan-jangan kami benar-benar diculik gerilyawan IRA," pikir saya saat itu. Begitu dibebaskan dari penyanderaan, kami baru tahu bahwa peristiwa "penyanderaan" yang mencekam itu bagian dari kursus Risk Assessment in Hostile/War Environments di Inggris.
Kursus bagi wartawan, juru foto, dan kru kamera yang akan bertugas di medan rawan kekerasan seperti zona perang terbuka, unjuk rasa, kerusuhan sipil (civil disturbance), atau teror perkotaan (urban terrorism).
Kami memang peserta kursus calon wartawan perang yang diadakan oleh perusahaan Centurion Risk Assessment Services Ltd. Jadi, yang menculik dan menyandera kami adalah para instruktur kursus. Mereka adalah para veteran Her Majesty's Royal Marine Command (pasukan Komando Marinir Kerajaan Inggris).
Tim instruktur merekonstruksi skenario penculikan persis seperti dalam kenyataan. Mereka melancarkan teror fisik dan mental. Dengan mata tertutup kain, kami dipaksa berdiri tanpa suara. Badan diputar-putar untuk menghilangkan sense of direction (pengenalan arah).
(Baca juga: Wartawan Senior yang Jago Melakukan Liputan Investigasi Ini Meninggal Setelah Mobilnya Hancur oleh Ledakan Bom)
"Penculik" menggelandang kami dengan posisi tcingan di belakang kepala. Kedua tangan tiap "sandera" diletakkan di bahu orang di depannya. Setelah kami berada dalam barisan, kawanan "teroris" mendiamkan kami beberapa saat.
Mengira sudah ditinggalkan penyandera, beberapa tawanan mencoba saling berkomunikasi atau mengendurkan ikatan kantung penutup kepala.
Rupanya, kontak antarsandera sudah ditunggu-tunggu tim penculik. Buktinya, begitu saya menanggapi panggilan lirih seorang rekan, kepala saya dipukul dari belakang. Orang di belakang saya ternyata bukan rekan senasib, tapi teroris yang sengaja disusupkan di antara sandera.
Setelah diarak naik-turun dan berputar-putar beberapa menit, satu per satu sandera ditarik dari barisan. Sandera yang telah dibebaskan digiring ke sebuah tempat berpagar tembok tinggi. Di sana, kawanan teroris menyambut dan menjabat tangan kami.
"No hard feeling (tak ada dendam-dendaman)!" kata salah seorang instruktur seraya tersenyum ramah.
Atasi rasa takut
Kursus pun berlanjut di rumah bergaya Manor peninggalan abad XIII di Hants (puluhan kilometer selatan London). Instruktur lalu membeberkan trik penculik dan cara menghadapinya.
Dalam diskusi di kelas terungkap, rombongan wartawan tadi telah membuat sejumlah kesalahan fatal, yaitu tidak menanyakan dan mempelajari rute yang akan dilalui, mempercayai pengemudi dan pemandu lokal yang mungkin penyusup yang ingin "mengerjai" wartawan.
Juga kurang waspada situasi sekitar. Jalan terlalu sepi bisa menjadi pertanda bahaya adanya teroris mengintai dan siap menyergap. Truk di tepi jalan mungkin jebakan. Kendaraan di belakang bisa jadi membuntuti.
Instruktur juga mengupas tip menghadapi penculik. Korban dianjurkan tenang dan berpikir positif. Bila perlu, melakukan eye contact (beradu pandang) dengan teroris supaya tidak dianggap bernyali ayam.
Bersikaplah "mengalah", turuti perintah teroris, dan jangan bertanya atau membantah. Ditanya dan dibantah, penyandera malahan terangsang menghukum tawanan.
Selama ditawan, harus pandai me-manage rasa takut. Terutama bila teroris memberangus kepala atau menjebloskan ke dalam ruang tertutup.. Sandera bisa mengalami claustrophobia - rasa takut berlebihan terhadap tempat tertutup.
Rasa takut, kata instruktur, bisa mendorong tubuh memompa adrenalin dan mempercepat ritme napas secara berlebihan. Bila ini terjadi, karbondioksida cepat tertimbun. Akibatnya, sandera bisa tercekik, pingsan, dan mati dalam kantung atau tempat penyekapan.
Bila penyandera tidak saling berantem, tawanan boleh lega. "Anda berada di tangan teroris profesional dan terorganisasi," kata instruktur.
Di tangan mereka, wartawan mungkin diperlakukan "ramah". Bisa jadi mereka cuma ingin wartawan mempublikasikan aspirasi mereka. Kalau penculik berebut kuasa atau barang milik korban, wartawan mesti banyak berdoa. Mereka amatiran.
“Bisa-bisa Anda terkena peluru nyasar saat teroris saling berebut komando,” tambah instruktur.
Wartawan yang disandera sebaiknya membaur dengan rekan-rekan senasib. Tak perlu menonjolkan diri, atau mengakui sebagai pimpinan dan penanggung jawab sandera.
Bagi teroris, sandera pimpinan bisa dijadikan kartu truf dalam tawar-menawar. Tawanan lain mungkin akan "dihabisi" bila dianggap membebani penculik.
Urusan menegosiasi pembebasan sandera biasanya di tangan bos wartawan diplomat, atau lembaga kemanusiaan. Toh penyandera akan mengirim daftar tuntutan sebagai penukar tawanan kepada pihak yang menghendaki sandera selamat dan dibebaskan.
Curiga itu wajib
Dalam permulaan kursus hostile/war environment, instruktur memutar video klip dan slide. Ada rombongan wartawan yang mobilnya melindas ranjau di Kamboja, tanpa ada yang berani menolong.
Juru kamera tersungkur akibat tembakan sniper di Bosnia. Ada adegan aparat dan massa menganiaya reporter yang meliput unjuk rasa.
Berdasarkan laporan International Federation of Journalist yang berpusat di Brussels, Belgia, sedikitnya 200 wartawan tewas saat bertugas sejak 1991. Perang di bekas Yugoslavia menewaskan pekerja pers paling banyak.
Antara Januari – Juli 1998, 28 nyawa wartawan melayang di medan peliputan. Mereka tewas gara-gara berita yang mereka tulis, objek yang mereka potret atau siarkan. Atau, karena salah sasaran. Ada juga yang disangka anggota tim pencari fakta.
Untuk menghindari peristiwa tragis, wartawan harus siap fisik dan perlengkapan (pakaian, peta, alat komunikasi, dan kendaraan). Perlengkapan disesuaikan dengan iklim dan kondisi geografis, ikut tradisi setempat.
Juga perlu memiliki pengetahuan berbagai risiko; penculikan, tembakan, ranjau, bom, gas air mata, gas saraf, bom kuman, radiasi nuklir, tersesat di padang pasir, padang salju atau hutan belantara.
Wartawan wajib bersikap curiga yang sehat (healthy suspicion) terhadap setiap orang dan benda di sekelilingnya. Untuk membangun rasa curiga yang sehat, kami diputarkan slide yang memperlihatkan padang rumput hijau, hamparan salju memutih.
Begitu diperlihatkan siluet sejumlah objek, kami baru menyadari tempat itu dihuni barisan tank lapis baja. Tank itu dikamuflase secara rapi di antara pepohonan. Padang salju ternyata menyimpan satu skuadron helikopter tempur.
Kalangan militer memanfaatkan warna, pola bentuk, dan cahaya suatu tempat untuk menyamarkan diri. Wartawan juga perlu mengerti ihwal kamuflase.
Seusai briefing di kelas, instruktur membawa kami ke padang rumput seluas lapangan bola. Lewat teropong militer, kami diminta meneropong lapangan dan pohon di sekitarnya. Targetnya, menemukan sejumlah benda "berbahaya" yang disembunyikan instruktur. Sedikit yang dapat menemukan seluruh benda itu.
Ironisnya, yang lolos dari pengamatan kami justru senapan M-16 yang digantung di cabang pohon, boneka sniper lengkap dengan senapan FN. Benda yang umum dipergoki wartawan adalah topi baja, ransel, dan rambu ranjau.
Kami juga dilatih berpatroli di hutan kecil. Instruktur memajang 18 macam benda di tikar plastik. Ada baterai, pemantik, pulpen, pesawat telepon, dan selongsong peluru. Dalam satu menit, kami harus hafal semua barang itu.
Juga diwajibkan mewaspadai dan mengingat-ingat benda "asing" yang dijumpai di jalan setapak. Namun, kami tidak berhasil melihat seluruh "benda asing" yang dimaksud. Rata-rata peserta hanya melihat 8-12 jenis barang. Padahal, instruktur menempatkan 18 macam di jalur patroli.
Benda "asing" di tempat yang tak lazim, bisa menjadi pertanda penting situasi setempat. Senapan, selongsong peluru, masker gas tergeletak di tanah, pisau komando tertancap di pohon bisa menjadi petunjuk adanya kelompok bersenjata di sekitar lokasi. Daerah itu termasuk kawasan rawan konflik bersenjata.
Instruktur menguji kami lagi dengan menggelar tikar plastik. Satu benda telah diambil dari formasi semula dan sebuah benda lain ditambahkan. Kami diminta menyebutkan kedua benda yang dimaksud. Hanya dua wartawan lulus uji.
Perubahan kecil pada suatu tempat bisa menjadi petunjuk bahwa tamu tak diundang telah datang. "You have to be streetwise, and be able to think like a scumbag," ujar Steve.
(Anda harus memahami kehidupan jalanan dan bisa berpikir seperti penjahat).
Disuguhi "pizza maut"
Bahaya lain yang mengancam wartawan di kawasan krisis (hot spot), adalah ranjau. Orang Inggris menyebut mine atau boobytrap. Ada ranjau antitank dan antipersonnel (pembunuh orang dan pelumpuh kendaraan ringan).
Kami berbaris bak peleton berpatroli, menyusuri jalan setapak di hutan kecil. Ada 12 titik "maut" yang harus kami lewati. Suatu ketika, Tommo memperlambat jalannya dan membiarkan kami berjalan duluan.
Tiba-tiba, bluuml Kaki rekan kami paling depan merangsek tali ekstratipis yang terentang di atas tanah. Tali dihubungkan dengan ranjau yang disembunyikan dekat pohon.
"Dalam perang betulan, mereka mungkin memasang banyak tali pemicu ranjau," ujar Tommo. Orang ceroboh pasti menyenggol trip wire (tali pemicu), dan meledaklah ranjau di dekatnya.
Trip wire berbahan tipis, ulet, dan warnahya tak mencolok. Biasanya kawat itu dipasang sejajar mata kaki, pinggang, atau kepala.
Di etape berikut, wartawan digiring ke medan ranjau yang dikubur dalam tanah. Kami menemukan sebuah ranjau yang ditanam di jalur yang akan kami lewati. Ranjau yang ditemukan itu ternyata "pancingan" menyesatkan.
Instruktur telah menanam belasan ranjau secara rapi. Sampai-sampai rekan dari Ukraina tidak tahu kalau dirinya berdiri di atas ranjau darat sebesar pizza. Pelatih mencongkel benda jahat itu dengan pisau komandonya.
"Untung tidak kami isi bahan peledak," seloroh instruktur.
Latihan semakin mengerikan saat pelatih memperagakan jebakan penghancur tank, panser, atau armored personnel carrier. Puluhan ranjau tank ditanam dalam posisi bertumpuk. Paling atas berukuran lebih kecil.
Yang di bawah sebesar piring berdiameter 40 - 50 cm. Ranjau ini sulit dijinakkan. Kalau yang di atas disentuh, ranjau di bawahnya otomatis siap meledak.
Ada ranjau yang kalau meledak bisa melemparkan ratusan paku tajam (shrapnel). Jebakan dipasang di pohon setinggi dada orang dewasa. Paku-paku itu menancap dan merobek wajah dan dada musuh. Orang Amerika menjulukinya Cadburry's dairy milk. "Kalau meledak, semua orang kecipratan," jelas Tommo.
Ada juga ranjau mirip kotak semir sebesar pedal gas sedan yang bisa melumatkan kaki bila diinjak. Ranjau sycamore bentuknya mirip sayap kupu-kupu atau pecahan baling-baling. Sering dikira pecahan mainan anak-anak. Begitu dipegang atau diinjak, blaar!
Begitu tahu ada ranjau di depan, wartawan lebih baik balik kanan mengikuti jalur yang tadi dilewati. Pasti aman. Ada memang rambu-rambu ranjau. Warnanya merah atau kuning. Bergambar tengkorak atau bom bersumbu dengan peringatan dalam bahasa setempat.
Ranting menancap di daun menunjuk ke lokasi ranjau. Bangkai satwa yang hancur atau binatang bertungkai cacat bisa menjadi sinyal bahaya ranjau. Tapi, banyak ranjau tanpa rambu berserakan.
Saat kembali ke Manor untuk bersantap siang, rekan wartawan dari Namibia mendekati kamera yang tergeletak di tepi jalan setapak. Blaar! Terdengar ledakan keras begitu kamera itu dipegang.
Ternyata, instruktur sengaja menjebak kami dengan Improved Explosive Device (IED). Benda-benda semacam walkman, kamera, dan senter yang dijadikan senjata pembunuh.
Teroris biasanya merancang mekanisme detonator bom dalam benda elektronik. Ada wartawan menemukan senter tergeletak di jalan Sarajevo, Bosnia. Tiba di rumah, ia iseng-iseng mencoba suvenir itu. Bluum! Senter meledak dan menewaskannya.
Teroris juga biasa memasang undeivehicle boobytrap. Ranjau bawah kendaraan ini disetel agar meledak bila kendaraan bergerak. Di wilayah perang, wartawan tak usah memungut suvenir atau barang miliknya yang sempat raib. Tak jarang benda itu sudah "dikerjai" orang.
Tripod disangka rudal
Di arena menembak, instruktur memperkenalkan macam-macam senjata api dan peluru. Berondongan peluru bisa menembus body armour (pelindung tubuh berlapis baja) dan topi baja. Peluru senjata otomatis mampu menembus pintu mobil, tembok, dan dinding beton.
Tanpa berlindung di balik dua lapis tumpukan kantung pasir, siapa pun bisa menjadi sasaran peluru.
Karena itu wartawan perlu mengehakan body armour. Ada lima jenis body armour atau flak jacket. Stab vest (rompi antitusuk), ultralight weight armour (rompi lunak tahan peluru senapan ringan), lightweight armour (rompi kebal senjata api berkecepatan tinggi hingga jenis submachine gun).
Yang lebih kuat lagi, medium armour. Rompi berbahan pelat lapis baja campur keramik ultraringan, yakni combination armour. Bisa dikenakan di depan dan belakang tubuh untuk meredam tembakan senapan berkecepatan tinggi.
Ballistic helmet melindungi kepala dari benda tajam atau peluru. Juga meredam tumbukan balistik agar tidak menimbulkan cedera.
Instruktur juga memperkenalkan granat, mortir, senjata antitank, dan roket. Terhadap senjata antitank 64 mm, wartawan paling dekat 40 m di belakang penembak, agar tidak terkena back blast (efek ledakan belakang).
Selain demo dan pemutaran slide, instruktur "memberondong" kami dengan senapan serbu hingga mortir. Pelajaran ini diberikan selagi kami menyusuri jalan setapak di hutan. Lewat kegiatan ini, peserta kursus diajarkan mengenali jenis senjata, memperkirakan posisi penembak, dan menentukan tempat berlindung paling aman.
Hati-hati membawa kamera ataupun tripod. Dari kejauhan, kamera yang terpasang di tripod bisa dikira peluncur roket atau rudal portabel. Tentara atau milisi pasti langsung menembak. Ini salah satu penyebab banyak kru kamera dan fotografer tertembak di Bosnia.
Lensa kamera pun bisa mengundang bahaya maut. Pantulan sinar dari lensa menunjukkan posisi kamerawan atau fotografer. Sebaiknya mengambil gambar dari tempat yang terlindung cahaya. Atau, lensa dilengkapi penutup khusus agar tidak memantulkan kilatan cahaya.
Arena unjuk rasa dan kerusuhan sipil tak kalah berisiko bagi wartawan. Demi keamanan, wartawan perlu menjaga etiket (conflict etiquette) mencakup pakaian hingga manuver di tengah demonstrasi.
Kenakan pakaian tahanapi {fire retardant) atau berjaket antitusuk (antistab vest). Bila perlu, siku, lutut, selakangan, dan tulang kering dilindungi pad (seperti yang dipakai atlet bola voli dan skate board) untuk mengurangi risiko cedera akibat pukulan.
Kenakan sepatu bersol tebal antiselip berbahan karet atau vibram. Helm ringan bisa untuk melindungi kepala dari timpukan benda keras. Agar tak kentara, helm ditutup dengan topi baseball.
Idealnya, tulisan "Pers" atau "Wartawan" disematkan di rompi, topi, dan kamera, ditulis dengan huruf cukup besar dan terang, agar mudah terbaca. Ada baiknya mengenakan atribut profesi berperekat serabut yang gampang dicopot atau dipasang.
Warna pakaian dan jaket pengaman usahakan tidak mirip dengan warna "kebangsaan" salah satu kubu dalam unjukrasa atau kerusuhan. Massa yang lagi ngamuk bisa jadi melabrak siapa pun yang mengenakan atribut kelompok lain.
Jangan sepelekan bulu kuduk. "Bila bulu kuduk berdiri, Anda lebih baik mundur. Mungkin itu pilihan paling aman," tutur Steve.
Juga jangan ngotot meniasuki zona bahaya (non-go zone). "Every conflict is different, but one should cover a story, not to become the story," ujar Andrew Houghton, wartawan Australia.
(Ditulis oleh A. Marzuq M. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1999)