Penulis
Intisari-Online.com – Desa Banyukambang, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur adalah tempat lahirnya seni topeng yang disebut dongkrek.
Konon seni ini lahir pada saat desa yang tadinya gemah ripah loh jinawi terserang penyakit yang oleh rakyat disebut pageblug.
Wabah penyakit itu datang karena rakyat yang hidup di daerah makmur itu semakin jauh dari Sang Pencipta Hidup tanpa bersyukur.
Maka untuk mengusir penyakit itu, Mbah Palang, yang nama aslinya Ki Ronggo Prawirodirdjo, berusaha dengan gigih mencurahkan segala kemampuannya untuk melepaskan belenggu penderitaan.
(Baca juga: Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Dengan semadi, beliau mendapat wisik agar membuat topeng yang menyerupai roh jahat penyebab malapetaka tersebut.
Dengan mengucap mantera, Mbah Palang mengotak-atik berbagai macam bentuk topeng. Genap enam hari, satu demi satu topeng selesai dibuat dan diberi nama Nyi Buto Parapah, Nyi Kake, Nyi Perot, Nyi Jurang Grawah, Nyi Becu, dan Nyi Totok Kerot.
Oleh R. Sumadji, narasumber desa itu, nama-nama tersebut disesuaikan dengan profil topeng itu sendiri.
Bunyi gamelan terdengar merdu mengiringi upacara pengusiran roh jahat. Diadakan kirab keliling desa.
Bunyi kendang beduk begitu dominan seirama dengan derap langkah penari topeng yang memakai egrang (naik dua buah bambu panjang, sehingga orangnya kelihatan tinggi).
Pada saat itu pula, bagaikan mimpi, turun hujan lebat dengan kilat yang menyambar-nyambar. Konon hujan lebqa itu disertai teriakan roh jahat meminta pertolongan.
Bersamaan dengan lenyapnya suara-suara roh jahat itu, orang yang sakit kembali pulih.
Kini, seni tersebut tetap ada dan dilestarikan. Di Surabaya, Kediri, Ponorogo, Ngawi, Yogyakarta, dan di beberapa daerah lain lagi, dongkrek mendapat sambutan meriah.
(Baca juga: Cara Unik Warga Karangasem, Bali, Mendatangkan Hujan: Menggelar Tarian Sakral nan Magis Warisan Kerajaan)
Seperangkat perlengkapan gamelan sederhana berupa kendang, beduk, gong, dsb. yang ditabuh memberikan irama klasik yang bisa membawa kita ke alam Mbah Palang 160 tahun yang lalu.
Kini malah ditambah atraksi lain untuk memikat massa seperti bergelut dengan ular besar, dicambuk dengan kawat, membakar diri tanpa mempan dimakan api, makan beling, dsb. (lr. Paulus Iwan Sutadi)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1993)